Banyak Akun Aktivis dan Lembaga CSO dibatasi Pemerintah dan Komdigi : Pelanggaran HAM !
Banyak Akun Aktivis dan Lembaga CSO dibatasi Pemerintah dan Komdigi : Pelanggaran HAM ! Pembatasan akun aktivitas oleh pemerintah, seperti pemblokiran atau penangguhan akun media sosial, secara fundamental merupakan tindakan yang berisiko tinggi melanggar hak asasi manusia (HAM). Inti dari pelanggaran ini terletak pada perampasan kebebasan berekspresi dan berpendapat, yang merupakan pilar utama dalam masyarakat demokratis.
Berikut adalah analisis mendalam mengenai mengapa tindakan tersebut dianggap sebagai pelanggaran HAM.
I. Dasar Hukum HAM yang Dilanggar
Fondasi utama dari hak untuk berekspresi dijamin oleh berbagai instrumen hukum internasional yang juga diakui oleh banyak negara, termasuk Indonesia.
📜 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) 1948, Pasal 19:
> "Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat; dalam hak ini termasuk kebebasan memiliki pendapat tanpa gangguan, dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan informasi dan buah pikiran melalui media apa saja dan dengan tidak memandang batas-batas (wilayah)."
>Pasal ini dengan jelas melindungi aktivitas yang terjadi di dunia digital. Media sosial adalah medium modern untuk mencari, menerima, dan menyampaikan informasi. Ketika pemerintah membatasi sebuah akun, ia secara langsung menghalangi ketiga aktivitas yang dijamin oleh DUHAM tersebut.
📜 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR), Pasal 19:
Kovenan ini, yang memiliki kekuatan hukum mengikat bagi negara-negara yang meratifikasinya, juga menegaskan hak yang sama. Namun, ia juga menyebutkan bahwa hak ini bisa dibatasi. Pembatasan ini sangat terbatas dan harus memenuhi tiga syarat ketat yang dikenal sebagai three-part test:
1. Ditetapkan oleh Hukum (Prescribed by Law): Pembatasan harus berdasarkan pada undang-undang yang jelas, spesifik, dan dapat diakses publik, bukan atas perintah sewenang-wenang.
2. Tujuan yang Sah (Legitimate Aim): Tujuannya harus untuk melindungi hak atau reputasi orang lain, keamanan nasional, ketertiban umum, atau kesehatan dan moral publik.
3. Diperlukan (Necessity & Proportionality): Tindakan pembatasan harus benar-benar diperlukan dalam masyarakat demokratis dan proporsional. Artinya, tindakan tersebut harus menjadi pilihan terakhir dan dampaknya tidak boleh lebih merusak daripada masalah yang ingin dipecahkan.
Pelanggaran HAM terjadi ketika pemerintah melakukan pembatasan yang tidak memenuhi ketiga syarat kumulatif tersebut.
II. Bentuk Pelanggaran dalam Praktik
Pembatasan akun oleh pemerintah sering kali menjadi pelanggaran HAM karena alasan-alasan berikut:
1. Sensor dan Pembungkaman Kritik (Chilling Effect)
Pemerintah sering kali menargetkan akun-akun milik aktivis, jurnalis, oposisi politik, atau warga biasa yang vokal mengkritik kebijakan.
a. Tujuan: Membungkam suara-suara kritis dan mencegah penyebaran informasi yang dianggap "tidak nyaman" bagi penguasa.
b. Dampak Pelanggaran: Tindakan ini menciptakan "efek gentar" (chilling effect), di mana warga lain menjadi takut untuk menyuarakan pendapatnya karena khawatir akan menjadi target berikutnya. Hal ini merusak diskursus publik yang sehat dan pengawasan terhadap pemerintah.
2. Kriminalisasi Ekspresi yang Sah
Banyak pemerintah menggunakan undang-undang yang multitafsir, seperti undang-undang tentang pencemaran nama baik, berita bohong (hoaks), atau ujaran kebencian, untuk menjustifikasi pemblokiran.
a. Tujuan: Memberi label "ilegal" pada ekspresi yang sebenarnya merupakan kritik atau pendapat yang sah dalam demokrasi.
b. Dampak Pelanggaran: Hak warga negara untuk berpartisipasi dalam wacana publik menjadi terkikis. Perbedaan antara kritik, penghinaan, dan hoaks sengaja dibuat kabur untuk melegitimasi represi.
3. Tindakan yang Tidak Proporsional
Alih-alih menargetkan konten spesifik yang dianggap melanggar hukum, pemerintah sering kali langsung membatasi atau memblokir seluruh akun.
a. Tujuan: Memberikan hukuman yang cepat dan berefek jera tanpa melalui proses hukum yang adil.
b. Dampak Pelanggaran: Ini adalah bentuk pelanggaran prinsip proporsionalitas. Jika ada satu unggahan yang bermasalah, seharusnya unggahan itulah yang ditangani, bukan dengan "mematikan" seluruh platform ekspresi individu tersebut. Ini ibarat membakar lumbung untuk menangkap seekor tikus.
4. Pelanggaran Hak atas Informasi
Pembatasan akun tidak hanya merugikan pemilik akun, tetapi juga publik yang lebih luas.
a. Tujuan: Mengontrol narasi dan membatasi akses publik terhadap informasi alternatif atau yang tidak sejalan dengan versi pemerintah.
b. Dampak Pelanggaran: Masyarakat kehilangan akses ke beragam sudut pandang yang penting untuk membentuk opini dan mengambil keputusan. Ini secara efektif melanggar hak publik untuk "menerima informasi" seperti yang dijamin dalam Pasal 19 DUHAM.
III. Contoh dan Konteks di Indonesia
Di Indonesia, Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), khususnya pasal-pasal "karet", sering menjadi dasar bagi pembatasan aktivitas digital. Meskipun pemerintah berargumen bahwa tindakan ini diperlukan untuk menjaga "ketertiban umum" dan memberantas konten negatif seperti judi online atau pornografi, praktiknya seringkali meluas hingga menyentuh ranah ekspresi politik.
a. Kasus Pemblokiran Internet di Papua (2019): Meskipun ini adalah pemblokiran akses, bukan akun spesifik, logikanya serupa. Pemerintah membatasi akses internet dengan alasan menekan hoaks saat terjadi kerusuhan. Namun, Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta pada tahun 2020 memutuskan bahwa tindakan pemerintah tersebut melanggar hukum karena tidak memenuhi syarat-syarat pembatasan HAM, terutama karena dilakukan tanpa adanya deklarasi keadaan darurat yang sah.
Kesimpulan :
Pembatasan akun aktivitas oleh pemerintah adalah tindakan intervensi serius terhadap hak asasi manusia. Meskipun tidak absolut, hak atas kebebasan berekspresi adalah norma fundamental. Setiap pembatasan harus melewati pengujian hukum yang ketat: harus sah secara hukum, bertujuan legitim, dan benar-benar diperlukan serta proporsional.
Ketika pemerintah gagal memenuhi standar ini dan menggunakan kekuasaannya untuk membungkam kritik, mengontrol narasi, atau menghukum perbedaan pendapat, maka tindakan tersebut jelas merupakan pelanggaran HAM yang merusak pilar demokrasi dan kebebasan sipil (Bandung, 5/9/2025).
Komentar
Posting Komentar