Ketika Tiang Pancasila Goyah: Indikator Kegagalan Elite dan Negara Indonesia Menjalankan Amanah Lima Pilar Negara

Ketika Tiang Pancasila Goyah: Indikator Kegagalan Elite dan Negara Indonesia Menjalankan Amanah Lima Pilar Negara 
Oleh: Sunda Nusantara Reseacher society 
Pembuka                                    Kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 didasari oleh cita-cita luhur para pendiri bangsa untuk mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, dan berdaulat. Lima Pilar Negara—Pancasila sebagai dasar dan ideologi, UUD 1945 sebagai konstitusi, NKRI sebagai bentuk negara, Bhinneka Tunggal Ika sebagai semboyan, dan Wawasan Nusantara sebagai geopolitik—merupakan fondasi kokoh yang seharusnya membimbing setiap langkah bangsa. Namun, setelah lebih dari tujuh dekade merdeka, indikator-indikator kegagalan elite dan negara dalam menjalankan amanah ini secara utuh dan komprehensif semakin nyata terlihat, mengancam integritas dan masa depan bangsa.
Indikator Kegagalan dalam Amanah Lima Pilar Negara:
1. Pancasila: Ideologi yang Tergerus Praktik
Pancasila, yang sejatinya adalah filter dan panduan moral, kini seringkali hanya menjadi retorika tanpa implementasi substansial. Sekalipun sering diperingati setiap tanggal 1 Juni setiap tahunnya.  Indikator kegagalan ini terlihat dari:
 a . Korupsi yang Merajalela: Sila Ketuhanan Yang Maha Esa dan Kemanusiaan yang Adil dan Beradab seharusnya menuntun pada integritas, namun praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) tetap menjadi endemik di semua lini pemerintahan dan swasta. Transparansi dan akuntabilitas masih menjadi pekerjaan rumah besar. (Toha & Siregar, 2020; KPK, Laporan Tahunan)
 b . Polarisasi Sosial dan Intoleransi: Sila Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan seharusnya mewujudkan harmoni dan musyawarah. Namun, politik identitas yang tajam, ujaran kebencian, dan merebaknya intoleransi berbasis SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan) justru mengancam kohesi sosial dan merenggangkan tenun kebangsaan. (Setara Institute, Laporan Kondisi Kebebasan Beragama/Berkeyakinan; Komnas HAM, Laporan Tahunan)
2. UUD 1945: Konstitusi yang Kerap Diabaikan dan Dimanipulasi
UUD 1945 adalah norma dasar negara yang mengatur hak dan kewajiban warga negara serta tata kelola pemerintahan. Kegagalan elite dan negara terlihat ketika:
 a . Penegakan Hukum Tumpul ke Atas, Tajam ke Bawah: Pasal-pasal tentang persamaan di hadapan hukum dan keadilan sosial seringkali hanya menjadi tulisan. Fenomena putusan pengadilan yang kontroversial, penegakan hukum yang diskriminatif, dan impunitas bagi elite yang bermasalah merusak kepercayaan publik terhadap sistem peradilan. (ICW, Laporan Pemantauan Kasus Korupsi; KontraS, Laporan Kondisi HAM)
 b. Penyalahgunaan Kekuasaan dan Otoritarianisme Terselubung: Konstitusi membatasi kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif melalui checks and balances. Namun, praktik oligarki, pengesahan undang-undang yang kontroversial tanpa partisipasi publik yang memadai, dan pembatasan kebebasan sipil menunjukkan gejala penyalahgunaan kekuasaan yang mengancam demokrasi. (Tirto.id, Kajian Omnibus Law; Koalisi Masyarakat Sipil)
3. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI): Terancam Ketimpangan dan Sentralisme Terselubung
NKRI adalah harga mati yang menjamin kedaulatan wilayah. Namun, ancaman terhadap NKRI bukan hanya dari luar, melainkan juga dari dalam:
 a. Kesenjangan Pembangunan Antar Wilayah: Pembangunan ekonomi yang sangat terkonsentrasi di Pulau Jawa atau kota-kota besar menciptakan ketimpangan parah antar wilayah. Daerah terluar, terdepan, dan tertinggal (3T) masih jauh dari akses infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan yang memadai, memicu rasa ketidakadilan dan potensi disintegrasi. (BPS, Data Indeks Pembangunan Manusia; Kementerian PPP/Bappenas, Laporan Pembangunan Wilayah)
 b. Sentralisme Terselubung Pasca-Otonomi Daerah: Meskipun otonomi daerah telah diterapkan, sentralisasi kebijakan dan fiskal dari pusat masih terasa kuat. Ini membatasi inovasi dan kemandirian daerah dalam mengelola potensi lokal, serta menghambat partisipasi masyarakat dalam pembangunan. (Mardiasmo, 2002; Komisi Otonomi Daerah)
4. Bhinneka Tunggal Ika: Semboyan yang Rentan Konflik Identitas
Semboyan persatuan dalam keberagaman ini seringkali diuji oleh realitas sosial politik:
 a. Menguatnya Politik Identitas: Alih-alih merayakan keberagaman, politik identitas seringkali dimanfaatkan oleh elite untuk memecah belah dan menggalang dukungan, memicu friksi dan polarisasi di masyarakat. (Lembaga Survei Politik; Jurnal Demokrasi dan Hak Asasi Manusia)
 b.Diskriminasi dan Kekerasan atas Nama Agama/Etnis: Meskipun Bhinneka Tunggal Ika dijunjung, kasus-kasus diskriminasi, pengusiran, hingga kekerasan yang menargetkan kelompok minoritas agama atau etnis masih terjadi, menunjukkan kegagalan negara dalam melindungi semua warganya secara setara. (HRW, Laporan Indonesia; Setara Institute, Laporan Kebebasan Beragama)
5. Wawasan Nusantara: Ancaman Ekologi dan Ketergantungan Asing
Wawasan Nusantara menegaskan pentingnya persatuan wilayah dari Sabang sampai Merauke, serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Namun:
 a. Degradasi Lingkungan yang Masif: Eksploitasi sumber daya alam yang tidak berkelanjutan, deforestasi, pencemaran air dan udara, serta bencana ekologi yang berulang menunjukkan kegagalan negara dalam menjaga kelestarian lingkungan demi keberlanjutan bangsa. (Walhi, Laporan Lingkungan Hidup; KLHK, Data Degradasi Lingkungan)
 b. Ketergantungan Ekonomi pada Kekuatan Asing: Meskipun berdaulat, kebijakan ekonomi Indonesia masih menunjukkan ketergantungan pada investasi, utang, dan pasar dari negara-negara tertentu. Ini berpotensi melemahkan kedaulatan ekonomi dan mengancam kemandirian bangsa. (World Bank, Data Ekonomi Indonesia; IMF, Laporan Ekonomi Indonesia)
Kesimpulan:
Lima Pilar Negara adalah kompas moral dan operasional bagi Indonesia. Namun, indikator-indikator di atas dengan jelas menunjukkan bahwa elite dan negara Indonesia belum sepenuhnya dan secara komprehensif menjalankan amanah tersebut. Korupsi, ketimpangan, polarisasi, dan degradasi lingkungan adalah manifestasi dari kegagalan ini.
Untuk mengembalikan marwah Lima Pilar Negara, dibutuhkan komitmen politik yang kuat dari elite untuk mereformasi birokrasi, menegakkan hukum tanpa pandang bulu, mendorong pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan, serta memperkuat pendidikan Pancasila yang substansial. Tanpa kesadaran dan tindakan nyata, tiang-tiang fondasi ini akan terus goyah, dan cita-cita luhur kemerdekaan hanya akan menjadi utopia yang tak tergapai.
Referensi yang dapat digunakan :
 1. BPS (Badan Pusat Statistik): Laporan Indeks Pembangunan Manusia (IPM), Data Kemiskinan, Data Kesenjangan Pendapatan (Gini Ratio), Statistik Lingkungan Hidup.
 2. KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi): Laporan Tahunan, Data Penindakan Kasus Korupsi.
 3. Komnas HAM (Komisi Nasional Hak Asasi Manusia): Laporan Tahunan Situasi HAM di Indonesia.
 4.Setara Institute: Laporan Tahunan Kondisi Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Indonesia.
 5. ICW (Indonesia Corruption Watch): Laporan Pemantauan Kasus Korupsi, Kajian Kebijakan Antikorupsi.
 6. KontraS (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan): Laporan Kondisi HAM di Indonesia.
 7. WALHI (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia): Laporan Kondisi Lingkungan Hidup Indonesia.
 8.KLHK (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan): Data dan Publikasi Statistik Sektoral.
 9.Kementerian PPN/Bappenas: Laporan Pembangunan Nasional, Dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN).
 10. Bank Dunia (World Bank) dan Dana Moneter Internasional (IMF): Laporan dan Data Ekonomi Indonesia.
 11 Jurnal Ilmiah dan Publikasi Lembaga Kajian: Cari artikel yang relevan di jurnal-jurnal ilmiah seperti Jurnal Demokrasi dan Hak Asasi Manusia, Jurnal Ilmu Politik, Jurnal Administrasi Publik, dll.
 12.Buku:
   a. Mardiasmo. (2002). Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah. Yogyakarta: Andi. (Relevan untuk pembahasan otonomi daerah).
   b.Toha, M., & Siregar, D. (2020). Korupsi dan Pencegahannya di Indonesia. Jakarta: [Penerbit]. (Contoh referensi untuk isu korupsi).
   

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Profil Asep Rohmandar : Presiden Masyarakat Peneliti Mandiri Sunda Nusantara

Seruan untuk Keadilan dalam Publikasi Ilmiah bagi Peneliti dari Negara Berkembang dan Dunia Keempat

Prolog Buku Komunikasi Pendidikan Yang Efektif? By Asep Rohmandar