Redefinisi Pembangunan Global Berbasis Risiko: Investasi Kritis Menuju Ketahanan dan Keadilan Dunia
Redefinisi Pembangunan Global Berbasis Risiko: Investasi Kritis Menuju Ketahanan dan Keadilan Dunia
Krisis multidimensional seperti konflik geopolitik, perubahan iklim, resesi ekonomi, dan pandemi menunjukkan bahwa dunia masih rentan terhadap risiko yang tidak terkelola dengan baik. Esai ini mengangkat pentingnya pendekatan pembangunan berbasis risiko sebagai paradigma baru dalam tata kelola global. Merujuk pada laporan "Pembangunan Berisiko" yang dirilis oleh UNDP, tulisan ini menekankan tiga pengungkit utama: redefinisi hasil pembangunan di luar PDB, tata kelola yang adaptif dan partisipatif, serta penguatan kerja sama internasional. Esai ini menawarkan argumentasi dan strategi yang dapat diadopsi oleh negara berkembang dalam merumuskan kebijakan nasional yang inklusif, resilien, dan berkeadilan.
Dalam beberapa dekade terakhir, dunia menghadapi krisis global yang semakin kompleks dan simultan. Mulai dari pandemi COVID-19, konflik Rusia-Ukraina, krisis energi, hingga bencana iklim yang melanda berbagai belahan dunia, semuanya menunjukkan bahwa risiko bukan lagi sesuatu yang bersifat lokal, melainkan sistemik dan lintas batas. Laporan United Nations Development Programme (UNDP) bertajuk “Pembangunan Berisiko: Melindungi Keuntungan dan Melepaskan Peluang di Tengah Krisis” (2022) menyerukan perlunya pendekatan baru terhadap pembangunan global yang tidak lagi terjebak pada pertumbuhan ekonomi semata, melainkan pada ketahanan, keadilan sosial, dan daya lenting sistemik.
Pembangunan Tidak Lagi Netral: Risiko Sebagai Poros Analisis
Krisis tidak terjadi secara acak. Ia lahir dari risiko-risiko yang dibiarkan tumbuh tanpa pengawasan atau intervensi. Dalam kerangka berpikir ini, pembangunan bukan sekadar proses menambah PDB atau infrastruktur fisik, melainkan bagaimana menciptakan sistem sosial, ekonomi, dan politik yang mampu menyerap guncangan serta pulih secara adil. Pendekatan ini disebut risk-informed development, yakni strategi pembangunan yang mengintegrasikan manajemen risiko ke dalam seluruh siklus kebijakan publik (UNDP, 2022; World Bank, 2021). Tiga Pengungkit Kunci Menuju Perubahan
1. Redefinisi Hasil Pembangunan: Melampaui PDB
PDB (Produk Domestik Bruto) seringkali dijadikan indikator utama keberhasilan pembangunan. Namun, dalam banyak kasus, pertumbuhan ekonomi tidak sebanding dengan peningkatan kesejahteraan rakyat. Laporan UNDP menyarankan pergeseran ke paradigma pembangunan manusia (human development), ketahanan sosial (resilience), dan keamanan multidimensi (human security). Pendekatan ini mengukur capaian pembangunan tidak hanya dari output ekonomi, melainkan juga dari keberlanjutan, kesetaraan, dan inklusi (Sen, 1999; Raworth, 2017).
2. Tata Kelola yang Adaptif dan Partisipatif
Sistem pemerintahan di berbagai negara terlalu birokratis, kaku, dan kurang responsif terhadap perubahan mendadak. Untuk itu, dibutuhkan reformasi tata kelola berbasis risiko yang adaptif, inklusif, dan berbasis data. Konsep adaptive governance menekankan pentingnya partisipasi masyarakat, fleksibilitas kebijakan, dan pemanfaatan teknologi untuk deteksi dan respon dini terhadap potensi krisis (Folke et al., 2005; OECD, 2021).
3. Kerja Sama Internasional yang Antisipatif dan Inovatif
Krisis global memerlukan respons kolektif. Dibutuhkan koalisi negara-negara yang tidak hanya fokus pada respons reaktif, tetapi juga pembiayaan antisipatif, inovasi transnasional, dan sistem pendanaan berbasis risiko. Misalnya, Climate Risk Insurance dan Pandemic Emergency Financing Facility menjadi contoh mekanisme internasional untuk mengantisipasi krisis sebelum menjadi bencana besar (G7, 2015; WHO, 2020). Rekomendasi Strategis untuk Negara Berkembang
-
Mengintegrasikan sistem manajemen risiko ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM).
Ini mencakup indikator risiko dalam penyusunan anggaran nasional dan perencanaan sektoral. -
Membentuk Badan Nasional Manajemen Risiko Pembangunan (BNMRP)
Lembaga ini akan menjadi pusat koordinasi antar kementerian, dunia usaha, dan masyarakat sipil. -
Mendorong literasi risiko di tingkat pendidikan dan masyarakat.
Literasi risiko perlu menjadi bagian dari kurikulum sekolah dan pelatihan profesional di sektor publik dan swasta. -
Menjalin kerja sama dengan organisasi multilateral dalam transfer pengetahuan dan dana mitigasi. Penutup
Era krisis memerlukan pendekatan pembangunan yang tidak lagi linier dan ekonomis semata. Kita membutuhkan pembangunan yang mampu menahan guncangan, adaptif terhadap ketidakpastian, serta berakar pada nilai-nilai inklusi dan keadilan sosial. Seperti yang ditegaskan dalam laporan UNDP, “berinvestasi dalam pembangunan berbasis risiko adalah pertahanan terbaik kita terhadap ketidakpastian masa depan.” Sudah saatnya para pemimpin dunia, termasuk di negara-negara berkembang, menjadikan risiko bukan sebagai musuh, tetapi sebagai kompas dalam merancang kebijakan publik yang transformatif. Referensi :
- UNDP. (2022). Risk-Informed Development: Protecting Progress and Unlocking Opportunity in Times of Crisis. United Nations Development Programme. https://www.undp.org/publications
- Raworth, K. (2017). Doughnut Economics: Seven Ways to Think Like a 21st-Century Economist. Chelsea Green Publishing.
- Sen, A. (1999). Development as Freedom. Oxford University Press.
- Folke, C., Hahn, T., Olsson, P., & Norberg, J. (2005). Adaptive governance of social-ecological systems. Annual Review of Environment and Resources, 30(1), 441–473.
- OECD. (2021). Governance for a sustainable recovery from COVID-19. https://www.oecd.org
- G7. (2015). InsuResilience: The Initiative on Climate Risk Insurance. https://www.insuresilience.org
- WHO. (2020). Pandemic Emergency Financing Facility. https://www.who.int
Komentar
Posting Komentar