Menyoal Kelukaan Rakyat dan Ahlaq Pancasilais?
Menyoal Kelukaan Rakyat dan Ahlaq Pancasilais? Bagian I Penerapan Akhlak Pancasilais dalam moral dan etika digital memiliki peran krusial sebagai "Warning dan Alarm Sosial Publik" untuk mencegah dampak negatif di era digital. Hal ini didasarkan pada fakta bahwa nilai-nilai luhur Pancasila mampu menjadi benteng moral dan panduan perilaku yang bertanggung jawab di ruang siber.
1. Ahlaq Pancasilais sebagai Pondasi Etika Digital
Akhlak Pancasilais adalah manifestasi perilaku moral yang bersumber dari lima sila Pancasila: Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, dan Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Nilai-nilai ini harus diimplementasikan secara sadar oleh setiap warga negara dalam berinteraksi di dunia digital.
| Sila Pancasila | Implementasi dalam Etika Digital |
|---|---|
| Ketuhanan YME | Menggunakan teknologi dengan kesadaran akan nilai-nilai agama dan moral; tidak menyebarkan kebencian, penistaan agama, atau konten asusila. |
| Kemanusiaan yang Adil dan Beradab | Menjunjung tinggi martabat manusia; menghindari cyberbullying, ujaran kebencian, dan diskriminasi; menghargai privasi dan hak orang lain. |
| Persatuan Indonesia | Tidak menyebarkan hoaks atau informasi yang memecah belah persatuan bangsa, suku, agama, dan ras (SARA); mempromosikan toleransi dan kerukunan. |
| Kerakyatan... | Mengedepankan musyawarah digital (e-deliberation) dalam mencari solusi; menggunakan kebebasan berekspresi secara bertanggung jawab dan bijak, tidak anarkis. |
| Keadilan Sosial... | Mendorong akses digital yang merata dan adil (digital inclusion); memerangi penipuan daring (online fraud) dan praktik yang merugikan orang banyak. |
2. Warning dan Alarm Sosial Publik Berdasarkan Data dan Fakta
Fenomena digital saat ini menunjukkan adanya peningkatan pelanggaran moral dan etika, yang memicu "Warning" (peringatan) dan "Alarm Sosial Publik" (sinyal bahaya) yang mendesak perlunya penerapan Akhlak Pancasilais.
A. Ujaran Kebencian dan Disinformasi
1. Fakta: Data menunjukkan tingginya penyebaran ujaran kebencian (hate speech) dan disinformasi/hoaks di media sosial. Konten yang menyerang SARA, fitnah, dan berita bohong menjadi ancaman serius bagi Persatuan Indonesia dan Kemanusiaan yang Adil dan Beradab.
2. Alarm: Kondisi ini menciptakan polarisasi masyarakat, konflik horizontal, dan erosi kepercayaan publik, yang merupakan alarm serius terhadap integrasi bangsa.
B. Cyberbullying dan Pelanggaran Etika Interaksi
1. Fakta: Kasus cyberbullying, doxing (penyebaran data pribadi), dan pelecehan daring terus meningkat, terutama di kalangan remaja. Perilaku ini secara langsung melanggar nilai Kemanusiaan yang Adil dan Beradab.
2. Warning: Tanpa kesadaran akan akhlak dan etika, ruang digital menjadi tempat yang tidak aman, merusak mental korban, dan membentuk karakter yang permisif terhadap ketidakadilan.
C. Ancaman terhadap Kedaulatan Digital
1. Fakta: Praktik penipuan daring (phishing, scam), cyber espionage, dan peretasan data pribadi merupakan ancaman terhadap Keadilan Sosial dan keamanan nasional.
2. Alarm: Pelanggaran ini menunjukkan lemahnya tanggung jawab kolektif dan individual dalam menjaga ruang digital yang beradab dan adil. Ketidakadilan digital yang parah, seperti kesenjangan akses (digital gap), juga menjadi alarm yang memerlukan intervensi berbasis nilai Keadilan Sosial.
3. Peran Akhlak Pancasilais dalam Mengatasi Tantangan
Ahlaq Pancasilais berfungsi sebagai regulator internal (hati nurani) bagi warga digital dan regulator eksternal (norma sosial) dalam ekosistem digital: a. Membentuk Digital Citizenship yang Bertanggung Jawab: Pancasila menanamkan kesadaran bahwa kebebasan berpendapat di dunia digital (cerminan Kerakyatan) harus dibatasi oleh tanggung jawab moral dan hukum, serta tidak melanggar hak orang lain (cerminan Kemanusiaan dan Keadilan).
b. Mendorong Verifikasi dan Akuntabilitas: Nilai Kerakyatan yang mengedepankan hikmat kebijaksanaan mendorong individu untuk berpikir kritis dan memverifikasi informasi sebelum menyebarkannya, melawan arus hoaks.
c. Memperkuat Ketahanan Moral: Nilai Ketuhanan YME berfungsi sebagai benteng moral yang membimbing setiap individu untuk selalu memilih yang benar dan baik dalam setiap unggahan atau interaksi daring, mengurangi perilaku negatif yang didorong oleh anonimitas.
Secara komprehensif, implementasi moral dan etika digital yang berlandaskan Akhlak Pancasilais bukan hanya bertujuan untuk menaati hukum (UU ITE), tetapi juga untuk membangun budaya digital yang luhur, beradab, dan bermartabat, sejalan dengan cita-cita bangsa Indonesia.
Bagian II Kritik yang menyatakan "Tak ada kesaktian Pancasila, yang ada kesakitan dan kelukaan rakyat secara masif oleh penyelenggaraan negara" merupakan refleksi tajam yang membedakan ideologi (Pancasila) sebagai cita-cita luhur dengan praktik (budaya Pancasila dan penyelenggaraan negara) sebagai kenyataan pahit. Pancasila sebagai dasar negara tetap utuh dan benar, namun aplikasinya dalam kebijakan dan perilaku elite negara yang koruptif, diskriminatif, dan tidak adil telah melukai rakyat secara mendalam.
1. Refleksi: Pancasila sebagai Ideal dan Kegagalan Penerapannya
Pancasila sebagai ideologi adalah sistem nilai yang mengandung prinsip-prinsip etis tertinggi:
a. Sila ke-2 (Kemanusiaan yang Adil dan Beradab): Menuntut perlakuan yang bermartabat dan kesetaraan bagi seluruh warga negara.
b. Sila ke-5 (Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia): Mewajibkan negara untuk menghapuskan kemiskinan, ketimpangan, dan memberikan akses yang adil terhadap sumber daya.
Kesakitan dan Kelukaan Rakyat secara masif muncul ketika penyelenggaraan negara mengkhianati nilai-nilai ideal tersebut. Pancasila tidak sakit, melainkan pelaksananya yang gagal atau sengaja membelokkan amanatnya.
Data dan Fakta Kelukaan Rakyat oleh Penyelenggaraan Negara:
a. Kesenjangan Sosial dan Ekonomi yang Melebar:
1.Meskipun pertumbuhan ekonomi (PDB per kapita) meningkat, data menunjukkan ketimpangan ekonomi (Gini Ratio) cenderung tinggi, terutama di perkotaan. Hal ini menunjukkan bahwa hasil pembangunan tidak terdistribusi secara adil.
2. Kritik: Sila ke-5 dilanggar ketika segelintir kelompok, seringkali bersekutu dengan penguasa (konco-konco), diuntungkan melalui praktik KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme), sementara rakyat kecil semakin tereksploitasi dan tersingkir dari akses ekonomi.
b. Konflik Agraria dan Pelanggaran HAM:
1. Bentrokan dan kriminalisasi terhadap masyarakat adat, petani, dan aktivis lingkungan dalam konflik agraria terus terjadi. Contoh kasus bentrokan antara masyarakat adat dan perusahaan menunjukkan adanya penyerangan brutal dan minimnya perlindungan negara terhadap hak-hak rakyat lemah.
2. Kritik: Sila ke-2 (Kemanusiaan yang Adil dan Beradab) dan Sila ke-5 (Keadilan Sosial) diinjak-injak ketika negara, melalui kebijakan atau pembiaran, memihak pada modal besar dan mengabaikan hak asasi serta hak atas tanah leluhur.
c. Hilangnya Wibawa dan Kepercayaan Publik:
1. Kasus korupsi yang masif, penyalahgunaan wewenang, dan penegakan hukum yang tumpul ke atas tetapi tajam ke bawah telah membuat pemerintah kehilangan legitimasi moral dan kepercayaan rakyat.
2. Kritik: Sila ke-4 (Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan) dan Sila ke-5 (Keadilan Sosial) diabaikan ketika aparatur negara bertindak sewenang-wenang, tidak akuntabel, dan jauh dari hikmat kebijaksanaan.
2. Kritik Terhadap Budaya Pancasila: Pancasilaisme yang Formalistik
Kritik terhadap budaya Pancasila yang terjadi di Indonesia berfokus pada sifatnya yang formalistik dan instrumentalistik, yaitu:
A. Pancasila sebagai Topeng dan Alat Stigma
1. Di masa lalu, Pancasila sering digunakan sebagai topeng untuk menutupi kondisi bangsa yang serba korup dan parah, atau sebagai alat keji untuk menstigma pihak yang kritis sebagai "anti-Pancasila" atau "makar."
2. Hal ini membatasi kebebasan berpendapat dan kritik konstruktif yang seharusnya dijamin oleh Sila ke-4.
B. Distorsi Nilai Menjadi Dogma
1.Upaya penyeragaman pemahaman Pancasila (seperti melalui doktrinasi di masa lalu) dinilai membawa distorsi, mengubah nilai-nilai yang seharusnya hidup dan realistis menjadi sekadar rumusan mati atau dogma yang wajib dihafal tanpa penghayatan.
2. Akibatnya, nilai-nilai Pancasila terlepas dari kenyataan hidup masyarakat, sehingga tidak mampu menjadi pemandu perilaku yang efektif, terutama bagi elite.
3. Kesimpulan: Jalan Menuju Aktualisasi
Kritik ini menyerukan agar budaya Pancasila diubah dari sekadar retorika menjadi aktualisasi yang nyata dalam setiap kebijakan negara. Refleksi menuntut:
1. Realisasi Sila ke-5: Kebijakan ekonomi harus benar-benar berorientasi pada kesejahteraan rakyat dan memfasilitasi kebutuhan dasar warga negara.
2. Akuntabilitas Penyelenggara Negara: Setiap kegiatan pemerintahan harus dipertanggungjawabkan kepada rakyat (sebagai pemilik kedaulatan), sejalan dengan prinsip Sila ke-4.
3. Pengamalan sebagai Ibadah: Prinsip Sila ke-1 menuntut bahwa penyelenggaraan negara adalah bentuk ibadah yang dilakukan dengan baik dan jujur, dan korupsi adalah perbuatan mungkar.
Hanya dengan mengimplementasikan kelima sila secara konsisten dan murni, kesakitan dan kelukaan rakyat akibat kegagalan penyelenggaraan negara dapat disembuhkan.
Lihatlah video tentang Kesenjangan Warga Kota Lebih Tinggi, Bappenas Ungkap Sebabnya! untuk memahami data terkait ketimpangan sosial di Indonesia yang menjadi salah satu sumber "kelukaan rakyat".
https://youtube.com/@cnbc_id?si=YTNMJHTDcyo-W7CH
Komentar
Posting Komentar