Neologi dan Neologisme Dalam Kebahasaan, Era Digital ?
Neologisme adalah fenomena kebahasaan yang menarik, mencerminkan dinamika dan perkembangan suatu bahasa seiring perubahan sosial, budaya, dan teknologi. Memahami neologisme meliputi aspek teori, proses pembentukan dan adopsi, hingga masuknya kata-kata baru ini ke dalam kamus.
Teori Neologisme
Secara teoretis, neologisme dipandang sebagai unit leksikal baru atau unit leksikal lama yang memperoleh makna baru. Para ahli sepakat bahwa kemunculan neologisme erat kaitannya dengan kebutuhan penutur bahasa untuk mengungkapkan konsep, fenomena, atau pandangan baru yang belum terwadahi oleh kosakata yang sudah ada. Beberapa pandangan teoretis mengenai neologisme mencakup:
1. Pandangan Fungsional: Neologisme muncul karena adanya fungsi komunikasi yang belum terpenuhi oleh kosakata lama. Kebutuhan akan kata baru bisa timbul dari inovasi teknologi, perubahan sosial, penemuan ilmiah, atau tren budaya populer.
2. Pandangan Sosiolinguistik: Neologisme sering kali berawal dari kelompok sosial atau komunitas tertentu (misalnya, komunitas daring, profesional, atau kelompok usia) sebelum menyebar lebih luas. Penggunaan neologisme dapat menjadi penanda identitas kelompok.
3. Pandangan Kognitif: Pembentukan neologisme melibatkan proses kognitif dalam menciptakan atau memodifikasi makna untuk merepresentasikan konsep baru dalam pikiran penutur.
4. Pandangan Leksikografis: Dari sudut pandang pembuatan kamus, neologisme adalah kata atau makna baru yang belum tercatat dalam kamus standar, namun memiliki potensi untuk dimasukkan jika memenuhi kriteria tertentu.
Cabré (dalam salah satu referensi) menyatakan bahwa neologi adalah bidang studi yang membahas fenomena baru yang muncul dalam bahasa, mengisyaratkan bahwa neologisme adalah objek pengetahuan yang dapat diidentifikasi dalam periode waktu, konteks diskursif, dan perspektif pelafalan tertentu. Kemunculannya menandakan vitalitas suatu bahasa dan cerminan perubahan konstan masyarakat.
Proses Pembentukan dan Adopsi Neologisme
Proses pembentukan dan adopsi neologisme umumnya melalui beberapa tahapan:
5. Penciptaan (Coinage): Tahap awal di mana kata atau frasa baru diciptakan, baik secara sengaja maupun tidak sengaja, oleh individu atau kelompok kecil untuk menamai konsep atau fenomena baru. Proses ini bisa berupa:
a. Penciptaan murni (jarang terjadi).
b. Penggabungan kata (komposisi), misalnya "rumah sakit".
c. Penambahan imbuhan (afiksasi), misalnya "pengguna" dari "guna".
d. Pemendekan (abreviasi), seperti singkatan atau akronim (misalnya, "Tilang" dari "bukti pelanggaran").
e. Pemberian makna baru pada kata lama (pergeseran semantik), misalnya kata "viral" yang dulu merujuk pada virus biologis kini juga berarti penyebaran informasi yang cepat di internet.
f. Penyerapan atau adaptasi kata asing (pinjaman), misalnya "online", "streaming", "drive-thru".
g. Pembentukan berdasarkan analogi, seperti produktivitas bentuk terikat "pramu-" berdasarkan "pramugari" yang kini melahirkan "pramubakti", "pramuniaga", dll.
6. Penyebaran Awal: Neologisme mulai digunakan dalam lingkaran yang lebih luas, seringkali melalui interaksi sosial, media massa, atau platform digital. Pada tahap ini, neologisme mungkin masih terbatas pada komunitas asal atau konteks tertentu.
7. Adopsi dan Pelembagaan: Jika neologisme dirasa bermanfaat, mudah diucapkan, dan secara konsisten digunakan oleh semakin banyak penutur dalam berbagai konteks, maka neologisme tersebut mulai diadopsi secara lebih luas oleh masyarakat bahasa. Penggunaan yang berulang dan meluas ini memperkuat keberadaannya dalam kosakata bahasa.
8. Kodifikasi (Masuk Kamus): Tahap akhir dalam proses adopsi neologisme adalah pengakuan resmi oleh lembaga bahasa dan pencatatannya dalam kamus standar.
Adopsi Neologisme ke Kamus
Proses masuknya neologisme ke dalam kamus, seperti Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), melibatkan seleksi berdasarkan kriteria tertentu. Kriteria ini dapat bervariasi, tetapi umumnya mencakup:
9. Kebaruan: Kata atau makna tersebut memang belum tercatat dalam edisi kamus sebelumnya.
10. Frekuensi Penggunaan: Neologisme telah digunakan secara cukup sering dan meluas dalam berbagai sumber, seperti media massa, publikasi, atau percakapan sehari-hari. Beberapa lembaga leksikografi mungkin memiliki ambang batas frekuensi tertentu berdasarkan analisis korpus bahasa.
11. Kestabilan Bentuk dan Makna: Bentuk dan makna neologisme relatif stabil dan dipahami secara konsisten oleh penutur bahasa.
12. Keterterimaan (Acceptability): Neologisme dapat diterima oleh sebagian besar penutur bahasa, meskipun tingkat keberterimaan dapat dipengaruhi oleh faktor sosial seperti usia, tingkat pendidikan, dan budaya literasi.
13. Sistematisasi: Neologisme yang terbentuk melalui proses morfologis yang sistematis (misalnya, afiksasi, komposisi) memiliki peluang lebih besar untuk diterima.
Lembaga seperti Badan Bahasa di Indonesia berperan dalam memantau perkembangan kosakata, mengidentifikasi neologisme yang muncul, dan mengevaluasi kelayakannya untuk masuk ke dalam kamus. Proses ini memastikan bahwa kamus tetap relevan dan mencerminkan keadaan bahasa yang hidup.
Contoh Neologisme Terbaru dalam Bahasa Indonesia
Beberapa contoh neologisme terbaru atau yang maknanya baru populer dalam Bahasa Indonesia antara lain:
a. Daring / Luring: Padanan Bahasa Indonesia untuk "online" dan "offline". Muncul dan meluas penggunaannya seiring perkembangan teknologi dan kegiatan berbasis internet, terutama makin relevan di masa pandemi.
b. Lamak: Istilah dalam konteks teknologi informasi yang merupakan padanan dari "cookie" (berkas kecil yang disimpan di komputer pengguna oleh situs web).
c. Narasi tandingan: Padanan untuk istilah "counter narrative", merujuk pada cerita atau sudut pandang alternatif untuk melawan narasi yang dominan.
d. Sempilan: Dalam konteks tertentu, bisa merujuk pada strategi menarik keuntungan tanpa jaminan kebenaran estimasi/prediksi.
e. Sosialaba: Gabungan kata "sosial" dan "laba", merujuk pada aktivitas sosial yang menghasilkan keuntungan.
f. Istilah-istilah terkait Pandemi COVID-19: Banyak neologisme atau makna baru muncul selama pandemi, meskipun beberapa mungkin sifatnya temporal, contohnya "PSBB", "Herd immunity" (padanannya "kekebalan kelompok" atau "kekebalan komunal" sudah masuk KBBI), "lockdown".
g. Istilah gaul/media sosial: Kata-kata atau frasa yang populer di media sosial dan percakapan informal, meskipun tidak semuanya akan masuk kamus resmi, seperti "gabut" (gaji buta atau gabut total, merujuk pada keadaan tidak melakukan apa-apa karena bosan atau tidak ada kerjaan), "mager" (malas gerak), "santuy" (plesetan dari santai).
Perlu dicatat bahwa tidak semua neologisme akan bertahan atau masuk ke dalam kamus. Banyak yang bersifat sementara (disebut protologisme pada tahap awal) atau hanya digunakan dalam kelompok tertentu. Namun, neologisme yang terus digunakan dan diterima oleh masyarakat luas memiliki peluang lebih besar untuk menjadi bagian dari kosakata standar dan dicatat dalam kamus.
Referensi:
Informasi di atas disintesis dari berbagai sumber, termasuk konsep-konsep umum dalam linguistik mengenai perubahan bahasa dan leksikologi, serta merujuk pada temuan dari hasil pencarian yang mengarah pada artikel dan publikasi mengenai neologisme dalam Bahasa Indonesia. Beberapa referensi yang relevan dengan topik ini meliputi:
1. Jurnal atau publikasi yang membahas neologisme dari perspektif linguistik teoretis dan terapan.
2. Penelitian mengenai perkembangan kosakata Bahasa Indonesia.
3. Publikasi dari lembaga bahasa resmi seperti Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
4. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) sebagai sumber data kosakata standar.
5. Studi kasus mengenai pembentukan dan penyebaran neologisme di ranah spesifik (misalnya, media sosial, sains, teknologi).
Untuk referensi spesifik dari hasil pencarian, beberapa judul yang relevan antara lain membahas definisi neologisme, proses pembentukan kata, kriteria masuk kamus (mengutip adaptasi dari National Institute of Korean Language dan referensi lain), serta contoh neologisme dalam konteks media sosial dan era pandemi COVID-19. Studi mengenai keberterimaan neologisme di masyarakat juga menjadi referensi penting dalam memahami aspek adopsi.
Komentar
Posting Komentar