Ruang Respon Komunikatif dialog Rakyat vs Pemerintahan Mandeg

Ruang Respon  Komunikatif dialog Rakyat vs Pemerintahan Mandeg?                                                                                          Analisis ringkas–padat (berbasis data terbaru) tentang mengapa pemerintah kerap lambat merespons aspirasi publik dan “sulit diajak bicara” oleh civil society (CSO), sekaligus apa yang bisa diperbaiki.

Analisa Ringkasan eksekutif Dari Eskalasi? 

  1. Ruang partisipasi menyempit & dibatasi: Indonesia kini berstatus “Obstructed” (terhalang) untuk kebebasan sipil; ada pola pembubaran aksi, kriminalisasi ekspresi, dan intimidasi aktivis. Ini membuat dialog negara–warga tegang dan defensif.
  2. Peraturan yang “membungkam”: UU ITE (serta KUHP baru yang memuat pasal penghinaan pejabat) menimbulkan efek gentar; ratusan kasus kriminalisasi ekspresi tercatat 2019–2024/2025. Akibatnya kanal kritik formal–informal macet.
  3. Protes besar baru-baru ini berujung kekerasan: Gelombang unjuk rasa akhir Agustus–awal September 2025 terkait isu “perks” DPR memakan korban jiwa dan penangkapan massal — tanda dialog kebijakan gagal sebelum menyentuh meja perundingan.
  4. Kinerja respons layanan publik masih variatif: Kanal pengaduan nasional SP4N-LAPOR! menerima jutaan laporan; sebagian daerah membaik (es. rata-rata tindak lanjut ~1–4 hari), tetapi capaian antar instansi timpang dan penanganan belum konsisten.
  5. Kelembagaan & insentif birokrasi: Indeks Government Effectiveness memang relatif menengah-atas, tapi Rule of Law dan Voice & Accountability tertinggal — kombinasi yang kerap menghasilkan keputusan top-down dan resistensi pada keberatan publik.
  6. Transparansi & akses informasi belum merata: Sengketa keterbukaan informasi publik tiap tahun masih tinggi; banyak badan publik lambat memenuhi permohonan informasi, sehingga ko-kreasi kebijakan sulit berbasis data bersama.
  7. Skema OGP ada, namun implementasi partisipasi belum stabil: Indonesia aktif di Open Government Partnership; IRM mencatat capaian di beberapa komitmen, tapi kualitas ko-kreasi dan hasilnya tidak merata antar isu.
  8. Kepercayaan politik asimetris: Survei menunjukkan kepercayaan publik lebih tinggi ke presiden/TNI dibanding lembaga representatif (DPR/partai); aspirasi cenderung “melompat” ke eksekutif/ jalanan, alih-alih kanal legislatif.

Fakta & indikator kunci (2024–2025)

Dimensi Status terbaru Arti kebijakan
Kebebasan sipil (CIVICUS) Obstructed (2025) Aksi/ekspresi sering dibatasi → dialog publik cenderung represif.
Freedom in the World (Freedom House) 56/100, Partly Free (2025) Hak politik & kebebasan sipil “setengah bebas”; partisipasi warga belum terlindungi penuh.
Rule of Law Index (WJP 2024) Skor ~0,52; peringkat 67/142 Penegakan hukum & checks-and-balances moderat → keluhan publik sering mentok prosedur.
Government Effectiveness (WGI 2023) ~70th percentile Kapabilitas administrasi ok, namun tidak otomatis inklusif terhadap masukan warga.
CPI – Korupsi (TI 2024, rilis Jan 2025) Score 34/100 (turun), rank 115 Persepsi korupsi tinggi → publik skeptis, dialog jadi sinis/konfrontatif.
SP4N-LAPOR! Jutaan laporan/tahun; waktu tindak lanjut rata-rata membaik di sebagian daerah (1–4 hari) tapi tidak merata Kapasitas respons layanan ada, namun konsistensi & eskalasi kebijakan belum solid.
Sengketa KIP Ratusan perkara diselesaikan tiap tahun (KIP 2024/2023) Akses data publik belum lancar → sulit bangun dialog berbasis bukti bersama.
OGP – IRM Ada hasil positif (akses data bansos, dll.), namun kualitas ko-kreasi bervariasi Partisipasi formal ada, tapi depth & follow-through sering kurang.

Mengapa respons lambat & komunikasi buntu?

  1. Insentif birokrasi cenderung “output-compliance”, bukan “problem-solving bersama”
    Target kinerja aparatur masih menitikberatkan serapan anggaran & kepatuhan prosedur. Di saat rule of law dan akuntabilitas publik belum kuat, keberatan warga dianggap “risiko” alih-alih masukan untuk course-correction. Kombinasi WGI (efektivitas lumayan) dengan WJP/Freedom House yang sedang menandakan proses ada, namun responsif-inklusi belum menjadi arus utama.

  2. Kerangka hukum yang membatasi kritik
    Pasal-pasal UU ITE (dan pasal penghinaan pejabat dalam KUHP baru) kerap dipakai/ditafsirkan luas untuk menindak kritik. Ratusan kasus dicatat Amnesty/SAFEnet 2019–2025. Efeknya: warga & CSO enggan dialog terbuka, pejabat pun menjadi anti-kritik.

  3. Ruang aksi sipil menyempit
    CIVICUS & Amnesty mendokumentasikan pembubaran/pembatasan aksi, termasuk represif saat gelombang protes 25 Agustus–awal September 2025. Bila kanal protes aman saja tidak terjamin, kanal konsultasi kebijakan apalagi.

  4. Transparansi informasi publik belum memadai
    Masih tingginya sengketa informasi (laporan tahunan KIP) menunjukkan akses data dasar kerap tertahan. Tanpa data, perdebatan kebijakan jadi “opini vs opini” dan cepat buntu.

  5. Ko-kreasi ada, kualitasnya fluktuatif
    Sebagai anggota OGP, Indonesia punya NAP & IRM. IRM mencatat beberapa keberhasilan (mis. perluasan akses data bansos), tapi juga tantangan pada komitmen partisipasi yang kurang ambisius/kurang berdampak.

  6. Kepercayaan asimetris & kanal representasi lemah
    Kepercayaan tinggi pada eksekutif/alat negara, namun rendah pada DPR/partai. Aspirasi pun cenderung “bypass” legislatif, lalu membludak di jalan ketika eksekutif lambat menanggapi.

  7. Fragmentasi pusat-daerah & kapasitas unit pengaduan
    SP4N-LAPOR! menunjukkan sebagian instansi/daerah responsif (1–4 hari), sebagian lain lambat. Variansi ini menandakan koordinasi & standardisasi tindak lanjut belum seragam.


Apa yang bisa diperbaiki (rekomendasi praktis)

Untuk Pemerintah/Instansi

  • Tegaskan garis komando “no wrong door” untuk aspirasi: setiap aduan/masukan wajib direspons ≤3 hari kerja dengan acknowledgement + ETA + PIC; integrasikan SP4N-LAPOR! ke dashboard pimpinan (weekly) dan publikasi service-level per unit.
  • Amankan ruang sipil: moratorium penggunaan pasal karet (ITE/KUHP) pada ekspresi politik damai; tindaklanjuti temuan pelanggaran saat penanganan demo dengan investigasi independen.
  • KIP “by default”: terbitkan open datasets proaktif untuk isu sensitif (bansos, proyek strategis, pengadaan, subsidi/insentif), kurangi sengketa KIP. KPI: <10% permohonan info berujung sengketa.
  • Ko-kreasi bertingkat (OGP-style): policy sprint 6–8 minggu dengan CSO untuk isu prioritas; pakai evidence brief bersama sebelum regulasi diterbitkan. Laporkan what changed because you said so.
  • Ubah metrik kinerja: sertakan citizen-validated change (misal rekomendasi CSO diadopsi sebagian/penuh) dan repeat complaints rate sebagai indikator kinerja pimpinan.
  • Perkuat after-action review (AAR) demo & krisis: audit independen atas prosedur pengamanan aksi; publikasi lessons learned.

Untuk CSO/Komunitas

  • Naikkan kualitas policy ask: ajukan paket rekomendasi + draf pasal + analisis fiskal + implementation plan → lebih mudah di-buy-in.
  • Gunakan data resmi & co-monitoring: tarik data SP4N-LAPOR!/pengadaan/KIP untuk memetakan pain points dan mengusulkan fix berbiaya rendah.
  • Bangun koalisi lintas isu & daerah agar pemerintah melihat skala persoalan, bukan “kasus sporadis”.
  • Rancang engagement ladder: dari konsultasi tertulis → lokakarya teknis → pilot kecil; minimalkan kebutuhan pemerintah untuk “mengakui salah” di awal.

Catatan penutup

Data terbaru menunjukkan masalahnya bukan semata “niat”, tapi kombinasi struktur hukum yang membatasi, arsitektur birokrasi yang belum pro-respons, kanal informasi yang seret, serta kepercayaan publik yang timpang. Membuka rem dialog butuh dua sisi: pemerintah mengamankan ruang sipil & mengubah insentif kinerja, CSO meningkatkan kualitas usulan dan evidence use. Dengan itu, respons time turun, konflik sosial mereda, dan proses kebijakan lebih kredibel—before the streets explode.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Profil Asep Rohmandar : Presiden Masyarakat Peneliti Mandiri Sunda Nusantara

Seruan untuk Keadilan dalam Publikasi Ilmiah bagi Peneliti dari Negara Berkembang dan Dunia Keempat

Prolog Buku Komunikasi Pendidikan Yang Efektif? By Asep Rohmandar