Ibroh Abadi dari Idul Qurban: Antara Pengorbanan, Ketaatan, dan Humanisme Islam
Ibroh Abadi dari Idul Qurban: Antara Pengorbanan, Ketaatan, dan Humanisme Islam
Oleh: Asep Rohmandar
Setiap tahunnya, umat Islam di seluruh dunia memperingati Hari Raya Idul Adha, atau yang dikenal pula sebagai Idul Qurban. Di balik ritual penyembelihan hewan ternak, tersimpan pesan spiritual dan moral yang sangat mendalam. Nilai utama dari Idul Qurban bukanlah semata-mata penyembelihan hewan, melainkan pengorbanan dan ketundukan total seorang hamba kepada Tuhannya—sebuah pelajaran yang diwariskan dari kisah Nabi Ibrahim a.s. dan putranya, Nabi Ismail a.s.
Wahyu Penguji: Sebuah Titik Ujian Ketauhidan
Kisah ini bermula dari wahyu Allah SWT yang menyuruh Nabi Ibrahim untuk menyembelih putranya yang telah lama dinantikan, Ismail (QS. Ash-Shaffat [37]: 102-107). Perintah ini jelas bukan perkara ringan. Namun, di sanalah letak inti dari pengujian spiritual yang hakiki: ketaatan mutlak kepada Allah di atas segala rasa dan logika manusiawi. Ibrahim pun berkata kepada anaknya:
"Wahai anakku! Sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu?" (QS. Ash-Shaffat: 102)
Ismail yang saleh menjawab dengan penuh ketundukan:
"Wahai ayahku! Laksanakanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu; insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar." (QS. Ash-Shaffat: 102)
Ayat ini menjadi titik kulminasi dari hubungan spiritual antara hamba dan Rabb-nya. Di sinilah makna tauhid—pengakuan bahwa hanya Allah yang layak ditaati sepenuhnya—dinyatakan secara konkret. Inilah puncak dari ubudiyah (penghambaan), saat logika duniawi tunduk pada perintah ilahi.
Nilai Keutamaan Qurban: Manifestasi Spiritualitas dan Sosial
Idul Qurban mengajarkan kita bahwa beragama bukan sekadar percaya, tetapi juga bertindak. Qurban bukan sekadar menyembelih, melainkan menyucikan diri dari egoisme, kelekatan terhadap dunia, dan ketidakpedulian terhadap sesama.
Secara spiritual, qurban adalah bentuk aktualisasi dari taqwa:
"Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridaan) Allah, tetapi ketaqwaan dari kalian-lah yang dapat mencapainya..." (QS. Al-Hajj [22]: 37)
Secara sosial, qurban adalah simbol solidaritas umat. Pembagian daging qurban menciptakan ikatan sosial, mengurangi kesenjangan, dan menunjukkan bahwa Islam tidak hanya spiritual tapi juga penuh kepedulian. Dalam konteks ini, qurban menjadi ibadah sosial yang memuliakan martabat manusia.
Ibroh dari Ibrahim dan Ismail: Pendidikan Moral bagi Umat
Ibroh terbesar dari kisah Ibrahim dan Ismail adalah pelajaran tentang kepemimpinan moral, keteladanan keluarga, dan integritas spiritual.
Pertama, kepemimpinan moral: Ibrahim menunjukkan bagaimana pemimpin spiritual harus mendahulukan perintah Allah di atas semua. Ia tidak memaksakan kehendaknya, melainkan berdialog dengan anaknya, yang mencerminkan nilai syura (musyawarah) dan rahmah (kasih sayang).
Kedua, keteladanan keluarga: dalam relasi ayah dan anak, tampak bagaimana nilai keimanan ditransmisikan dengan kasih, bukan paksaan. Ismail bersedia berkorban bukan karena tertekan, melainkan karena keyakinannya terhadap kebenaran wahyu.
Ketiga, integritas spiritual: keduanya menunjukkan bahwa iman bukan sebatas wacana, melainkan keberanian untuk bertindak bahkan ketika itu berarti mengorbankan sesuatu yang paling berharga.
Relevansi Qurban dalam Dunia Kontemporer
Di tengah dunia yang diliputi oleh materialisme, konflik, dan krisis empati, pesan qurban sangat relevan. Qurban menantang kita untuk berani menyembelih ego, memotong keserakahan, dan mendistribusikan cinta serta kepedulian. Dalam masyarakat modern yang cenderung individualistis, qurban adalah momen pemulihan ikatan sosial dan solidaritas kemanusiaan.
Lebih jauh lagi, qurban mengajarkan bahwa spiritualitas sejati tidak boleh terlepas dari komitmen sosial. Sebagaimana dicontohkan Nabi Muhammad SAW yang bersabda:
"Tidaklah beriman orang yang kenyang sementara tetangganya kelaparan." (HR. Bukhari dan Muslim)
Penutup: Qurban Sebagai Jalan Menuju Peradaban Rahmatan lil 'Alamin
Qurban bukanlah seremoni tahunan yang kehilangan makna setelah hewan disembelih. Ia adalah proyek peradaban, sebuah momentum reflektif yang mengajak umat untuk kembali kepada fitrah ketaatan, pengorbanan, dan kemanusiaan. Dari Ibrahim dan Ismail, kita belajar bahwa cinta kepada Allah tidak bertentangan dengan cinta kepada sesama, justru saling melengkapi.
Di dunia yang sedang dilanda krisis nilai dan empati, semangat Idul Qurban menawarkan cahaya: bahwa peradaban yang besar dibangun dari manusia-manusia yang rela berkorban demi kebenaran, keadilan, dan cinta yang lebih luas dari dirinya sendiri.
Referensi:
- Al-Qur’an, Surah Ash-Shaffat ayat 102-107, Surah Al-Hajj ayat 37
- Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, Dar Thayyibah, 2002
- M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat, Mizan, 2000
- Sayyid Qutb, Fi Zilalil Qur’an, Dar asy-Syuruq, 1992
- Nasaruddin Umar, Argumentasi Kesetaraan Gender Perspektif Al-Qur’an, Paramadina, 1999
- Hadis-hadis shahih dari Bukhari dan Muslim. *) Penulis adalah Masyarakat Islam Sunda Nusantara Kiwari
Komentar
Posting Komentar