Era Demonstrasi Global: Antara Krisis Demokrasi dan Harapan Keadilan Inklusif

Era Demonstrasi Global: Antara Krisis Demokrasi dan Harapan Keadilan Inklusif

 I. PENDAHULUAN: FENOMENA GLOBAL YANG MENGKHAWATIRKAN

Dunia sedang menghadapi gelombang demonstrasi dan protes yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah modern. Fenomena ini bukan sekadar manifestasi ketidakpuasan lokal, melainkan cerminan dari krisis sistemik yang mengancam stabilitas global. Data dari Freedom House menunjukkan bahwa untuk ke-19 tahunnya secara berturut-turut, kebebasan global mengalami penurunan pada 2024, dengan 60 negara mengalami deteriorasi dalam hak-hak politik dan kebebasan sipil, sementara hanya 34 negara yang mencatat peningkatan.
Paradoks yang menarik muncul dari situasi ini: di satu sisi, demonstrasi massal menandai era ketidakstabilan global yang mengkhawatirkan, namun di sisi lain, jika dikelola dengan baik, momentum ini berpotensi mendorong terciptanya keadilan yang lebih inklusif. Namun, risiko kekerasan politik yang meningkat pada 2025 membuat situasi ini semakin kompleks dan memerlukan analisis mendalam.

II. SKALA DAN INTENSITAS DEMONSTRASI GLOBAL

A. Data Kuantitatif Fenomena Protes

Carnegie Endowment for International Peace melalui Global Protest Tracker mencatat bahwa lebih dari 700 protes antigovernment yang signifikan telah meletus di seluruh dunia sejak 2017. Yang lebih mengkhawatirkan, lebih dari 147 negara telah mengalami protes yang signifikan, dengan 18% dari protes tersebut berlangsung lebih dari tiga bulan. Khusus untuk protes ekonomi antigovernment, tercatat 258 kejadian signifikan sejak 2017.

Data ini menunjukkan bahwa fenomena demonstrasi bukan lagi kejadian sporadis atau terisolasi, melainkan telah menjadi karakteristik utama dari lanskap politik global kontemporer. Durasi protes yang mencapai lebih dari tiga bulan pada hampir seperlima kasus menunjukkan adanya ketidakpuasan struktural yang mendalam, bukan sekadar reaksi emosional jangka pendek.

B. Pola Geografis dan Tematik

Analisis pola geografis menunjukkan bahwa protes tidak terbatas pada region atau tingkat pembangunan ekonomi tertentu. Dari negara-negara maju di Eropa dan Amerika Utara hingga negara-negara berkembang di Afrika, Asia, dan Amerika Latin, gelombang protes telah melanda hampir seluruh benua. Hal ini mengindikasikan adanya faktor-faktor global yang mempengaruhi stabilitas politik lokal.

Dari perspektif tematik, protes-protes ini mencakup spektrum isu yang luas: dari ketidakadilan ekonomi dan korupsi hingga isu-isu identitas, lingkungan, dan hak asasi manusia. Namun, benang merah yang menghubungkan berbagai protes ini adalah tuntutan akan akuntabilitas pemerintah, transparansi, dan partisipasi yang lebih bermakna dalam proses pengambilan keputusan politik.

III. PENURUNAN KEBEBASAN GLOBAL: ANALISIS MENDALAM

A. Laporan Freedom House 2025: Gambaran yang Mengkhawatirkan

Laporan Freedom in the World 2025 dari Freedom House mengungkap realitas yang memprihatinkan tentang kondisi kebebasan global. Untuk ke-19 tahunnya secara berturut-turut, kebebasan global mengalami penurunan. Data menunjukkan bahwa 60 negara mengalami deteriorasi dalam hak-hak politik dan kebebasan sipil mereka, sementara hanya 34 negara yang mencatat peningkatan.

Negara-negara dengan penurunan skor terbesar mencakup El Salvador, Haiti, Kuwait, dan Tunisia. Sementara itu, Bangladesh, Bhutan, Sri Lanka, dan Syria mencatat peningkatan terbesar dalam kebebasan. Kontras ini menunjukkan bahwa meskipun tren global menunjukkan penurunan, masih ada harapan untuk perbaikan melalui reformasi politik yang tepat.

B. Faktor-Faktor Penyebab Penurunan Kebebasan

Penurunan kebebasan global ini tidak terjadi dalam ruang hampa. Beberapa faktor kunci yang berkontribusi terhadap fenomena ini antara lain:

1. Autoritarianisme yang Menguat 
Banyak pemimpin di berbagai negara telah menggunakan krisis ekonomi, pandemi, dan ketegangan sosial sebagai justifikasi untuk memperkuat kontrol negara dan membatasi hak-hak sipil. Fenomena ini tidak terbatas pada rezim-rezim yang secara tradisional otoriter, tetapi juga terjadi di negara-negara yang sebelumnya dianggap demokratis.

2. Polarisasi Politik 
Meningkatnya polarisasi politik di banyak negara telah menciptakan lingkungan di mana kompromi dan dialog konstruktif menjadi semakin sulit. Hal ini mengakibatkan pemerintah dan oposisi saling melegitimasi tindakan-tindakan represif.

3. Teknologi dan Kontrol Informasi 
Kemajuan teknologi, meskipun memberikan peluang baru untuk partisipasi demokratis, juga telah memberikan alat yang lebih canggih bagi pemerintah untuk melakukan pengawasan dan kontrol terhadap warga negara.

4. Krisis Ekonomi dan Ketimpangan 
Ketimpangan ekonomi yang semakin melebar dan dampak krisis ekonomi global telah menciptakan kondisi di mana stabilitas politik menjadi rapuh, mendorong pemerintah untuk menggunakan cara-cara represif untuk mempertahankan kontrol.

 IV. DINAMIKA DEMONSTRASI SEBAGAI RESPONS TERHADAP KRISIS DEMOKRASI

### A. Protes sebagai Katup Pelepasan Ketegangan Sosial

Demonstrasi massal yang terjadi di berbagai negara dapat dipahami sebagai respons alamiah terhadap penyempitan ruang demokratis. Ketika institusi-institusi formal demokrasi - seperti parlemen, pengadilan, dan media - tidak lagi berfungsi sebagai saluran yang efektif untuk aspirasi publik, masyarakat cenderung beralih ke bentuk-bentuk partisipasi politik yang lebih langsung.

Fenomena ini mencerminkan paradoks demokrasi kontemporer: di satu sisi, institusi-institusi demokratis formal masih ada dan berfungsi; di sisi lain, legitimasi dan efektivitas institusi-institusi tersebut semakin dipertanyakan oleh warga negara. Protes menjadi cara bagi masyarakat untuk menegaskan kedaulatan mereka ketika mekanisme representasi konvensional dianggap gagal.

 B. Karakteristik Protes Kontemporer

Protes-protes yang terjadi dalam dekade terakhir memiliki karakteristik yang berbeda dari gerakan sosial masa lalu:

1. Spontanitas dan Desentralisasib
Berbeda dengan gerakan sosial tradisional yang biasanya dipimpin oleh organisasi formal dengan struktur hierarkis yang jelas, protes kontemporer cenderung lebih spontan dan desentralisasi. Media sosial memainkan peran penting dalam koordinasi dan mobilisasi, memungkinkan gerakan untuk berkembang dengan cepat tanpa kepemimpinan terpusat.

2. Lintas Demografis 
Protes-protes ini melibatkan spektrum demografis yang luas, tidak terbatas pada kelompok-kelompok yang secara tradisional aktif dalam politik. Keterlibatan generasi muda, kelas menengah, dan bahkan segmen masyarakat yang sebelumnya apolitik menunjukkan luasnya ketidakpuasan terhadap status quo.

3. Tuntutan Sistemik 
Meskipun protes mungkin dipicu oleh isu-isu spesifik, tuntutan yang muncul seringkali bersifat sistemik, menuntut perubahan fundamental dalam cara pemerintahan dijalankan, bukan sekadar perubahan kebijakan tertentu.

V. POTENSI POSITIF: MENUJU KEADILAN YANG LEBIH INKLUSIF

A. Demokratisasi dan Akuntabilitas

Meskipun seringkali dilihat sebagai ancaman terhadap stabilitas, demonstrasi massal memiliki potensi untuk mendorong demokratisasi dan meningkatkan akuntabilitas pemerintah. Tekanan dari jalanan dapat memaksa elit politik untuk lebih responsif terhadap aspirasi publik dan melakukan reformasi yang selama ini tertunda.

Pengalaman dari berbagai negara menunjukkan bahwa protes yang dikelola dengan baik dapat menghasilkan perubahan positif. Misalnya, gerakan pro-demokrasi di Korea Selatan pada tahun 2016-2017 berhasil memaksa pengunduran diri Presiden Park Geun-hye dan mendorong reformasi politik yang signifikan.

B. Inklusi dan Representasi

Protes massal seringkali memberikan suara kepada kelompok-kelompok yang sebelumnya terpinggirkan dalam proses politik formal. Gerakan-gerakan seperti Black Lives Matter di Amerika Serikat, #MeToo di berbagai negara, dan protes lingkungan oleh generasi muda telah berhasil menempatkan isu-isu yang sebelumnya diabaikan ke dalam agenda politik mainstream.

Dalam konteks ini, protes berfungsi sebagai mekanisme inklusi politik yang melengkapi sistem representasi formal. Mereka memberikan cara bagi kelompok-kelompok yang kurang terwakili untuk berpartisipasi dalam proses politik dan mempengaruhi agenda publik.

C. Inovasi dalam Partisipasi Politik

Gelombang protes global juga telah mendorong inovasi dalam bentuk-bentuk partisipasi politik. Penggunaan teknologi digital, metode organisasi baru, dan strategi komunikasi yang kreatif telah memperluas repertoar aksi politik dan memberikan inspirasi bagi gerakan-gerakan di negara lain.

VI. RISIKO KEKERASAN POLITIK YANG MENINGKAT PADA 2025

A. Eskalasi Konflik dan Polarisasi

Namun, momentum protes yang meningkat juga membawa risiko signifikan terhadap kekerasan politik. Data dari berbagai lembaga pemantau menunjukkan bahwa risiko kekerasan politik diperkirakan akan meningkat pada 2025. Control Risks dalam RiskMap 2025 mengidentifikasi beberapa faktor yang mendorong tren kekerasan politik, termasuk ancaman yang meningkat dari kelompok-kelompok ekstremis dan dampak radikalisasi dari konflik-konflik regional.

Polarisasi politik yang semakin dalam di banyak negara menciptakan lingkungan di mana kekerasan menjadi semakin dapat diterima sebagai alat politik. Ketika dialog dan kompromi menjadi semakin sulit, risiko bahwa konflik politik akan berubah menjadi kekerasan fisik meningkat secara signifikan.

B. Radikalisasi dan Ekstremisme Ekonomi

Laporan dari Control Risks menunjukkan bahwa ancaman global dari kelompok-kelompok ekstremis Islam kemungkinan akan meningkat pada 2025. Faktor yang paling signifikan - dan merupakan ancaman generasional - adalah dampak radikalisasi dari perang di Gaza dan Lebanon terhadap stabilitas regional.

Selain ekstremisme religius, fenomena radikalisasi politik juga mengkhawatirkan. Ketidakpuasan terhadap sistem politik yang ada, dikombinasikan dengan akses mudah terhadap ideologi-ideologi ekstrem melalui internet, menciptakan kondisi yang kondusif bagi munculnya gerakan-gerakan radikal yang siap menggunakan kekerasan. Termasuk radikalisme ekonomi dan ketamakan oligarki serta konglomerasi akut akan menghadapi gelombang protes yang terus akan berlanjut di berbagai negara. 

C. Kekerasan Negara dan Represif

Di sisi lain, meningkatnya protes juga mendorong respons yang semakin represif dari pemerintah. Penggunaan kekerasan oleh aparat keamanan untuk menangani protes, pemberlakuan undang-undang yang membatasi kebebasan berorganisasi dan berpendapat, serta penangkapan aktivis adalah fenomena yang semakin umum terjadi.

Siklus kekerasan ini - di mana protes yang keras mendorong respons represif, yang kemudian memicu protes yang lebih radikal - merupakan salah satu risiko terbesar yang dihadapi banyak negara pada 2025.

VII. KASUS-KASUS SIGNIFIKAN DAN PEMBELAJARAN

A. Protes Universitas Pro-Palestina 2024

Salah satu gelombang protes yang paling signifikan pada 2024 adalah protes pro-Palestina di kampus-kampus universitas di berbagai negara. Protes ini tidak hanya mencerminkan solidaritas terhadap Palestina, tetapi juga kritik yang lebih luas terhadap kebijakan luar negeri pemerintah dan keterlibatan institusi pendidikan dengan kompleks industri militer.

Penanganan protes ini oleh pihak berwenang - yang seringkali melibatkan penggunaan kekerasan polisi dan penangkapan massal mahasiswa - menunjukkan ketegangan antara hak untuk berprotes dan keamanan kampus. Kasus ini juga mengungkap bagaimana isu-isu internasional dapat memobilisasi gerakan domestik dan menciptakan ketegangan politik yang signifikan.

B. Protes Mahasiswa Indonesia 2025

Protes mahasiswa Indonesia pada 2025 merupakan contoh lain dari bagaimana ketidakpuasan terhadap kebijakan pemerintah dapat memobilisasi gerakan sosial yang luas. Meskipun detail spesifik dari protes ini masih berkembang, pola yang muncul konsisten dengan tren global: ketidakpuasan terhadap akuntabilitas pemerintah, tuntutan akan transparasi, dan kritik terhadap kebijakan yang dianggap tidak mewakili kepentingan rakyat.

C. Protes Generasi Z Nepal 2025

Munculnya protes Generasi Z di Nepal menunjukkan bagaimana generasi muda di berbagai negara menjadi agen utama perubahan politik. Generasi yang tumbuh dengan akses terhadap informasi global dan memiliki ekspektasi yang tinggi terhadap akuntabilitas pemerintah seringkali menjadi katalisator untuk gerakan-gerakan protes.

VIII. ANALISIS KOMPARATIF: PENGELOLAAN PROTES YANG EFEKTIF

A. Model-Model Keberhasilan

Beberapa negara telah menunjukkan bahwa protes dapat dikelola dengan cara yang konstruktif dan menghasilkan perubahan positif:

1. Korea Selatan (2016-2017) 
Gerakan Candlelight Revolution yang memaksa pengunduran diri Presiden Park Geun-hye menunjukkan bagaimana protes massal dapat diorganisir secara damai dan menghasilkan perubahan politik yang signifikan tanpa kekerasan.

2. Taiwan (Sunflower Movement 2014) 
Protes mahasiswa Taiwan terhadap perjanjian perdagangan dengan Tiongkok menunjukkan bagaimana gerakan sosial dapat mempengaruhi kebijakan pemerintah melalui mobilisasi publik yang kreatif dan damai.

3. Chile (2019-2020) 
Meskipun dimulai dengan kekerasan, protes Chile akhirnya menghasilkan kesepakatan untuk mereformasi konstitusi melalui proses demokratis, menunjukkan bagaimana momentum protes dapat diarahkan ke saluran-saluran kelembagaan.

B. Faktor-Faktor Keberhasilan

Analisis terhadap kasus-kasus keberhasilan menunjukkan beberapa faktor kunci:

1. Kepemimpinan yang Bertanggung Jawab 
Gerakan yang berhasil biasanya memiliki kepemimpinan yang mampu menjaga disiplin nonkekerasan dan mengarahkan energi protes ke tuntutan yang konkret dan dapat dicapai.

2. Respons Pemerintah yang Konstruktif 
Pemerintah yang mampu merespons tuntutan protes dengan dialog dan reformasi, bukan represif, cenderung berhasil mengelola krisis politik tanpa kekerasan.

3. Dukungan Masyarakat Luas 
Protes yang berhasil menciptakan perubahan positif biasanya mendapat dukungan dari spektrum masyarakat yang luas, tidak terbatas pada kelompok-kelompok tertentu.

4. Media dan Transparansi 
Akses media yang bebas dan transparansi informasi membantu menjaga akuntabilitas semua pihak dan mencegah eskalasi kekerasan.

IX. STRATEGI PENGELOLAAN PROTES UNTUK KEADILAN INKLUSIF

A. Pendekatan Preventif

Pengelolaan protes yang efektif dimulai jauh sebelum protes terjadi. Pemerintah perlu mengidentifikasi dan menangani akar-akar ketidakpuasan sosial sebelum mereka berkembang menjadi gerakan protes massal:

1. Governance yang Responsif 
Institusi-institusi pemerintah perlu lebih responsif terhadap aspirasi publik dan menyediakan mekanisme yang efektif untuk partisipasi warga negara dalam proses pengambilan keputusan.

2. Transparansi dan Akuntabilitas 
Peningkatan transparansi dalam pemerintahan dan mekanisme akuntabilitas yang efektif dapat mengurangi ketidakpercayaan publik yang sering menjadi pemicu protes.

3. Dialog Sosial yang Inklusif 
Penciptaan forum-forum dialog yang melibatkan berbagai kelompok masyarakat dapat membantu mengidentifikasi dan menangani isu-isu yang berpotensi memicu konflik sosial.

B. Pengelolaan Selama Protes

Ketika protes sudah terjadi, pendekatan yang diambil oleh pemerintah sangat menentukan apakah situasi akan berkembang ke arah yang konstruktif atau destruktif:

1. Penghormatan terhadap Hak Berprotes 
Pemerintah perlu mengakui hak warga negara untuk berprotes secara damai dan menciptakan ruang yang aman untuk ekspresi politik.

2. Dialog dan Negosiasi 
Daripada menggunakan pendekatan represif, pemerintah perlu membuka dialog dengan para pengunjuk rasa dan berusaha memahami tuntutan mereka.

3. Penggunaan Kekerasan yang Proporsional 
Jika penggunaan kekerasan tidak dapat dihindari untuk menjaga ketertiban umum, kekerasan yang digunakan harus proporsional dan sesuai dengan standar hak asasi manusia internasional.

C. Transformasi Pasca-Protes

Momentum protes dapat dimanfaatkan untuk mendorong reformasi yang lebih fundamental:

1. Reformasi Institusional 
Protes dapat menjadi katalisator untuk reformasi institusi-institusi pemerintahan agar lebih demokratis, transparan, dan akuntabel.

2. Inklusi Politik 
Kelompok-kelompok yang sebelumnya terpinggirkan dapat diberikan akses yang lebih besar ke proses politik formal.

3. Pembelajaran Organisasional
Pemerintah dan masyarakat sipil dapat belajar dari pengalaman protes untuk menciptakan mekanisme yang lebih efektif untuk partisipasi politik di masa depan.

X. IMPLIKASI UNTUK MASA DEPAN DEMOKRASI GLOBAL

A. Redefinisi Demokrasi

Gelombang protes global menunjukkan perlunya redefinisi konsep demokrasi untuk abad ke-21. Demokrasi tidak lagi dapat dipahami hanya sebagai sistem pemilu periodik, tetapi harus mencakup partisipasi warga negara yang berkelanjutan dan bermakna dalam proses pemerintahan.

Konsep "demokrasi deliberatif" dan "demokrasi partisipatif" menjadi semakin relevan sebagai respons terhadap ketidakpuasan terhadap model demokrasi representatif tradisional. Protes massal dapat dipahami sebagai bentuk partisipasi politik yang melengkapi, bukan menggantikan, mekanisme demokratis formal.

B. Teknologi dan Demokratisasi

Peran teknologi dalam memfasilitasi mobilisasi protes juga menunjukkan potensi untuk democratizing democracy - membuat partisipasi politik lebih accessible bagi kelompok-kelompok yang sebelumnya terpinggirkan. Namun, teknologi yang sama juga dapat digunakan untuk manipulasi dan kontrol, menciptakan tantangan baru untuk demokrasi.

Platform-platform digital dapat digunakan untuk menciptakan mekanisme partisipasi yang lebih inklusif, tetapi juga memerlukan regulasi yang tepat untuk mencegah penyalahgunaan oleh aktor-aktor yang tidak bertanggung jawab.

C. Globalisasi dan Solidaritas Transnasional

Karakter transnasional dari banyak gerakan protes kontemporer menunjukkan munculnya solidaritas global yang dapat memperkuat gerakan-gerakan lokal untuk keadilan dan demokratisasi. Namun, hal ini juga menciptakan tantangan baru dalam hal kedaulatan nasional dan legitimasi gerakan-gerakan domestik.

XI. REKOMENDASI DAN LANGKAH-LANGKAH STRATEGIS

A. Untuk Pemerintah

1. Investasi dalam Governance 
Pemerintah perlu berinvestasi dalam peningkatan kualitas governance, termasuk transparansi, akuntabilitas, dan responsivitas terhadap aspirasi publik.

2. Dialogue Platforms 
Penciptaan platform-platform dialog yang efektif antara pemerintah dan masyarakat sipil untuk mencegah akumulasi ketidakpuasan yang dapat memicu protes massal.

3. Security Sector Reform 
Reformasi sektor keamanan untuk memastikan bahwa aparat keamanan dapat menangani protes dengan cara yang menghormati hak asasi manusia dan meminimalkan eskalasi kekerasan.

B. Untuk Masyarakat Sipil

1. Capacity Building 
Penguatan kapasitas organisasi masyarakat sipil untuk memfasilitasi partisipasi politik yang konstruktif dan mengelola gerakan sosial dengan cara yang nonkekerasan.

2. Coalition Building 
Pembangunan koalisi yang luas antara berbagai kelompok masyarakat sipil untuk memperkuat legitimasi tuntutan reformasi dan mencegah polarisasi.

3. Civic Education 
Peningkatan pendidikan kewarganegaraan untuk membantu masyarakat memahami hak dan kewajiban mereka dalam sistem demokratis.

C. Untuk Komunitas Internasional

1. Support for Democratic Institutions
Dukungan untuk penguatan institusi-institusi demokratis di berbagai negara, termasuk melalui technical assistance dan capacity building.

2. Conflict Prevention
Investasi dalam mekanisme pencegahan konflik untuk mengidentifikasi dan menangani potensi krisis politik sebelum berkembang menjadi kekerasan.

3. Human Rights Protection
Perlindungan terhadap aktivis dan pembela hak asasi manusia yang berisiko menghadapi represif karena keterlibatan mereka dalam gerakan protes.

XII. KESIMPULAN: NAVIGATING FUTURE OF DEMOCRATIC PARTICIPATION

Gelombang demonstrasi global yang kita saksikan hari ini merupakan manifestasi dari krisis sistemik dalam demokrasi kontemporer, tetapi juga membawa potensi untuk transformasi menuju sistem politik yang lebih inklusif dan adil. Data Freedom House yang menunjukkan penurunan kebebasan di 60 negara pada 2024 menggambarkan tantangan yang serius, namun gerakan protes yang muncul sebagai respons juga menunjukkan vitalitas demokrasi dari bawah.

Kunci untuk memanfaatkan momentum ini secara konstruktif terletak pada kemampuan berbagai pihak - pemerintah, masyarakat sipil, dan komunitas internasional - untuk mengelola protes dengan cara yang menghormati hak asasi manusia, memfasilitasi dialog yang bermakna, dan menghasilkan reformasi yang substantif. Risiko kekerasan politik yang meningkat pada 2025, sebagaimana diprediksi oleh berbagai lembaga pemantau, membuat urgensi ini semakin nyata.

Pengalaman dari berbagai negara menunjukkan bahwa protes dapat menjadi katalisator untuk perubahan positif ketika dikelola dengan baik. Korea Selatan, Taiwan, dan Chile memberikan contoh bagaimana energi protes dapat diarahkan ke saluran-saluran kelembagaan yang menghasilkan reformasi demokratis. Sebaliknya, kasus-kasus di mana protes berubah menjadi kekerasan menunjukkan pentingnya respon yang tepat dari pemerintah dan kepemimpinan yang bertanggung jawab dari gerakan protes.

Untuk masa depan, diperlukan redefinisi demokrasi yang mengakui pentingnya partisipasi warga negara yang berkelanjutan, bukan hanya melalui pemilu periodik tetapi juga melalui berbagai bentuk keterlibatan sipil. Teknologi digital menawarkan peluang baru untuk democratizing democracy, tetapi juga memerlukan regulasi yang tepat untuk mencegah penyalahgunaan.

Pada akhirnya, gelombang protes global ini dapat dipahami sebagai tanda bahwa masyarakat di seluruh dunia menuntut bentuk demokrasi yang lebih substantif dan inklusif. Tantangan bagi para pemimpin politik dan masyarakat sipil adalah bagaimana merespons tuntutan ini dengan cara yang konstruktif, mencegah eskalasi kekerasan, dan menciptakan sistem politik yang lebih responsif terhadap aspirasi seluruh warga negara. Masa depan demokrasi global akan sangat ditentukan oleh bagaimana kita mengelola momen historis ini.

REFERENSI

1. Freedom House. (2025). *Freedom in the World 2025: The Uphill Battle to Safeguard Rights*. Freedom House.

2. Carnegie Endowment for International Peace. (2024). *Global Protest Tracker*. https://carnegieendowment.org/features/global-protest-tracker

3. Control Risks. (2025). *RiskMap 2025: Rising Political Violence*. Control Risks.

4. International Crisis Group. (2025). *10 Conflicts to Watch in 2025*. International Crisis Group.

5. Human Rights Watch. (2025). *World Report 2025*. Human Rights Watch.

6. Democracy Without Borders. (2025). "Freedom House reports 'global freedom decline' for 19th consecutive year." February 28, 2025.

7. International IDEA. (2024). *Global Democracy Report: Majority of Countries Worsen as Press Freedom Hits 50-Year Low*. International IDEA.

8. Allianz Commercial. (2025). *Political Violence and Civil Unrest Trends 2025*. Allianz Commercial.

9. Axios. (2024). "Freedom House rankings show global decline in democracy." February 29, 2024.

10. Visual Capitalist. (2025). "Countries With the Largest Declines in Freedom (2014-2024)." June 18, 2025.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Profil Asep Rohmandar : Presiden Masyarakat Peneliti Mandiri Sunda Nusantara

Seruan untuk Keadilan dalam Publikasi Ilmiah bagi Peneliti dari Negara Berkembang dan Dunia Keempat

Prolog Buku Komunikasi Pendidikan Yang Efektif? By Asep Rohmandar