Wangi Kurban dan Manisnya Persahabatan di Pintu Kos ?

Tentu, ini cerita pendek tentang momen memasak daging kurban bersama teman anak, diakhiri dengan kiriman martabak manis di pintu gerbang kos, dalam suasana kekeluargaan:
Wangi Kurban dan Manisnya Persahabatan di Pintu Kos
Sabtu sore itu, suasana di halaman rumah kos kami yang sederhana mendadak ramai. Bukan karena penghuni baru, melainkan karena aroma sate dan gulai kambing yang menyeruak dari dapur umum di area kos. Budi, putra tunggal kami yang baru kuliah di Bandung, bersama dua sahabat karibnya sejak SMA, Rio dan Dani, sedang beraksi.
"Bud, ini bawang merahnya kurang halus, nih!" teriak Rio, sambil terkekeh melihat Budi yang kesusahan mengulek bumbu.
"Ya elah, gue kan bisanya main game, bukan ngulek!" balas Budi, nyengir. "Lagian, siapa suruh lo yang paling jago masak di antara kita."
Dani, yang sibuk mengipas-ngipas sate di tungku arang, tertawa. "Makanya, Bud, jangan cuma rebahan mulu. Belajar mandiri! Besok kalau udah punya istri, mau masak apa?"
Saya, sebagai ibu kos sekaligus ibu Budi, hanya bisa tersenyum melihat tingkah mereka. Senang rasanya melihat anak-anak muda ini akrab dan mau repot-repot masak daging kurban bersama. Daging ini memang sebagian dari jatah kurban yang kami terima dari masjid komplek. Niatnya, mau kami masak sendiri, tapi Budi punya ide lain.
"Bu, boleh nggak kalau dagingnya kita masak bareng sama Rio sama Dani? Terus nanti kita makan bareng di sini aja, biar hemat," usul Budi kemarin. Tentu saja saya setuju. Hitung-hitung, ini jadi ajang silaturahmi mereka juga.
Waktu beranjak sore, dan hidangan sudah tersaji di meja makan sederhana di ruang tamu. Ada sate kambing yang masih mengepul, gulai yang kuahnya kental, dan nasi hangat. Mereka bertiga duduk bersila, tak sabar menyantap hasil karya mereka.
"Wah, gila sih ini sate! Enak banget!" seru Dani, langsung menyerbu.
"Gulai lo juga mantap, Yo!" timpal Budi, melahap gulai dengan nikmat.
Rio hanya tersenyum bangga. "Kan udah gue bilang, resep warisan nenek gue ini mah. Kalian berdua cuma bantuin ngotor-ngotorin doang."
Mereka kembali tertawa. Suasana begitu hangat, seolah kami sudah lama saling kenal. Saya melihat Budi yang jarang sekali sesemangat ini di rumah. Mungkin karena ada teman-teman dekatnya.
"Gimana rasanya masak daging kurban, Nak?" tanya saya kepada mereka.
Rio menjawab, "Seru, Tante! Jadi berasa kayak keluarga sendiri. Biasanya kan kalau di rumah, Mama yang masak semua."
"Iya, Tante. Jadi tahu susahnya orang tua di dapur," tambah Dani.
Budi mengangguk. "Tadi pas motong-motong daging, saya inget kata khutbah Idul Adha, Bu. Kalau kurban itu bukan cuma nyembelih hewan, tapi nyembelih ego kita. Jadi ya, walau tangan belepotan, hati rasanya senang."
Saya tersenyum. "Alhamdulillah, kalau begitu. Itu namanya berkah dari ibadah kurban, Nak. Bukan cuma dagingnya yang nikmat, tapi juga pahala dan pelajaran yang kita dapat."
Ketika mereka sedang asyik bercengkrama, tiba-tiba terdengar suara klakson motor di depan gerbang kos.
"Assalamualaikum! Martabak!" teriak sebuah suara.
Budi mengerutkan kening. "Lho, siapa ya?"
Ia segera beranjak ke pintu gerbang. Di sana, sudah berdiri Pak Hasan, tetangga kami yang punya kios martabak di ujung jalan, dengan senyum lebar sambil memegang dua kotak martabak manis jumbo.
"Ini ada titipan dari ibu-ibu pengajian, Nak Budi," kata Pak Hasan. "Martabak manis buat kalian yang udah pada capek masak kurban. Katanya, biar makin manis silaturahminya."
Budi terkejut. "Masya Allah! Makasih banyak, Pak Hasan! Salam buat ibu-ibu pengajian ya!"
Ia membawa masuk kotak martabak itu dengan senyum sumringah. Rio dan Dani menatapnya dengan heran.
"Wah, rezeki anak soleh nih! Martabak gratis!" seru Dani, langsung membuka salah satu kotak. Aroma cokelat dan keju langsung menyebar.
"Ini dari ibu-ibu pengajian komplek, Yo, Dan," jelas Budi. "Tadi pas gue lewat, mereka lagi bahas acara kurban di masjid, terus ngelihat gue kayaknya pada nyiapin sesuatu."
Rio mencicipi martabak. "Wah, ini sih the best! Double cokelat keju."
"Ini namanya berkah silaturahmi, Nak," kata saya. "Karena kalian mau berbagi dan menjalin kebersamaan, Allah balas dengan cara yang tidak disangka-sangka."
Dani menyahut, "Jadi, ini bukan cuma enak di lidah, Tante, tapi juga enak di hati."
Malam itu, di pintu gerbang kos kami yang sederhana, kehangatan tidak hanya datang dari masakan kurban yang lezat, tetapi juga dari manisnya martabak yang tak terduga, dan tawa renyah tiga sahabat yang seperti keluarga. Semua itu adalah bukti bahwa kebersamaan dan kekeluargaan sejati bisa tumbuh di mana saja, bahkan di sebuah rumah kos, dan membawa nikmat tak terhingga yang melampaui segala keterbatasan. Semoga kita semua bisa menjadi manusia-manusia yang selalu bersyukur, Alhamdulillah.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Profil Asep Rohmandar : Presiden Masyarakat Peneliti Mandiri Sunda Nusantara

Visi dan Misi Asep Rohmandar sebagai penulis dan peneliti

Prolog Buku Komunikasi Pendidikan Yang Efektif? By Asep Rohmandar