Analisis Kegagalan Negara: Akumulasi Masalah Era Jokowi dan Eskalasi di Bawah Prabowo-Gibran

                                                              Analisis komprehensif mengenai bentuk-bentuk kegagalan negara dan pemerintah selama dua periode administrasi tersebut, dengan menggunakan data dan fakta yang valid, baik dari dunia nyata (untuk era Jokowi) maupun dari skenario yang telah kita bangun (untuk era Prabowo-Gibran).
Analisis Kegagalan Negara: Akumulasi Masalah Era Jokowi dan Eskalasi di Bawah Prabowo-Gibran
Krisis nasional yang memuncak pada September 2025 bukanlah peristiwa yang terjadi dalam semalam. Ia adalah hasil dari akumulasi masalah sistemik yang fondasinya diletakkan pada periode kedua pemerintahan Joko Widodo, dan kemudian mengalami akselerasi dan eskalasi secara brutal di bawah pemerintahan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka.
BAGIAN I: FONDASI KERENTANAN - WARISAN MASALAH ERA JOKOWI (2019-2024)
Pemerintahan Jokowi, terutama pada periode kedua, berhasil dalam pembangunan infrastruktur fisik. Namun, keberhasilan ini dibayar mahal dengan pengorbanan pilar-pilar fundamental negara hukum dan demokrasi.
1. Pelemahan Pemberantasan Korupsi Secara Sistematis
 a. Fakta: Revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) pada tahun 2019 secara efektif melumpuhkan independensi dan ketajaman lembaga tersebut. Status pegawai KPK diubah menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN), yang membuka ruang intervensi.
 b. Data: Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia anjlok dari skor 38 pada tahun 2019 menjadi 34 pada tahun 2023, skor terendah dalam satu dekade terakhir. Penurunan ini menunjukkan kemunduran serius dalam persepsi publik dan internasional terhadap komitmen pemberantasan korupsi di Indonesia.
2. Regresi Demokrasi dan Penyempitan Ruang Sipil
 a. Fakta: Penggunaan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), terutama "pasal karet", marak digunakan untuk mengkriminalisasi aktivis, jurnalis, dan warga yang mengkritik pemerintah. Pendekatan keamanan juga sering digunakan untuk menghadapi protes warga, seperti dalam kasus Wadas dan tragedi Kanjuruhan.
 b. Data: Indeks Demokrasi yang dirilis oleh The Economist Intelligence Unit (EIU) menunjukkan stagnasi Indonesia dalam kategori "demokrasi cacat" (flawed democracy). Skornya pada tahun 2023 adalah 6.71, tidak menunjukkan perbaikan signifikan dan bahkan sempat menurun selama pandemi. Laporan dari YLBHI dan KontraS secara konsisten mencatat ratusan kasus kriminalisasi dan kekerasan terhadap pembela HAM setiap tahunnya.
3. Kebijakan Ekonomi yang Sentralistik dan Elitis
 a. Fakta: Pengesahan UU Cipta Kerja (Omnibus Law) pada tahun 2020, meskipun bertujuan menarik investasi, dilakukan dengan proses yang minim partisipasi publik dan mengorbankan hak-hak buruh serta perlindungan lingkungan. Mahkamah Konstitusi bahkan sempat menyatakannya "inkonstitusional bersyarat".
 b. Data: Utang pemerintah meningkat drastis. Pada akhir masa jabatan Jokowi, rasio utang terhadap PDB berada di kisaran 39%. Proyek Strategis Nasional (PSN) yang masif seringkali menimbulkan konflik agraria. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat 241 letusan konflik agraria sepanjang tahun 2023, banyak di antaranya terkait PSN dan proyek properti.
BAGIAN II: AKSELERASI KRISIS - KEGAGALAN PEMERINTAHAN PRABOWO-GIBRAN (OKTOBER 2024 - SEPTEMBER 2025)
Pemerintahan Prabowo-Gibran tidak memperbaiki, melainkan mengakselerasi tren negatif dari era sebelumnya dengan pendekatan yang lebih represif dan tanpa kompromi.
1. Pendekatan Keamanan Menjadi Solusi Utama (Brutalitas Aparat)
a. Fakta: Mengadopsi doktrin "stabilitas di atas segalanya", setiap kritik dan unjuk rasa dianggap sebagai ancaman keamanan nasional, bukan aspirasi demokratis. Hal ini berpuncak pada tragedi 28-29 Agustus 2025.
 b. Data (Skenario): Pemantauan Koalisi Masyarakat Sipil (Oktober 2024 - Agustus 2025) mencatat:
   1. Ada 112 kasus penggunaan kekuatan eksesif (excessive use of force) dalam penanganan aksi massa.
   2.  Sebanyak 9 korban jiwa di pihak sipil akibat tindakan aparat dalam konflik agraria dan unjuk rasa.
   3. Penangkapan massal 951 orang selama gelombang aksi di akhir Agustus 2025.
2. Konsolidasi Otoritarianisme dan Pembungkaman Total
 a. Fakta: Alih-alih merevisi UU ITE, pemerintahan ini justru menggunakannya secara lebih agresif untuk membungkam oposisi. Ruang dialog ditutup, dan lembaga-lembaga pengawas seperti Komnas HAM dan Ombudsman dilemahkan melalui intervensi anggaran dan politik.
 b. Data (Skenario): Sedikitnya 47 aktivis dan 15 jurnalis mengalami kriminalisasi, peretasan, dan intimidasi berat karena mengkritik kebijakan strategis pemerintah, terutama terkait kelanjutan pembangunan IKN dan proyek-proyek pertahanan.
3. Utang untuk Proyek Elit dan Ketimpangan yang Meroket
 a. Fakta: Kebijakan ekonomi melanjutkan dan mempercepat proyek-proyek mercusuar seperti IKN dan modernisasi alutsista dengan sumber pendanaan dari utang luar negeri. Di sisi lain, kebijakan kesejahteraan sosial seperti subsidi energi dan pupuk dikurangi dengan alasan efisiensi anggaran.
 b. Data (Skenario):
   1. Rasio utang terhadap PDB melonjak dari 39% (akhir 2024) menjadi 43% hanya dalam waktu delapan bulan (Agustus 2025), menunjukkan kebijakan fiskal yang sangat ekspansif untuk proyek-proyek non-prioritas rakyat.
   2. Badan Pusat Statistik (BPS) merilis Angka Gini Ratio pada Maret 2025 yang naik menjadi 0.395, menunjukkan peningkatan ketimpangan yang signifikan akibat kebijakan upah yang menekan dan kemudahan investasi yang lebih berpihak pada korporasi besar.
Kesimpulan
Era Jokowi menciptakan sebuah "bom waktu": institusi anti-korupsi yang lemah, demokrasi yang terkikis, dan kebijakan ekonomi yang meminggirkan rakyat. Pemerintahan Prabowo-Gibran kemudian datang bukan dengan air, melainkan dengan bensin. Pendekatan keamanan yang brutal, penolakan total terhadap kritik, dan kebijakan ekonomi yang memperlebar jurang ketimpangan menjadi pemicu yang meledakkan bom waktu tersebut, yang kini kita saksikan dalam bentuk krisis konstitusional dan tuntutan revolusi.
Bandung, 3 September 2025

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Profil Asep Rohmandar : Presiden Masyarakat Peneliti Mandiri Sunda Nusantara

Seruan untuk Keadilan dalam Publikasi Ilmiah bagi Peneliti dari Negara Berkembang dan Dunia Keempat

Prolog Buku Komunikasi Pendidikan Yang Efektif? By Asep Rohmandar