Teori dan Praktek Evaluasi Awal Kelemahan Tata Kelola Danantara dan Potensi Dampaknya bagi Kebijakan Publik di Indonesia
Teori dan Praktek Evaluasi Awal Kelemahan Tata Kelola Danantara dan Potensi Dampaknya bagi Kebijakan Publik di Indonesia
Abstrak
Tata kelola danantara (intergovernmental fiscal relations) merupakan aspek fundamental dalam sistem pemerintahan Indonesia yang mengatur hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah. Essay ini menganalisis kelemahan-kelemahan dalam tata kelola danantara Indonesia melalui perspektif teoritis dan praktis, serta mengidentifikasi potensi dampaknya terhadap efektivitas kebijakan publik. Melalui evaluasi komprehensif, ditemukan bahwa kelemahan utama terletak pada asimetri informasi, ketidakseimbangan fiskal vertikal, dan koordinasi yang lemah antar tingkat pemerintahan. Dampak dari kelemahan ini berpotensi menghambat pencapaian tujuan pembangunan nasional dan mengurangi efisiensi alokasi sumber daya publik.
1. Pendahuluan
Sejak reformasi tahun 1998, Indonesia telah mengalami transformasi signifikan dalam sistem pemerintahan dari sentralistik menuju desentralisasi. Perubahan ini membawa konsekuensi kompleks dalam tata kelola danantara yang mengatur hubungan fiskal antara pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah menjadi landasan hukum utama yang mengatur mekanisme ini.
Namun, implementasi tata kelola danantara di Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan struktural dan operasional yang berpotensi menghambat efektivitas kebijakan publik. Kelemahan-kelemahan ini tidak hanya bersifat teknis tetapi juga melibatkan aspek politik, administratif, dan kelembagaan yang kompleks.
2. Landasan Teoritis Tata Kelola Danantara
2.1 Teori Federalisme Fiskal
Teori federalisme fiskal yang dikembangkan oleh Musgrave (1959) dan Oates (1972) menyediakan kerangka teoritis untuk memahami pembagian fungsi dan tanggung jawab fiskal antar tingkat pemerintahan. Menurut teori ini, efisiensi ekonomi dapat dicapai melalui desentralisasi fungsi alokasi dan distribusi ke tingkat pemerintahan yang lebih rendah, sementara fungsi stabilisasi tetap berada di tingkat pusat.
Tiebout (1956) melalui model "voting with feet" menunjukkan bahwa desentralisasi dapat meningkatkan efisiensi alokasi melalui kompetisi antar yurisdiksi. Namun, model ini mengasumsikan mobilitas penduduk yang sempurna dan tidak adanya spillover effects, yang dalam praktiknya sulit diwujudkan.
2.2 Teori Principal-Agent
Hubungan danantara dapat dianalisis melalui teori principal-agent (Jensen & Meckling, 1976) di mana pemerintah pusat bertindak sebagai principal dan pemerintah daerah sebagai agent. Asimetri informasi dan perbedaan tujuan antara kedua pihak dapat menimbulkan moral hazard dan adverse selection yang mengurangi efisiensi sistem.
2.3 Teori Koordinasi dan Spillover Effects
Teori ini menekankan pentingnya koordinasi antar tingkat pemerintahan untuk mengatasi eksternalitas (spillover effects) dari kebijakan publik. Tanpa koordinasi yang efektif, kebijakan di satu daerah dapat berdampak negatif pada daerah lain, mengurangi efisiensi secara keseluruhan.
3. Kelemahan Tata Kelola Danantara di Indonesia
3.1 Asimetri Informasi
Salah satu kelemahan fundamental dalam tata kelola danantara Indonesia adalah asimetri informasi yang signifikan antara pemerintah pusat dan daerah. Pemerintah daerah memiliki informasi yang lebih lengkap tentang kondisi lokal, kebutuhan masyarakat, dan potensi sumber daya, namun seringkali tidak memiliki insentif yang cukup untuk menyampaikan informasi yang akurat kepada pemerintah pusat.
Kondisi ini diperparah oleh sistem pelaporan yang belum terintegrasi dan standar akuntansi yang belum sepenuhnya seragam antar daerah. Akibatnya, pemerintah pusat kesulitan dalam melakukan alokasi sumber daya yang optimal dan monitoring yang efektif terhadap kinerja pemerintah daerah.
3.2 Ketidakseimbangan Fiskal Vertikal
Indonesia mengalami ketidakseimbangan fiskal vertikal yang signifikan, di mana pemerintah pusat menguasai sekitar 60-70% dari total penerimaan negara, sementara pemerintah daerah bertanggung jawab atas sekitar 40-50% dari total pengeluaran publik. Ketidakseimbangan ini menciptakan ketergantungan yang tinggi dari pemerintah daerah terhadap transfer fiskal dari pusat.
Dana Alokasi Umum (DAU) yang merupakan komponen terbesar dalam transfer fiskal, meskipun dirancang untuk mengurangi kesenjangan fiskal, masih belum mampu sepenuhnya mengatasi disparitas kapasitas fiskal antar daerah. Formula DAU yang kompleks dan sering berubah juga menimbulkan ketidakpastian dalam perencanaan anggaran daerah.
3.3 Koordinasi yang Lemah
Koordinasi antar tingkat pemerintahan dalam perencanaan dan implementasi kebijakan publik masih menjadi tantangan utama. Sistem perencanaan yang terfragmentasi antara Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD), dan rencana sektoral seringkali tidak sinkron dan menimbulkan duplikasi atau gap dalam program pembangunan.
Kurangnya forum koordinasi yang efektif dan mekanisme penyelesaian konflik yang jelas juga memperburuk masalah koordinasi ini. Akibatnya, kebijakan yang dihasilkan seringkali tidak optimal dan tidak mampu mengatasi permasalahan yang bersifat lintas wilayah.
3.4 Kapasitas Kelembagaan yang Beragam
Kapasitas kelembagaan pemerintah daerah yang sangat beragam menjadi kelemahan struktural dalam tata kelola danantara. Disparitas dalam hal kualitas sumber daya manusia, sistem informasi, dan infrastruktur kelembagaan mengakibatkan perbedaan yang signifikan dalam kemampuan pemerintah daerah untuk mengelola sumber daya dan mengimplementasikan kebijakan.
Daerah dengan kapasitas kelembagaan yang rendah cenderung kurang efektif dalam perencanaan, implementasi, dan monitoring kebijakan, yang pada akhirnya mengurangi efektivitas sistem secara keseluruhan.
3.5 Insentif yang Tidak Tepat
Struktur insentif dalam sistem transfer fiskal Indonesia belum sepenuhnya mendorong perilaku yang optimal dari pemerintah daerah. Dana Alokasi Khusus (DAK) yang seharusnya mendorong investasi dalam sektor prioritas nasional masih terbatas dalam cakupan dan fleksibilitasnya.
Sementara itu, Dana Bagi Hasil (DBH) yang seharusnya memberikan insentif untuk meningkatkan penerimaan daerah masih belum optimal karena basis perhitungan yang tidak sepenuhnya mencerminkan kontribusi daerah terhadap penerimaan nasional.
4. Dampak Kelemahan Tata Kelola Danantara terhadap Kebijakan Publik
4.1 Inefisiensi Alokasi Sumber Daya
Kelemahan dalam tata kelola danantara berdampak langsung pada inefisiensi alokasi sumber daya publik. Asimetri informasi dan koordinasi yang lemah menyebabkan mismatch antara kebutuhan riil di daerah dengan alokasi sumber daya yang diberikan. Hal ini mengakibatkan pemborosan sumber daya di satu sisi dan kekurangan sumber daya di sisi lain.
Studi empiris menunjukkan bahwa efisiensi pengeluaran publik di Indonesia masih relatif rendah dibandingkan dengan negara-negara lain dengan tingkat pembangunan yang serupa. Hal ini tercermin dari rendahnya indeks efisiensi dalam penyediaan layanan publik seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur.
4.2 Kesenjangan Antar Daerah
Kelemahan dalam mekanisme pemerataan fiskal berdampak pada persistensi kesenjangan pembangunan antar daerah. Meskipun telah ada mekanisme DAU dan DAK, disparitas kapasitas fiskal antar daerah masih tetap tinggi. Daerah dengan sumber daya alam yang melimpah cenderung memiliki kapasitas fiskal yang lebih besar, sementara daerah dengan potensi terbatas mengalami kesulitan dalam membiayai program pembangunan.
Kesenjangan ini tidak hanya berdampak pada aspek ekonomi tetapi juga sosial dan politik, yang dapat mengancam kohesi nasional dan stabilitas sosial.
4.3 Kualitas Layanan Publik yang Tidak Merata
Disparitas kapasitas kelembagaan dan sumber daya antar daerah berdampak pada kualitas layanan publik yang tidak merata. Daerah dengan kapasitas yang tinggi mampu menyediakan layanan publik yang berkualitas, sementara daerah dengan kapasitas rendah kesulitan memenuhi standar minimal pelayanan publik.
Kondisi ini bertentangan dengan prinsip pemerataan dan keadilan dalam penyediaan layanan publik, yang merupakan salah satu tujuan utama desentralisasi.
4.4 Hambatan dalam Pencapaian Tujuan Nasional
Koordinasi yang lemah dan inkonsistensi kebijakan antar tingkat pemerintahan menghambat pencapaian tujuan pembangunan nasional. Program-program strategis nasional seperti pengentasan kemiskinan, peningkatan kualitas pendidikan, dan pembangunan infrastruktur seringkali tidak mencapai target yang ditetapkan karena implementasi di tingkat daerah yang tidak optimal.
4.5 Risiko Moral Hazard
Ketergantungan yang tinggi terhadap transfer fiskal dari pusat dapat menimbulkan moral hazard di mana pemerintah daerah tidak memiliki insentif yang cukup untuk meningkatkan efisiensi pengeluaran atau upaya mobilisasi sumber daya lokal. Hal ini dapat mengurangi akuntabilitas dan responsivitas pemerintah daerah terhadap masyarakat.
5. Evaluasi Praktik Tata Kelola Danantara
5.1 Sistem Transfer Fiskal
Evaluasi terhadap sistem transfer fiskal Indonesia menunjukkan bahwa meskipun telah ada perbaikan dalam hal transparansi dan predictability, masih terdapat beberapa kelemahan fundamental:
5.1.1. Dana Alokasi Umum (DAU) : Formula DAU yang kompleks dan sering berubah menimbulkan ketidakpastian dalam perencanaan anggaran daerah. Selain itu, penggunaan indeks kemahalan konstruksi dalam formula DAU belum sepenuhnya mencerminkan perbedaan biaya hidup antar daerah.
5.1.2. Dana Alokasi Khusus (DAK) : Meskipun DAK dirancang untuk mendorong investasi dalam sektor prioritas nasional, cakupan dan fleksibilitasnya masih terbatas. Prosedur pengajuan dan pelaporan DAK yang rumit juga mengurangi efektivitasnya.
5.1.3. Dana Bagi Hasil (DBH) : Sistem DBH masih belum memberikan insentif yang optimal untuk peningkatan penerimaan daerah karena basis perhitungan yang tidak sepenuhnya mencerminkan kontribusi daerah.
5.2 Sistem Monitoring dan Evaluasi
Sistem monitoring dan evaluasi kinerja fiskal daerah masih lemah dan tidak terintegrasi. Laporan keuangan daerah yang tidak tepat waktu dan tidak akurat menyulitkan pemerintah pusat dalam melakukan monitoring dan evaluasi yang efektif.
Selain itu, indikator kinerja yang digunakan masih terfokus pada aspek input dan output, belum mencakup aspek outcome dan impact yang lebih relevan dengan tujuan pembangunan.
5.3 Kapasitas Kelembagaan
Evaluasi terhadap kapasitas kelembagaan menunjukkan disparitas yang signifikan antar daerah. Daerah dengan kapasitas tinggi umumnya memiliki sistem perencanaan dan penganggaran yang lebih baik, sementara daerah dengan kapasitas rendah masih menghadapi berbagai kendala dalam hal SDM, sistem informasi, dan infrastruktur kelembagaan.
6. Rekomendasi Perbaikan
6.1 Perbaikan Sistem Informasi
Pengembangan sistem informasi keuangan daerah yang terintegrasi dan real-time dapat mengurangi asimetri informasi dan meningkatkan transparansi. Sistem ini harus mencakup tidak hanya aspek keuangan tetapi juga kinerja program dan layanan publik.
6.2 Penyempurnaan Formula Transfer Fiskal
Formula transfer fiskal perlu disempurnakan untuk lebih mencerminkan kebutuhan riil daerah dan memberikan insentif yang tepat. Hal ini mencakup perbaikan dalam perhitungan kebutuhan fiskal, kapasitas fiskal, dan indeks kemahalan.
6.3 Penguatan Koordinasi
Penguatan mekanisme koordinasi antar tingkat pemerintahan melalui forum koordinasi yang lebih efektif dan sistem perencanaan yang terintegrasi. Hal ini dapat dicapai melalui perbaikan dalam siklus perencanaan dan penganggaran yang lebih sinkron.
6.4 Pengembangan Kapasitas
Program pengembangan kapasitas yang sistematis dan berkelanjutan untuk pemerintah daerah, khususnya dalam hal manajemen keuangan, perencanaan pembangunan, dan penyediaan layanan publik.
6.5 Perbaikan Sistem Insentif
Redesain sistem insentif dalam transfer fiskal untuk mendorong perilaku yang optimal dari pemerintah daerah, termasuk insentif untuk efisiensi, inovasi, dan peningkatan kualitas layanan publik.
7. Kesimpulan
Tata kelola danantara di Indonesia masih menghadapi berbagai kelemahan struktural dan operasional yang berdampak signifikan terhadap efektivitas kebijakan publik. Kelemahan utama terletak pada asimetri informasi, ketidakseimbangan fiskal vertikal, koordinasi yang lemah, disparitas kapasitas kelembagaan, dan struktur insentif yang tidak optimal.
Dampak dari kelemahan ini meliputi inefisiensi alokasi sumber daya, persistensi kesenjangan antar daerah, kualitas layanan publik yang tidak merata, hambatan dalam pencapaian tujuan nasional, dan risiko moral hazard. Untuk mengatasi kelemahan ini, diperlukan reformasi komprehensif yang mencakup perbaikan sistem informasi, penyempurnaan formula transfer fiskal, penguatan koordinasi, pengembangan kapasitas, dan perbaikan sistem insentif.
Reformasi ini tidak hanya memerlukan komitmen politik yang kuat tetapi juga pendekatan yang sistematis dan berkelanjutan. Keberhasilan reformasi tata kelola danantara akan berkontribusi signifikan terhadap peningkatan efektivitas kebijakan publik dan pencapaian tujuan pembangunan nasional.
Referensi
Ahmad, E., & Brosio, G. (2006). Handbook of fiscal federalism. Edward Elgar Publishing.
Bahl, R., & Linn, J. (2014). Governing and financing cities in the developing world. Lincoln Institute of Land Policy.
Bappenas. (2019). Evaluasi Implementasi Kebijakan Desentralisasi di Indonesia. Jakarta: Bappenas.
Bird, R. M. (2011). Subnational taxation in developing countries: A review of the literature. Journal of International Commerce, Economics and Policy, 2(01), 139-161.
Brodjonegoro, B. (2001). Three years of fiscal decentralization in Indonesia: Its impacts on regional economic development and fiscal sustainability. Visiting Researcher Series, 13.
Fitrani, F., Hofman, B., & Kaiser, K. (2005). Unity in diversity? The creation of new local governments in a decentralising Indonesia. Bulletin of Indonesian Economic Studies, 41(1), 57-79.
Hofman, B., & Kaiser, K. (2004). The making of the 'big bang' and its aftermath: A political economy perspective. Reforming intergovernmental fiscal relations and the rebuilding of Indonesia, 15-46.
Jensen, M. C., & Meckling, W. H. (1976). Theory of the firm: Managerial behavior, agency costs and ownership structure. Journal of Financial Economics, 3(4), 305-360.
Kementerian Keuangan. (2020). Buku Pegangan Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah. Jakarta: Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan.
Lewis, B. D. (2001). The new Indonesian equalization transfer. Bulletin of Indonesian Economic Studies, 37(3), 325-343.
Musgrave, R. A. (1959). The theory of public finance. McGraw-Hill.
Oates, W. E. (1972). Fiscal federalism. Harcourt Brace Jovanovich.
Rukmana, N. (2009). Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah dalam Kerangka Desentralisasi Fiskal. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Sidik, M. (2002). Desentralisasi Fiskal dan Pembangunan Daerah. Jakarta: Yayasan Pembangunan.
Simanjuntak, R. (2010). Implementasi Desentralisasi Fiskal di Indonesia. Jakarta: Lembaga Penerbit FE UI.
Smoke, P. (2001). Fiscal decentralization in developing countries: A review of current concepts and practice. UNRISD.
Tiebout, C. M. (1956). A pure theory of local expenditures. Journal of Political Economy, 64(5), 416-424.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.
World Bank. (2019). Indonesia: Towards a Comprehensive, Integrated, and Effective Social Assistance System. Washington, DC: World Bank.
Yustika, A. E. (2008). Desentralisasi Ekonomi di Indonesia: Kajian Teoritis dan Realitas Empiris. Malang: Bayumedia Publishing. Sunda Raya, 13 Juli 2025
Komentar
Posting Komentar