Tuntutan 17+8 kepada DPR terancam dimanipulasi dan Gagal?
Tuntutan 17+8 kepada DPR terancam dimanipulasi dan Gagal? Risiko kegagalan tuntutan semacam itu sangat tinggi, mendekati kepastian. Tuntutan tersebut akan gagal karena bertumpu pada premis hukum dan politik yang tidak diakui, tidak memiliki dukungan politik dan sosial, serta berlawanan dengan tatanan kenegaraan (staatsrecht) Indonesia yang berlaku saat ini.
Untuk memahami mengapa risiko kegagalannya absolut, kita perlu menganalisis tiga komponen utama dalam pertanyaan Anda. I. Membedah Konsep dan Premis
Pertama, mari kita uraikan premis yang mendasari pertanyaan ini, yang beredar di kalangan terbatas dan tidak menjadi bagian dari pandangan hukum arus utama.
1. "UUD 1945 Telah Demisioner": Ini adalah pandangan yang menyatakan bahwa UUD 1945 yang asli (naskah 18 Agustus 1945) telah kehilangan statusnya sebagai konstitusi yang sah. Argumentasinya adalah bahwa Amandemen I-IV (1999-2002) bukanlah proses perubahan, melainkan pembentukan konstitusi baru yang secara fundamental berbeda. Akibatnya, lembaga-lembaga negara yang dibentuk berdasarkan UUD hasil amandemen dianggap tidak sah atau "demisioner" karena landasan hukumnya dianggap cacat.
2. "Lembaga yang Tidak Legitimate": Berdasarkan premis di atas, lembaga seperti MPR, DPR, Presiden, dan bahkan Mahkamah Konstitusi yang ada saat ini dianggap tidak legitimate oleh penganut teori ini. Mereka dipandang sebagai produk dari konstitusi yang "tidak asli".
3. "Tuntutan 17+8": Istilah ini tidak dikenal dalam terminologi hukum tata negara formal. Namun, dalam konteks kelompok yang mendorong narasi "UUD 1945 demisioner", ini sering merujuk pada interpretasi spesifik mereka terhadap nilai-nilai dan struktur dalam naskah asli UUD 1945, yang ingin mereka terapkan kembali. Angka tersebut bisa merujuk pada pasal atau butir-butir tertentu yang mereka anggap paling esensial.
II. Analisis Risiko Kegagalan
Tuntutan yang diajukan oleh lembaga (atau kelompok) yang menganggap pemerintah tidak legitimate, dengan dasar argumen UUD 1945 telah demisioner, akan gagal karena alasan yuridis, politis, dan sosiologis.
1. Aspek Yuridis (Hukum Ketatanegaraan)
a. Validitas Proses Amandemen: Secara hukum, Amandemen I-IV dilakukan melalui mekanisme yang sah sesuai dengan Pasal 37 UUD 1945 (sebelum diubah). MPR sebagai lembaga pemegang kedaulatan rakyat pada saat itu memiliki wewenang untuk mengubah UUD. Seluruh produk hukum dan lembaga negara yang ada saat ini mendasarkan legitimasinya pada UUD hasil amandemen.
b. Tidak Adanya Lembaga Penilai: Tidak ada satu pun lembaga yudikatif di Indonesia, termasuk Mahkamah Konstitusi, yang memiliki wewenang untuk menyatakan bahwa UUD yang berlaku adalah "demisioner" atau tidak sah. Mahkamah Konstitusi berfungsi untuk menguji undang-undang terhadap UUD, bukan menguji UUD itu sendiri.
c. Prinsip Supremasi Konstitusi: Seluruh sistem hukum nasional mengakui UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (yang telah diamandemen) sebagai hukum tertinggi. Tuntutan yang menolak supremasi ini secara otomatis tidak memiliki dasar pijakan dalam sistem hukum yang berlaku.
2. Aspek Politis
a. Nihil Dukungan Politik: Tidak ada satu pun kekuatan politik besar di Indonesia (partai politik, organisasi massa besar) yang secara resmi mendukung narasi bahwa UUD 1945 telah demisioner. Semua aktor politik berpartisipasi dalam pemilu, legislasi, dan pemerintahan berdasarkan kerangka UUD yang berlaku.
b. Konsensus Nasional: Amandemen UUD 1945 merupakan buah dari konsensus politik era Reformasi untuk menciptakan sistem yang lebih demokratis, seperti pemilihan presiden langsung, pembatasan masa jabatan, dan penguatan mekanisme checks and balances. Kembali ke UUD 1945 asli dianggap sebagai sebuah kemunduran besar oleh mayoritas kekuatan politik.
c. Stabilitas Sistem: Sistem politik yang berjalan selama lebih dari 20 tahun pasca-reformasi telah menciptakan stabilitasnya sendiri. Upaya untuk mendelegitimasi seluruh sistem akan dianggap sebagai tindakan subversif yang mengancam stabilitas nasional dan akan ditolak oleh aparatur negara.
3. Aspek Sosiologis (Dukungan Masyarakat)
a. Penerimaan Publik: Mayoritas masyarakat Indonesia menerima legitimasi pemerintah dan sistem yang ada. Mereka berpartisipasi dalam pemilu, menaati hukum, dan menggunakan layanan negara yang diselenggarakan oleh lembaga-lembaga yang dianggap "tidak legitimate" oleh kelompok tersebut.
b. Narasi Terbatas: Narasi "UUD 1945 demisioner" hanya bergema di kalangan kelompok ideologis yang sangat kecil dan tidak memiliki daya tarik luas di tengah masyarakat umum yang lebih fokus pada isu-isu ekonomi dan kesejahteraan.
III. Kesimpulan
Risiko kegagalan tuntutan "17+8" adalah 100%. Tuntutan ini tidak dapat dieksekusi karena:
1.Dasar argumennya berada di luar kerangka hukum yang diakui dan dijalankan oleh negara.
a. Tidak memiliki dukungan politik dari institusi manapun yang memiliki kekuatan untuk membuat perubahan konstitusional.
b. Ditolak oleh konsensus sosial dan historis bangsa Indonesia pasca-Reformasi 1998.
Kegagalan ini bukanlah sebuah "risiko", melainkan sebuah kepastian logis karena tuntutan tersebut berangkat dari realitas alternatif yang tidak diakui oleh struktur negara, hukum, dan masyarakat Indonesia secara keseluruhan.
Bandung, 5 September 2025
Komentar
Posting Komentar