Peran Civil Society Dalam Perubahan Amandemen UUD 1945 Menuju UUD Permakmuran Nusantara: Menjamin Keadilan Inklusif Berkelanjutan

Kepada Yth. Editor  dan Reviewers Jurnal JIMI                                                                di Dasboard Published


Terima kasih atas kesempatan yang diberikan untuk merevisi naskah kami berjudul:  

“Peran Civil Society Dalam Perubahan Amandemen UUD 1945 Menuju UUD Permakmuran Nusantara: Menjamin Keadilan Inklusif Berkelanjutan.”

Hasil Catatan Reviewer :                                 " Penelitian ini banyak mengalami gagal deskripsi hasil penelitian, mohon perbaiki "

Kami sangat menghargai komentar dan masukan dari para reviewer. Kami telah menanggapi setiap poin dengan sungguh-sungguh dan melakukan revisi yang kami harap dapat memperkuat kontribusi naskah ini terhadap wacana perubahan konstitusional berbasis masyarakat sipil dan spiritualitas lokal.

Berikut kami lampirkan tabel respons terhadap komentar reviewer beserta penjelasan revisi yang telah dilakukan.

Hormat kami,  

Asep Rohmandar                                                                                                                   Kami Mencoba merespon catatan para reviewer  untuk Hasil dan Pembahasan tambahan narasi  secara deskripsi dari penulis

3.1 Peran Strategis Civil Society

Civil society menempati posisi sentral dalam proses perubahan konstitusional menuju UUD Persemakmuran Nusantara. Sebagai kekuatan sosial-politik, civil society berfungsi sebagai: Penjaga nilai demokrasi – memastikan bahwa proses amandemen tidak hanya menguntungkan elite, tetapi mencerminkan aspirasi rakyat. Katalisator perubahan – mendorong diskursus publik yang kritis dan konstruktif. Mediator – menjembatani kepentingan negara, sektor privat, dan masyarakat. Pengawas (watchdog) – mengawal transparansi, akuntabilitas, dan legitimasi setiap tahap amandemen.

Dengan demikian, civil society tidak hanya bertindak sebagai pelengkap, tetapi juga sebagai aktor transformasional yang dapat menentukan arah masa depan politik Nusantara.                                                                                                                              3.2 Tantangan Transformasi

Meskipun peran strategis civil society signifikan, terdapat berbagai tantangan yang menghambat efektivitasnya: Struktural: dominasi elite politik yang berusaha mengendalikan ruang demokrasi. Kultural: rendahnya literasi politik masyarakat yang membuat partisipasi publik cenderung reaktif. Ekonomi: ketimpangan sumber daya menyebabkan organisasi masyarakat sipil sering tidak memiliki kapasitas berkelanjutan.Teknologis: derasnya arus informasi digital membuka ruang hoaks dan polarisasi opini publik.Peluang Momentum: Krisis Legitimasi dan Tuntutan Perubahan Sistemik

Di tengah tantangan, penelitian ini mengidentifikasi momentum strategis yang dapat dimanfaatkan civil society. Survei opini publik menunjukkan bahwa kepercayaan masyarakat terhadap lembaga-lembaga politik formal mengalami penurunan signifikan: hanya 34% responden menyatakan percaya pada DPR, 42% pada pemerintah, dan 51% pada lembaga peradilan. Krisis legitimasi ini membuka ruang untuk narasi alternatif tentang tata kelola negara.

Generasi muda Indonesia, yang merupakan 52% dari pemilih, menunjukkan aspirasi yang berbeda dari generasi sebelumnya. Mereka menuntut transparansi, partisipasi bermakna, keberlanjutan lingkungan, dan pengakuan terhadap keberagaman identitas. Tuntutan ini sangat resonan dengan nilai-nilai UUD Persemakmuran Nusantara, dan civil society dapat memobilisasi energi generasi muda sebagai basis sosial untuk perubahan konstitusional.

Tantangan ini dapat digambarkan dalam Tabel 1.

Tabel 1. Tantangan Transformasi Civil Society dalam Amandemen Konstitusi

DimensiTantangan UtamaDampak Potensial
StrukturalDominasi elite politikPengerdilan partisipasi rakyat
KulturalRendahnya literasi politikPerdebatan publik tidak berbasis data/fakta
Ek1311q133onomiKetimpangan sumber dayaLemahnya keberlanjutan organisasi sipil
TeknologisDisinformasi & polarisasi digitalFragmentasi sosial dan delegitimasi wacana
                                                                      3.3 Keadilan Inklusif Berkelanjutan

1 3Konsep keadilan inklusif berkelanjutan dalam UUD Persemakmuran  aQ11 1 menekankan bahwa keadilan tidak boleh eksklusif pada kelompok mayoritas, melainkan harus mengakui pluralitas bangsa Nusantara.

Prinsip yang melandasi gagasan ini antara lain:

  1. Equity – perlakuan adil sesuai kebutuhan, bukan seragam tanpa mempertimbangkan ketimpangan.
  2. Inclusivity – melibatkan kelompok minoritas, adat, dan marjinal dalam perumusan kebijakan.
  3. Sustainability – menjamin bahwa hak-hak generasi sekarang tidak mengorbankan generasi mendatang.

Gambar 1. Segitiga Konseptual Keadilan Inklusif Berkelanjutan

(Diagram segitiga dengan tiga sisi: Equity – Inclusivity – Sustainability, saling menopang satu sama lain. Titik tengahnya: Justice for All).

Dengan demikian, civil society berperan menjaga agar transformasi konstitusi tidak hanya berorientasi pada legitimasi politik, melainkan juga keadilan sosial yang abadi.                                                                                                                            3.4 Model Transformasi Konstitusional

Transformasi menuju UUD Persemakmuran Nusantara membutuhkan model konseptual yang mengintegrasikan peran civil society, respons negara, dan arah perubahan konstitusi. Model ini dapat digambarkan dalam empat tahap:

  1. Aspirasi Publik – civil society mengartikulasikan kebutuhan rakyat melalui dialog, kajian, dan advokasi.
  2. Ko-eksistensi Elite–Sipil – pembentukan ruang deliberatif antara pemerintah, DPR, akademisi, dan masyarakat sipil.
  3. Legitimasi Konstitusional – rancangan amandemen diuji melalui mekanisme hukum, referendum, dan pengawasan publik.
  4. Implementasi dan Evaluasi – pelaksanaan norma konstitusional baru dengan pengawasan berkelanjutan.

Tabel 2. Model Tahapan Transformasi Konstitusional

TahapAktor UtamaOutcome Diharapkan
Aspirasi PublikCivil society, akademisiRumusan kebutuhan dan aspirasi rakyat
Ko-eksistensi Elite–SipilPemerintah, DPR, CSOKonsensus awal amandemen konstitusi
Legitimasi KonstitusionalMahkamah Konstitusi, publikValidasi hukum & sosial atas rancangan UUD
Implementasi & EvaluasiPemerintah, masyarakat sipilKeadilan inklusif dan tata kelola berkelanjutan

Gambar 2. Skema Model Transformasi Konstitusional

(Diagram alir: Aspirasi Publik → Ko-eksistensi Elite–Sipil → Legitimasi Konstitusional → Implementasi & Evaluasi).

Model ini menekankan bahwa perubahan konstitusional bukan sekadar produk politik, tetapi hasil ko-produksi sosial antara rakyat, negara, dan civil society.   Kutipan  dari kutifan Daron Acemoglu, Simon Johnson, dan James Robinson

Nobel Ekonomi (2024) – atas penelitian tentang institusi inklusif dan kemakmuran negara." Masyarakat dengan institusi yang inklusif, yang mengedepankan aturan hukum dan hak-hak kepemilikan, cenderung menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan."  — Komite Nobel, 2024                                                                                                                   Bandung, 30 September 2025.                                                                                        Model Transformasi Konstitusional Yang Kongkrit ini Berdasarkan analisis, penelitian ini mengusulkan model transformasi bertahap:

Fase 1: Persiapan dan Mobilisasi 
• Penguatan kapasitas civil society
• Kampanye pendidikan publik
• Pembangunan koalisi strategis
Fase 2: Dialog dan Konsensus 
• Forum dialog nasional multi-stakeholder
• Penyusunan draft konseptual
• Uji publik dan konsultasi luas
Fase 3: Implementasi Bertahap 
• Amandemen konstitusi sesuai prosedur
• Reformasi kelembagaan pendukung
• Monitoring dan evaluasi berkelanjutan.                                                                              Model transformasi bertahap yang saya usulkan (Fase 1: Persiapan, Fase 2: Dialog, Fase 3: Implementasi) sudah sangat terstruktur.                                                          
Berikut adalah penjelasan detail mengenai Logika Deduktif (alur dari teori/prinsip umum ke kasus spesifik) dan Logika Induktif (alur dari observasi spesifik ke kesimpulan umum/model) yang mendasari Model Transformasi Konstitusional tersebut.
1. Logika Deduktif (Dari Prinsip ke Model)
Logika deduktif dalam model ini berangkat dari prinsip-prinsip ideal transformasi politik dan keadilan sosial menuju ke tahapan aksi yang spesifik.
Prinsip Umum (Premis Mayor) | Premis Minor (Konteks Konstitusi Nusantara)  Kesimpulan Deduktif (Fase Model) . 
P1: Legitimasi dan Keberlanjutan setiap perubahan fundamental memerlukan dukungan dan partisipasi publik yang luas.  Perubahan menuju UUD Persemakmuran harus diterima publik, bukan sekadar produk elite. Civil society harus menjadi penjaga nilai. Fase 1: Persiapan dan Mobilisasi. Ini adalah prasyarat untuk menciptakan basis legitimasi dan memastikan kualitas partisipasi (penguatan CSO, pendidikan publik). 
P2: Demokrasi Deliberatif menyatakan bahwa keputusan kolektif terbaik dicapai melalui diskursus rasional, inklusif, dan bebas hambatan. Reformasi konstitusi yang kompleks harus mengatasi fragmentasi, ketimpangan, dan polarisasi opini publik (Tabel 1 Tantangan). Fase 2: Dialog dan Konsensus. Tahap ini didedikasikan untuk menjembatani jurang elite–sipil dan mencapai konsensus yang otentik (forum dialog multi-stakeholder, uji publik). 
P3: Prinsip Konstitusionalisme menekankan bahwa norma baru harus mengikat, diimplementasikan secara sistematis, dan didukung oleh infrastruktur kelembagaan yang memadai. Tujuan perubahan adalah menciptakan Keadilan Inklusif Berkelanjutan (Equity, Inclusivity, Sustainability). Norma tidak boleh menjadi dead letter.  Fase 3: Implementasi Bertahap. Penerapan dilakukan secara cermat dan bertanggung jawab (amandemen sesuai prosedur, reformasi kelembagaan, monitoring) untuk memastikan capaian tujuan ideal.                  
Inti Deduktif: Model ini adalah deduksi dari kebutuhan: Legitimasi > Konsensus > Institusionalisasi dari sebuah perubahan konstitusi yang ideal.                                        
2. Logika Induktif (Dari Observasi ke Model)
Logika induktif dalam model ini berasal dari observasi empiris terhadap kegagalan atau keberhasilan reformasi konstitusi di masa lalu (atau studi perbandingan) dan peran kunci aktor di dalamnya, untuk kemudian menyusun sebuah model teoretis yang preskriptif.
Observasi Empiris/Kebutuhan Spesifik (Premis Khusus)  dan Pola yang Ditemukan (Prinsip Induktif)  Dengan Kesimpulan Induktif (Fase Model) 

Observasi A: Kegagalan reformasi sering kali disebabkan oleh ketidakmampuan civil society untuk mengimbangi kekuatan elite atau rendahnya pemahaman publik.  Reformasi sukses harus diawali dengan penguatan kapasitas non-negara dan penciptaan critical mass.  Fase 1: Persiapan dan Mobilisasi. Menginduksi perlunya investasi awal pada kapasitas aktor kunci dan kesadaran publik sebagai dasar untuk negosiasi yang seimbang. 
Observasi B: Perubahan konstitusi tanpa dialog lintas sektor cenderung menghasilkan polaritas, resistensi, atau produk yang bias elite (Dampak Potensial Tabel 1). Konsensus yang stabil hanya dapat lahir dari proses deliberatif formal yang melibatkan aktor negara dan non-negara (Ko-eksistensi Elite–Sipil).  Fase 2: Dialog dan Konsensus. Menginduksi pentingnya mekanisme formal untuk mencapai kesepakatan dan legitimasi sosial sebelum naskah final dibuat. 
Observasi C: Norma konstitusi terbaik sekalipun gagal karena tidak didukung oleh undang-undang pelaksana atau kelembagaan yang korup/lemah.  Transformasi sejati memerlukan keselarasan antara teks, struktur, dan praktik tata kelola (Outcome Tahap 4 Tabel 2).  Fase 3: Implementasi Bertahap. Menginduksi bahwa perubahan konstitusi adalah proses berkelanjutan yang harus diikuti dengan reformasi kelembagaan dan pengawasan untuk menjamin hasil yang nyata.                                                                 
Inti Induktif: Model ini adalah induksi dari pengalaman (baik/buruk): Kapasitas >Proses > Hasil, yang disusun untuk menghindari kegagalan historis dan memastikan efektivitas perubahan.                                                         
Maka Model Transformasi Konstitusional saya didukung oleh logika deduktif yang kuat (berakar pada prinsip demokrasi dan konstitusionalisme) dan logika induktif yang relevan (berakar pada kebutuhan empiris akan kapasitas, konsensus, dan institusionalisasi). Kedua logika ini saling memperkuat: Model ini secara teoretis benar (deduktif) dan secara praktis diperlukan (induktif).
Bandung, 3 Oktober 2025

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Profil Asep Rohmandar : Presiden Masyarakat Peneliti Mandiri Sunda Nusantara

Visi dan Misi Asep Rohmandar sebagai penulis dan peneliti

Prolog Buku Komunikasi Pendidikan Yang Efektif? By Asep Rohmandar