Nobel Ekonomi: Sains Kemanusiaan untuk Peradaban yang Berkeadilan

Nobel Ekonomi: Sains Kemanusiaan untuk Peradaban yang Berkeadilan                           
Oleh Kang Asep Rohmandar                           
Pembukaan: Ketika Ekonomi Bertemu Kemanusiaan

Di Stockholm, setiap Oktober, sebuah penghargaan diberikan—
bukan untuk mereka yang mengumpulkan kekayaan terbanyak,
melainkan untuk mereka yang memahami paling dalam:
bagaimana manusia sebagai makhluk ekonomi sebenarnya bekerja,
bagaimana sistem dapat dibentuk untuk melayani semua,
bagaimana sains dapat menerangi jalan menuju keadilan.

Nobel Ekonomi bukan sekadar teori di menara gading,
melainkan kompas moral untuk peradaban
menunjukkan arah ketika pasar buta pada penderitaan,
memberikan bukti ketika ideologi mengaburkan kebenaran,
menawarkan solusi ketika ketimpangan mengancam perdamaian.



BAGIAN I: PARA PIONIR EKONOMI KEMANUSIAAN

A. Amartya Sen: Ekonomi sebagai Kebebasan

Nobel 1998—Ekonomi Kesejahteraan dan Teori Pilihan Sosial 

Lahir di Bengal saat kelaparan membunuh jutaan jiwa,
Sen kecil menyaksikan orang mati bukan karena tidak ada makanan,
tetapi karena mereka tidak punya kemampuan untuk mengaksesnya—
dari trauma itu lahir teori yang mengubah ekonomi pembangunan.

Sen mengajarkan dunia:
Kemiskinan bukan sekadar kekurangan pendapatan,
tetapi perampasan kapabilitas—
kemampuan untuk hidup panjang dan sehat,
kemampuan untuk mendapat pendidikan,
kemampuan untuk berpartisipasi dalam kehidupan komunitas,
kemampuan untuk hidup dengan martabat.

Dia membuktikan dengan data keras:
Kelaparan terjadi bahkan ketika ada surplus makanan—
karena masalahnya adalah distribusi, bukan produksi,
karena demokrasi dan pers bebas mencegah kelaparan—
tidak ada kelaparan massal di negara demokratis.

Untuk masa kini dan masa depan, Sen mewariskan: 
1. GDP bukan ukuran kesejahteraan: Human Development Index lebih relevan
2. Pembangunan adalah ekspansi kebebasan substantif, bukan sekadar pertumbuhan ekonomi
3. Keadilan menuntut kita fokus pada yang paling disadvantaged
4. Pluralisme nilai harus dihormati: tidak ada formula universal pembangunan

B. Muhammad Yunus: Ekonomi untuk yang Terlupakan 

Nobel Perdamaian 2006 (untuk kontribusi ekonomi) 

Profesor ekonomi yang turun dari kampus ke desa,
memberikan $27 dari kantongnya sendiri kepada 42 pengrajin bambu—
mereka mengembalikan setiap sen, membuktikan:
yang miskin bukan tidak bertanggung jawab,
sistem perbankan lah yang tidak bertanggung jawab pada mereka.

Dari eksperimen kecil itu lahir Grameen Bank:
1. 9 juta peminjam, 97% perempuan
2. Tingkat pengembalian 98%—lebih tinggi dari bank konvensional
3. Mengangkat jutaan keluarga dari kemiskinan
4. Membuktikan: kredit adalah hak asasi manusia

Yunus menciptakan paradigma baru:
Social Business—perusahaan yang tujuannya bukan maksimalisasi profit,
tetapi penyelesaian masalah sosial. 
Investor dapat balik modal, tapi profit direinvestasi untuk misi sosial.

Untuk masa depan ekonomi inklusif:
1. Microfinance bukan charity tetapi investasi dengan return sosial tinggi
2. Perempuan adalah ekonom terbaik keluarga: percayakan mereka dengan sumber daya
3. Wirausaha sosial adalah masa depan kapitalisme yang beradab
4. Setiap orang memiliki potensi kreativitas ekonomi—sistem harus memfasilitasi, bukan menghalangi

C. Esther Duflo & Abhijit Banerjee: Ekonomi Eksperimental untuk Anti-Kemiskinan 

Nobel 2019—Pendekatan Eksperimental untuk Mengurangi Kemiskinan Global

Pasangan suami-istri yang merevolusi ekonomi pembangunan:
tidak lagi mengandalkan teori makro yang grand dan abstrak,
tetapi eksperimen mikro yang ketat dan konkret—
Randomized Controlled Trials (RCT) untuk kebijakan sosial.

Temuan mereka mengubah paradigma:

Tentang Pendidikan:
1. Bukan hanya membangun sekolah, tetapi memastikan anak-anak belajar
2. Deworming tablets meningkatkan attendance lebih dari beasiswa
3. Teaching at the right level lebih efektif dari curriculum standar yang one-size-fits-all

Tentang Kesehatan: 
1. Vaksinasi gratis tidak cukup—beri insentif kecil (1 kg lentil) dan rate naik drastis
2. Bed nets untuk malaria: gratis lebih efektif dari subsidized—ketika hidup mati, harga bukan sinyal kualitas

Tentang Kredit: 
1. Microcredit bukan magic bullet: tidak untuk semua orang
2. Yang miskin butuh multiple instruments: kredit, insurance, savings
3. Behavioral economics matters: default options, framing, timing

Pesan untuk masa depan: 
1. Evidence-based policy: test sebelum scale up
2. Context matters: yang berhasil di India belum tentu di Kenya
3. Small changes, big impacts: nudges can transform outcomes
4. Dignity in design: konsultasi dengan komunitas, bukan impose dari atas

D. Elinor Ostrom: Ekonomi Commons

Nobel 2009—Analisis Tata Kelola Ekonomi, Terutama Sumber Daya Bersama

Perempuan pertama yang menerima Nobel Ekonomi,
membantah "Tragedy of the Commons" Garrett Hardin—
yang mengatakan sumber daya bersama akan selalu overexploited,
solusinya hanya privatisasi atau kontrol negara.

Ostrom membuktikan ada jalan ketiga:
Community-based management—
komunitas lokal bisa mengelola sumber daya bersama secara berkelanjutan,
IF mereka punya hak yang jelas, aturan yang mereka buat sendiri,
monitoring yang partisipatif, sanksi yang graduated.

Dari sistem irigasi di Nepal hingga perikanan di Maine,
dari hutan komunal di Swiss hingga padang rumput di Ethiopia—
Ostrom dokumentasikan ribuan kasus sukses pengelolaan commons.

Prinsip-prinsip Ostrom untuk ekonomi berbagi: 
1. Batas yang jelas: siapa punya hak akses
2. Aturan sesuai kondisi lokal: tidak ada template universal
3. Partisipasi dalam pembuatan aturan: legitimasi dari bawah
4. Monitoring oleh komunitas: accountability horizontal
5. Sanksi graduated: mulai ringan, makin berat jika recidive
6. Mekanisme resolusi konflik: murah dan cepat
7. Pengakuan hak oleh otoritas eksternal: pemerintah respect
8. Nested enterprises: dari lokal ke regional, koordinasi multilevel

Relevansi untuk masa depan:
1. Digital commons: Wikipedia, open-source software—ekonomi berbagi di era digital
2. Climate commons: atmosfer adalah common pool resource terbesar—butuh Ostrom principles di skala global
3. Urban commons: community gardens, co-housing, shared workspaces
4. Knowledge commons: akses terbuka untuk riset dan pendidikan

E. Joseph Stiglitz: Ekonomi Informasi dan Ketidaksetaraan 

Nobel 2001—Analisis Pasar dengan Informasi Asimetris 

Mantan Chief Economist World Bank yang resign karena kritik terhadap neoliberalisme,
Stiglitz membuktikan secara matematis:
pasar bebas tidak otomatis efisien dan adil—informasi asimetris menciptakan kegagalan pasar sistemik.

Information asymmetry ada di mana-mana:
1. Asuransi kesehatan: perusahaan tidak tahu siapa yang sakit
2. Pasar kerja: employer tidak tahu siapa pekerja terbaik
3. Pasar kredit: bank tidak tahu siapa yang akan default
4. Hasil: adverse selection dan moral hazard—pasar underperform

Implikasi radikal:
Argumen untuk pasar bebas tanpa regulasi runtuh—
pemerintah punya peran legitimate untuk koreksi kegagalan pasar,
tidak semua intervensi adalah distorsi, banyak yang efisiensi-enhancing.

Stiglitz tentang ketidaksetaraan:
Inequality bukan hanya immoral, tetapi juga inefficient—
menghambat pertumbuhan, merusak demokrasi, destabilisasi sosial.
The Price of Inequality—kita semua bayar harga ketimpangan.

Agenda untuk masa depan:
1. Progressive taxation: yang kaya harus bayar fair share
2. Public investment masif: education, infrastructure, R&D
3. Regulasi finansial ketat: cegah 2008 terulang
4. Global tax cooperation: akhiri tax havens dan illicit flows

F. Paul Krugman: Ekonomi Geografi dan Perdagangan

Nobel 2008—Analisis Pola Perdagangan dan Lokasi Aktivitas Ekonomi

Kolumnis New York Times yang menulis ekonomi untuk rakyat,
Krugman menjelaskan:
Mengapa kota-kota besar ada? Mengapa Silicon Valley di California, bukan Wyoming?
Jawabannya: increasing returns to scale dan network effects.

New Trade Theory: 
Perdagangan internasional bukan hanya karena comparative advantage (Ricardo),
tetapi juga karena economies of scale dan product differentiation—
negara berdagang meski similar, karena konsumen suka variety.

Implikasi kebijakan: 
1. Free trade bukan selalu win-win: ada winners dan losers
2. Industrial policy punya tempat: infant industry protection bisa justified
3. Globalisasi butuh redistribusi: kompensasi losers, bukan tinggalkan mereka

Krugman tentang krisis finansial:
Kritikus austerity keras—pemerintah harus spending saat resesi, bukan cutting,
deficit spending saat liquidity trap adalah fiscal responsibility,
austerity di Eropa adalah malpractice ekonomi yang memiskinkan jutaan.

Untuk masa depan perdagangan yang adil:
1. Trade agreements harus include labor dan environmental standards
2. Adjustment assistance untuk workers yang displaced
3. Redistribusi gains from trade: jangan biarkan hanya elite yang untung


BAGIAN II: MAKHLUK EKONOMI YANG SESUNGGUHNYA

A. Daniel Kahneman & Richard Thaler: Behavioral Economics 

Kahneman—Nobel 2002: Psikologi dalam Ekonomi
Thaler—Nobel 2017: Behavioral Economics

Ekonomi neoklasik mengasumsikan Homo economicus:
rasional sempurna, self-interested, maximizing utility—
tapi manusia nyata bukan begitu.

Kahneman & Tversky membuktikan:
Manusia punya systematic biases:
1. Loss aversion : kita lebih takut rugi daripada suka untung—kehilangan $100 lebih sakit dari mendapat $100
2. Framing effects : pilihan tergantung bagaimana presented—"90% survival rate" vs "10% mortality rate"
3. Anchoring : angka pertama yang kita lihat mempengaruhi judgment
4. Availability heuristic : kita overestimate risk yang mudah diingat (plane crash vs car crash)

Thaler mengaplikasikan untuk policy: 
Nudge—arsitektur pilihan yang guide tanpa mandate: 
1. Default options: opt-out retirement savings—participation rate naik dari 30% ke 90%
2. Social norms: "90% tetangga Anda sudah bayar pajak"—compliance naik
3. Commitment devices: website yang blokir diri sendiri dari online shopping

Kritik dan batasan: 
Nudge bisa manipulatif jika tidak transparan—
paternalistik jika tidak respect autonomy—
Libertarian paternalism—keep choice, shape context. 

Untuk masa depan ekonomi yang manusiawi: 
1. Desain sistem yang sesuai dengan psikologi manusia nyata, bukan ideal
2. Default options yang pro-sosial: organ donation opt-out, green energy default
3. Transparansi: jangan manipulasi, edukasi
4. Empower choice, bukan exploit biases

B. Angus Deaton: Ekonomi Konsumsi dan Kesejahteraan

Nobel 2015—Analisis Konsumsi, Kemiskinan, dan Kesejahteraan

Deaton mengajarkan dunia cara mengukur kesejahteraan dengan benar:
bukan dari produksi (GDP), tetapi dari konsumsi dan kesehatan—
apa yang benar-benar dialami rakyat, bukan agregat nasional.

Temuan revolusionernya:
1. Poverty measurement: konsumsi lebih stable dari income untuk ukur kemiskinan
2. Health dan wealth: hubungannya kompleks—uang beli kebahagiaan sampai titik tertentu ($75,000/tahun), setelah itu plateau
3. Great Escape: jutaan keluar dari kemiskinan, tapi ketimpangan global tetap ekstrem

The Great Escape—dan yang tertinggal:
Sebagian dunia escape dari kemiskinan, penyakit, kematian dini—
tapi kesenjangan antara yang escape dan yang tertinggal makin lebar,
dan di negara maju sendiri ada krisis baru: deaths of despair. 

Deaths of Despair—Deaton & Anne Case: 
Di Amerika, white working class mengalami rising mortality:
suicide, drug overdose, alcohol—penyakit ekonomi, bukan medis.
Penyebab: hilangnya pekerjaan manufaktur, erosi komunitas, hilangnya meaning.

Pesan untuk masa depan:
1. Ukur apa yang penting: well-being, bukan hanya GDP
2. Kesehatan adalah indikator ekonomi paling sensitif
3. Ketimpangan bukan hanya ekonomi, tetapi also of hope dan opportunity
4. Pembangunan harus leave no one behind

C. Gary Becker: Ekonomi Perilaku Manusia

Nobel 1992—Analisis Ekonomi Mikro Perilaku Manusia 

Becker memperluas ekonomi ke semua aspek kehidupan manusia:
keputusan menikah, punya anak, berinvestasi di pendidikan, bahkan kriminalitas—semua bisa dianalisis dengan cost-benefit analysis. 

Human Capital Theory: 
Pendidikan dan pelatihan adalah investasi, bukan konsumsi—
return-nya berupa produktivitas lebih tinggi dan upah lebih besar,
maka pemerintah harus invest heavily di pendidikan. 

Economics of Discrimination: 
Diskriminasi itu costly—employer yang diskriminatif bayar harga:
mereka exclude talented workers hanya karena ras/gender,
kompetitor yang tidak diskriminatif akan outperform.
Pasar competitive seharusnya erode diskriminasi—tapi nyatanya tidak selalu. 

Mengapa diskriminasi persist? 
1. Taste-based: prejudice yang willing pay cost untuk discriminate
2. Statistical: stereotypes yang jadi self-fulfilling prophecy
3. Structural: segregasi residential, network yang homogen

Kritik terhadap Becker: 
Mereduksi semua keputusan ke kalkulasi ekonomi—
cinta, keluarga, altruisme lebih kompleks dari cost-benefit,
tapi framework-nya useful untuk policy: insentif matters. 

Untuk kebijakan anti-diskriminasi:
1. Anti-discrimination laws: naikkan cost untuk discriminate
2. Affirmative action: break statistical discrimination cycle
3. Transparency: publish diversity data, wage gaps
4. Education: invest in human capital kelompok yang terdiskriminasi


BAGIAN III: SISTEM EKONOMI UNTUK KEADILAN INKLUSIF 

A. Douglass North: Institusi adalah Kunci

Nobel 1993—New Economic History dan Institutional Economics 

North mengubah cara kita memahami pembangunan ekonomi:
bukan hanya faktor produksi (modal, tenaga kerja, teknologi),
tetapi institusi—aturan main dalam masyarakat.

Institusi yang baik:
1. Property rights yang jelas dan terlindungi
2. Rule of law: hukum berlaku untuk semua, tidak arbitrary
3. Checks and balances: power tidak terkonsentrasi
4. Low transaction costs: birokrasi efisien, korupsi rendah

Mengapa negara kaya dan miskin?
Bukan geography (meski penting), bukan culture (meski relevan),
tetapi institusi—extractive vs inclusive institutions.

Daron Acemoglu & James Robinson (bukan Nobel yet, tapi influential):
1. Extractive institutions: elite ekstrak wealth dari rakyat, block innovation yang threaten mereka
2. Inclusive institutions: akses broad ke ekonomi dan politik, creative destruction diizinkan

Path dependence:
Institusi punya inertia—bad institutions persist karena elite yang untung dari status quo,
tapi critical junctures (revolusi, krisis, perang) bisa mengubah path.

Untuk masa depan institusional:
1. Transparansi dan akuntabilitas: sunlight is best disinfectant
2. Partisipasi: voice untuk semua, bukan hanya elite
3. Rule of law yang fair: hukum melindungi yang lemah, bukan hanya yang kuat
4. Anti-corruption: korupsi adalah pajak regresif paling jahat

B. Robert Solow: Pertumbuhan dengan Keadilan

Nobel 1987—Teori Pertumbuhan Ekonomi

Solow menunjukkan:
Pertumbuhan ekonomi jangka panjang datang dari teknologi, 
bukan hanya akumulasi kapital—
diminishing returns berarti menambah mesin tidak cukup,
butuh inovasi, butuh peningkatan produktivitas.

Implikasi:
Investasi di R&D, pendidikan, infrastruktur adalah kunci—
ini adalah peran pemerintah, bukan hanya pasar.

Solow juga kritikus inequality:
"We can have democracy in this country, or we can have great wealth concentrated in the hands of a few, but we can't have both."

Untuk pertumbuhan inklusif:
1. Public investment in education: dari early childhood sampai lifelong learning
2. R&D funding: basic research yang private sector tidak mau danai
3. Infrastructure: fisik dan digital, akses untuk semua
4. Progressive taxation: yang untung dari pertumbuhan harus contribute more

C. Thomas Piketty (belum Nobel, tapi penting): Kapital di Abad 21

"Capital in the Twenty-First Century"—data 200 tahun, 20 negara:

rumus r > g—Return on capital > Growth rate ekonomi:
Ketika return investasi lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi,
wealth inequality akan terus meningkat—
yang punya kapital akan makin kaya lebih cepat dari yang hanya punya labor.

Ini bukan hukum alam, ini adalah pilihan politik:
1. Abad ke-20 punya period of decreasing inequality (1930-1980): karena perang, depresi, progressive taxation
2. Sejak 1980, inequality naik lagi: neoliberalism, tax cuts untuk yang kaya, deregulasi

Solusi Piketty:
Global wealth tax—progressive, komprehensif, coordinated:
1. Tax wealth, bukan hanya income
2. Progressive rate: makin kaya makin tinggi rate
3. Global coordination: cegah capital flight ke tax havens
4. Transparency: public registry of wealth

Kritik:
Politically impossible—negara kompetisi untuk attract kapital,
tapi Piketty argue: jika tidak, inequality akan destroy demokrasi dan stabilitas.

Untuk masa depan yang lebih equal:
1. Wealth tax: start small, build momentum

2. Inheritance tax: limit dynastic wealth
3. Financial transparency: end bank secrecy
4. Public ownership stakes: sovereign wealth funds yang benefit semua warga

D. Mariana Mazzucato: Entrepreneurial State

"The Entrepreneurial State"—Pemerintah sebagai Inovator:

Mitos: inovasi datang dari private sector, pemerintah hanya hambatan,
**Realitas: hampir semua teknologi breakthrough didanai pemerintah.**

Internet? DARPA (Pentagon).
GPS? Military.
Touchscreen, Siri, algoritma Google? Public funding.
Vaksin COVID? Government contracts dan R&D.

Farmasi: public risk, private profit:
NIH (National Institutes of Health) danai basic research,
pharmaceutical companies take successful ones, patent, charge exorbitant prices—
socialize risk, privatize rewards.

Mazzucato's argument:
Jika pemerintah fund risky innovation,
pemerintah harus share in upside, bukan hanya downside—
equity stakes, royalties, profit-sharing.

Untuk ekonomi inovasi yang adil:
1. Public funding of R&D with public share of returns
2. Affordable access to publicly-funded innovations: vaccines, medicines harus accessible
3. Conditions on public money: living wages, environmental standards
4. Mission-oriented innovation: solve grand challenges (climate, health, inequality)


BAGIAN IV: EKONOMI UNTUK SEMUA—INKLUSIVITAS TOTAL

A. Ekonomi Feminist: Care sebagai Inti

Marilyn Waring: "If Women Counted"

GDP tidak hitung kerja rumah tangga—
jika ibu masak untuk keluarga: tidak masuk GDP,
jika ibu bayar restoran: masuk GDP—
absurd! Padahal care work adalah fondasi semua ekonomi.

Nancy Folbre, Julie Nelson, Diane Elson—Feminist Economics:

Ekonomi tidak dimulai dari pasar, tetapi dari care:
Bayi tidak lahir sebagai economic agent,
mereka butuh years of care sebelum bisa produktif—
care work adalah produksi manusia, investasi paling fundamental.

Undervaluing care work:
1. Unpaid: diasumsikan "natural" untuk perempuan, love labor
2. Underpaid: caregiver bergaji rendah, tidak dihargai
3. Invisible: tidak masuk GDP, tidak dalam policy consideration

Dampak pada women's economic security:
1. Lifetime earnings lebih rendah: penalty untuk motherhood
2. Retirement savings lebih kecil: years out of workforce
3. Poverty di usia tua lebih tinggi: widowhood tanpa pension

Ekonomi feminist menuntut:
1. Recognize care work: hitung dalam GDP, value economically
2. Reduce burden: public infrastructure (childcare, eldercare)
3. Redistribute: dari perempuan ke laki-laki, dari keluarga ke publik
4. Represent : care workers dalam policy making
5. Reward: bayar layak untuk care work

Untuk masa depan:
1. Universal care infrastructure: seperti kita punya roads dan bridges, kita butuh daycare dan nursing homes
2. Care leave for all genders: ayah harus ambil cuti, bukan optional
3. Living wage untuk care workers: mereka yang care for most vulnerable harus dibayar dengan baik
4. Care dalam makro policy: fiscal policy, monetary policy, trade policy—semua harus consider care

B. Ekonomi Dekolonial: Reparasi dan Keadilan Historis

Samir Amin, Walter Rodney, Arturo Escobar:

"How Europe Underdeveloped Africa"—Rodney:
Afrika bukan "naturally poor,"
Afrika was systematically impoverished oleh kolonialisme:
1. Ekstraksi resources tanpa kompensasi
2. Penghancuran industri lokal
3. Pemaksaan monokultur untuk export
4. Slave trade yang depopulate continent

Development sebagai ideologi:
Asumsi bahwa ada universal path: dari tradisional ke modern,
dari agraris ke industrial, dari communal ke individualistic—
ini adalah imposisi nilai Western, bukan natural evolution.**

Ekonomi dekolonial menuntut:
1. Reparasi finansial : kompensasi untuk slavery, colonialism, extraction
2. Debt cancellationb: hutang luar negeri adalah neokolonial bondage
3. Technology transfer : tidak ada IP barriers untuk essential tech
4. Fair trade : harga adil untuk komoditas, tidak dikontrol futures market di Chicago dan London
5. Sovereignty : hak menentukan model pembangunan sendiri, tidak dipaksa follow Washington Consensus

Alternative development models:
1. Buen Vivir  (Andes): living well dalam harmony dengan nature dan community
2. Ubuntu  (Afrika): "I am because we are"—communal wellbeing
3. Swaraj  (India): self-rule, self-sufficiency
4. Degrowth (Global): less can be more—quality over quantity

Untuk masa depan post-colonial:
1. Reparations fund: dari bekas penjajah ke bekas terjajah
2. South-South cooperation: trade dan tech transfer antar Global South
3. Pluriversality: many worlds, not one world—respect diverse economic systems
4. Ecological debt: Global North owe Global South for climate damage

C. Ekonomi Disability Justice 

1.3 billion people dengan disability—16% populasi dunia,
tapi invisible dalam economic discourse.

Charity model vs Rights model:
1. Charity: disability adalah tragedy, butuh pity dan charity
2. Rights: disability adalah diversity, butuh accessibility dan accommodation

Economic exclusion of disabled people:
1. Employment rate: 50% lebih rendah dari non-disabled
2. Wage: 37% lebih rendah untuk pekerjaan sama
3. Poverty rate: 2x lipat non-disabled
4. Extra costs: assistive devices, personal assistants, medical—"disability tax"

Nothing About Us Without Us: 
Policy dibuat tanpa konsultasi disabled people—
hasil: inaccessible, inappropriate, sometimes harmful.

Economic inclusion menuntut:
1. Accessibility as default : bukan "special accommodation" tetapi universal design
2. Employment equity : quotas, anti-discrimination yang enforced, reasonable accommodation
3. Income support : disability benefits yang adequate, tanpa means-testing yang humiliating
4. Accessible capital : kredit untuk disabled entrepreneurs tanpa discrimination
5. Representation: disabled people dalam economic decision-making

Untuk ekonomi accessible:
1. Universal design: semua produk, layanan, spaces designed untuk semua
2. Assistive technology as public good: gratis atau sangat murah
3. Personal assistance as right: bukan charity, tetapi enablement
- Employment support: job coaches, workplace modifications, flexible arrangements

D. Ekonomi Intergenerational: Keadilan untuk Semua Usia**

Youth:
Precarity generation—gig economy, unpaid internships, student debt,
housing unaffordable, climate crisis diwariskan—
economic anxiety adalah default state.

Youth unemployment crisis:
1. Global: 13.6% (3x adult rate)
2. Scarring effects: long-term wage penalty, career disruption
3. Brain drain: talented youth emigrate, developing countries lose

Economic justice for youth:
1. Job guarantee: setiap muda berhak pekerjaan layak
2. Debt-free education: tuition free, living stipends
3. First-time buyer support: rumah harus accessible untuk generasi baru
4. Climate jobs: transisi hijau adalah job opportunity masif

Elderly:
Aging societies—onus or opportunity?
1. Onus narrative: "silver tsunami," "dependency ratio," "pension crisis"
2. Opportunity narrative: experienced workforce, consumer power, care economy

Ageism in economy:
1. Forced retirement: arbitrary age limits
2. Hiring discrimination: "overqualified," "not tech-savvy"
3. Pension inadequacy: banyak elderly hidup dalam poverty

Economic security untuk elderly: 
1. Universal pension: semua elderly, tidak peduli work history
2. Continued employment option: flexible, part-time, consultancy
3. Eldercare infrastructure: public, berkualitas, affordable
4. Inheritance tax: limit dynastic wealth, fund public pension

Intergenerational solidarity:
1. Social contract: generasi muda mendukung elderly hari ini, akan didukung nanti
2. Climate action: elderly punya tanggung jawab untuk planet yang diwariskan
3. Knowledge transfer: elderly mentor, muda mengajar tech—reciprocal learning


BAGIAN V: EKONOMI MASA DEPAN YANG ADIL DAN INKLUSIF

A. Platform Cooperativism: Ekonomi Digital yang Demokratis                                   
Trebor Scholz & Nathan Schneider:

Gig economy = Exploitation economy:
Uber, Lyft, DoorDash, TaskRabbit—
pekerja disebut "independent contractors" (no benefits),
algoritma boss yang opaque dan arbitrary,
platform ambil 20-30% commission,
profit ke shareholder, risk ke pekerja.

Platform cooperativism alternative:
Platform dimiliki dan dikontrol oleh pekerja/pengguna—
1. Stocksy : stock photo co-op, photographers punya platform
2. Fairbnb : Airbnb alternative, profit untuk komunitas lokal
3. Up & Go : cleaning services co-op di NYC, worker-owned
4. Resonate : streaming music co-op, artist-friendly payment

Prinsip:
1. Democratic ownership: one worker/user, one vote
2. Fair compensation: living wages, benefits
3. Transparency: algoritma open, decision-making participatory
4. Data sovereignty: data adalah milik user, bukan extracted untuk profit
5. Community benefit: profit untuk stakeholders, bukan absent shareholders

Challenges:
1. Network effects: susah compete dengan incumbent yang sudah besar
2. Venture capital: co-op tidak dapat VC funding karena no equity for investors
3. Scale: co-op cenderung lebih kecil, lokal

Ayo To Solutions:
1. Public funding: government invest di platform co-ops
2. Regulatory support: preferential treatment untuk co-ops
3. Inter-cooperation: co-ops bekerjasama, share resources
4. Education: mengajarkan model co-op di sekolah bisnis

B. Doughnut Economics: Kate Raworth

"Doughnut Economics: Seven Ways to Think Like a 21st-Century Economist"

Ekonomi harus operate dalam doughnut :
1. Social foundation (inner ring) : 12 human needs—food, water, health, education, income, housing, gender equality, social equity, political voice, peace, jobs, energy
2. Ecological ceiling (outer ring) : 9 planetary boundaries—climate change, ocean acidification, biodiversity loss, nitrogen & phosphorus loading, land conversion, freshwater withdrawals, air pollution, ozone depletion, chemical pollution

Sweet spot: antara social foundation dan ecological ceiling. 

Saat ini kita:
1. Overshoot ecological ceiling: climate crisis, biodiversity collapse
2. Underperform on social foundation: billions dalam poverty, tanpa akses basic needs

What Transformation needed:
1. Change the goal : dari GDP growth ke thriving within doughnut
2. See the big pictureb: ekonomi embedded dalam society dan biosphere
3. Nurture human nature : bukan Homo economicus, tetapi social, cooperative, care-oriented
4. Get savvy with systems:                                                                                              BAGIAN V: EKONOMI MASA DEPAN YANG ADIL DAN INKLUSIF (Lanjutan)

B. Doughnut Economics: Kate Raworth (Lanjutan)

Transformation needed:
1. Change the goal : dari GDP growth ke thriving within doughnut
2. See the big picture : ekonomi embedded dalam society dan biosphere
3. Nurture human nature : bukan Homo economicus, tetapi social, cooperative, care-oriented
4. Get savvy with systems : feedback loops, tipping points, complexity
5. Design to distribute : built-in mechanisms untuk equity—bukan trickle down
6. Create to regenerate : dari linear (take-make-waste) ke circular dan regenerative
7. Be agnostic about growth : growth bukan tujuan, kadang butuh, kadang tidak

Amsterdam Doughnut:
Kota Amsterdam adopt doughnut economics sebagai framework—
semua policy harus pass doughnut test: apakah memenuhi social needs tanpa overshoot planetary boundaries?

Contoh aplikasi:
1. Housing: enough affordable housing (social floor) tanpa urban sprawl yang destroy nature (ecological ceiling)
2. Transport: mobility untuk semua (social) dengan zero emission (ecological)
3. Food: nutrisi adequate (social) dari regenerative agriculture (ecological)

Untuk kota dan negara lain:
1. Doughnut as dashboard: monitor progress, identify gaps
3. Participatory: melibatkan warga dalam mendefinisikan "good life"
4. Place-based: setiap lokasi punya doughnut sendiri, disesuaikan context
5. Action-oriented: bukan hanya ideal, tetapi actionable dengan policy konkret

C. Modern Monetary Theory (MMT): Uang untuk Rakyat 

Stephanie Kelton, Warren Mosler, Randy Wray:

MMT mengubah cara kita memahami uang:
Negara yang punya mata uang sendiri (bukan Eurozone):
1. Tidak bisa "kehabisan uang" : pemerintah create money saat spending
2. Deficit bukan inherently bad : deficit pemerintah = surplus sektor swasta
3. Taxes bukan untuk funding: taxes untuk control inflasi dan redistribute wealth
4. Unemployment adalah pilihan politik : pemerintah bisa create jobs kapan saja

Implikasi radikal:
Pertanyaan bukan "dari mana uangnya?"
tetapi "apakah ada sumber daya riil (tenaga kerja, material)?"

Jika ada:
1. Millions unemployed: ada tenaga kerja
2. Infrastructure crumbling: ada kebutuhan
3.Green technology available: ada solusi

Maka pemerintah HARUS spending untuk employ mereka.

Job Guarantee—core policy MMT:
Pemerintah sebagai employer of last resort,
siapa pun yang mau kerja dapat pekerjaan dengan living wage,
doing useful work: care, environment, community services.

Benefits:
1. Unemployment dihapus: 0% involuntary unemployment
2. Wage floor: private sector harus compete, upah naik
3. Automatic stabilizer: resesi, lebih banyak ke JG; boom, keluar ke private sector
4. Dignified: pekerjaan, bukan handout

Kritik terhadap MMT:
1. Inflasi: jika spending melebihi kapasitas ekonomi
2. Politik: bisa disalahgunakan untuk irresponsible spending
3. Global South: tidak applicable untuk negara dengan foreign debt dalam USD

Jawaban MMT:
1. Inflasi: itu constraint riil, bukan finansial—taxasi dan spending harus balanced
2. Politik: require strong institutions dan transparansi
3. Global South: need debt relief dan new international monetary system

Untuk masa depan fiscal policy:
1. Green New Deal: massive public investment dalam climate transition
2. Care New Deal: public care infrastructure
3. Guaranteed jobs: pekerjaan untuk semua yang mau
4. Monetary sovereignty: negara harus kontrol mata uang sendiri

D. Degrowth: Jason Hickel, Giorgos Kallis

"Less Is More"—Hickel:

Pertumbuhan ekonomi infinite di planet finite adalah impossible:
Kita sudah overshoot planetary boundaries—
decoupling (pertumbuhan tanpa environmental impact) tidak terjadi di scale dan speed yang dibutuhkan,
jadi Global North harus degrow.

Degrowth bukan recession—planned, equitable reduction:
1. Reduce throughput: less extraction, production, consumption, waste
2. Tapi maintain atau improve wellbeing: kesehatan, pendidikan, waktu luang, community

Sectors to shrink:
1. Fossil fuels : phase out completely
2. Aviation : drastically reduce, especially private jets dan frequent flyers
3. Beef: industrial meat production
4. SUVs dan fast fashion : wasteful consumption
5. Advertising : industry yang create artificial needs
6. Finance : speculative, extractive financial services
7. Military: war economy ke peace economy

Sectors to grow:
1. Renewable energy : solar, wind, geothermal
2. Public transport : trains, buses, bikes
3. Care : health, education, childcare, eldercare
4. Repair dan reuse : circular economy
5. Arts dan culture: meaning, bukan stuff
6. Ecological restoration : rewilding, regenerative agriculture

How to degrow fairly:
1. Universal Basic Services : kesehatan, pendidikan, housing, transport gratis atau murah
2. Reduce working hours : 4-day workweek, job sharing
3. Progressive taxation : luxury taxes, wealth taxes
4. Wealth cap: maximum income/wealth ratio
5. Cancel debt : household debt, student debt, Global South debt
6. Democratize economy : co-ops, community ownership
7. End planned obsolescence : products harus durable, repairable

Degrowth adalah tentang priorities:
Bukan anti-kemajuan, tetapi redefine kemajuan—
dari "more stuff" ke "better life,"
dari "higher GDP" ke "higher wellbeing,"
dari "work more" ke "live more."

Kritik:
1. Politically toxic: "degrowth" sounds like going backward
2. Jobs: akan ada job losses di shrinking sectors
3. Global South: mereka butuh growth untuk escape poverty

Jawaban:
1. Reframe: "post-growth," "wellbeing economy"
2. Just transition: retrain, income support, new jobs di growing sectors
3. Differentiated: degrowth untuk Global North, development untuk Global South

BAGIAN VI: TEKNOLOGI UNTUK EKONOMI INKLUSIF 

A. Blockchain untuk Transparansi dan Desentralisasi 

Bukan hanya cryptocurrency speculation,
tetapi infrastruktur untuk trust tanpa intermediary:

Supply chain transparency:
1. Track produk dari farm to table: tahu apakah ethical sourcing
2. Diamond tracking: cegah conflict diamonds
3. Fair trade verification: pastikan farmers dibayar adil

Land registry:
1. Hernando de Soto: banyak orang miskin punya tanah tapi tidak ada surat—tidak bisa gunakan sebagai collateral
2. Blockchain land registry: immutable, accessible, demokratis
3. Honduras, Georgia experimenting

Digital identity:
1. 1 billion people tanpa ID legal—tidak bisa buka bank account, tidak bisa akses layanan
2. Blockchain ID: self-sovereign, portable, secure
3. Refugees: bawa ID digital walau kehilangan dokumen fisik

Go Voting dan governance:
1. Transparent, tamper-proof voting
2. DAO (Decentralized Autonomous Organizations): organizational governance on blockchain
3. Participatory budgeting dengan blockchain: transparansi penuh

Challenges Now :
1. Energy consumption: Proof of Work sangat boros energi
2. Scalability: masih lambat untuk mass adoption
3. Regulation: unclear legal status banyak aplikasi
4. Accessibility: technical barrier untuk non-tech savvy

Solutions:
1. Proof of Stake: lebih energy efficient
2. Layer 2 solutions: faster transactions
3. Public blockchain: government-backed untuk public goods
4. User-friendly interfaces: abstraksi complexity

B. AI untuk Keadilan, Bukan Diskriminasi

Era AI sekarang:
Banyak bias karena dilatih dengan biased data:
1. Facial recognition: akurasi rendah untuk orang kulit gelap
2. Hiring algorithms: diskriminasi gender dan ras
3. Credit scoring: perpetuate redlining
4. Criminal justice: predictive policing yang target minoritas

Ruha Benjamin: "Race After Technology"
Safiya Noble: "Algorithms of Oppression"
Cathy O'Neil: "Weapons of Math Destruction"

AI bukan neutral—ia reflect dan amplify biases dari data dan designers.

Go AI untuk keadilan:
1. Diverse teams : engineers dari berbagai latar belakang
2. Bias audits : test algoritma untuk discriminatory outcomes
3. Transparency : explainable AI—tidak boleh black box
4. Accountability : ada yang bertanggung jawab jika AI harm
5. Public participation : komunitas yang affected harus involved dalam design
6. Regulation : standards untuk fairness, accuracy, transparency

Positive uses:
 1. Healthcare : diagnosa lebih akurat, terutama untuk underserved populations
2. Education : personalized learning yang adaptive
3. Legal aid : free legal advice untuk yang tidak mampu afford lawyer
4. Language : translation untuk migrants dan refugees
5. Accessibility : speech-to-text, text-to-speech untuk disabled

Go AI dan future of work:
Automation bisa eliminate jobs—atau bisa liberate dari drudgery.
Pilihan kita:
1. Dystopia : mass unemployment, inequality ekstrem, surveillance state
2. Utopia : universal basic income, reduced work hours, meaningful activities

Untuk utopia, butuh:
1. Tax robots: automation tax untuk fund UBI
2. Democratize AI: open source, community control
3. Retrain workers: lifelong learning, guaranteed jobs
4. Redefine work: care, creativity, community—not just paid employment

C. Fintech Inklusif: Keuangan untuk yang Unbanked 

1.7 billion adults globally unbanked:
Tidak punya akses ke bank account—
karena terlalu miskin (minimum balance requirements),
terlalu jauh (no branches di rural),
tidak punya ID (refugees, informal workers),
distrust (historical exploitation).

Mobile money revolution:
1. M-Pesa di Kenya: SMS-based money transfer, no smartphone needed
2. 96% Kenyan households gunakan mobile money
3. Transformatif: remittances, bill payments, savings, credit

Digital wallets:
1. Lower barriers: no minimum balance, no fees
2. Accessible: hanya butuh phone
3. Inclusive: bisa buka tanpa credit history

Peer-to-peer lending:
1. Bypass banks: langsung dari lender ke borrower
2. Lower interest: no bank markup
3. Community-based: lending circles, ROSCAs digitized

Microinsurance:
1. Pay-as-you-go: insurance untuk gig workers
2. Index-based: crop insurance triggered by weather data
3. Affordable: mikro-premiums lewat mobile money

Challenges: 
1. Digital divide: masih banyak tanpa akses internet atau phone
2. Financial literacy: risiko scams dan fraud
3. Data privacy: siapa kontrol data finansial?
4.Regulation: balance innovation dengan consumer protection

For inclusive fintech future:
1. Universal internet access: digital infrastructure sebagai public utility
2. Financial education: literacy programs, especially for vulnerable
3. Data rights: personal financial data owned by individual
4. Public digital banks: government-provided digital wallets untuk semua


BAGIAN VII: KEBIJAKAN KONKRET UNTUK EKONOMI INKLUSIF

A. Universal Basic Income (UBI)

Guy Standing, Philippe Van Parijs, Andrew Yang:

UBI = unconditional cash transfer untuk semua:
1. Universal: semua warga, kaya atau miskin
2. Unconditional: no means testing, no work requirements
3. Individual: per person, bukan per household
4. Regular: monthly, predictable
5. Cash: freedom to spend as needed

Arguments for: 
1. Poverty elimination : floor di bawah tidak ada yang jatuh
2. Freedom : liberation dari wage slavery
3. Simplicity : replace kompleks welfare bureaucracy
4. Automation : safety net di era job displacement
5. Gender justice: recognize unpaid care work
6. Bargaining power : workers bisa refuse exploitative jobs
7. Entrepreneurship: bisa take risk start business
8. Dignity : unconditional, no stigma

Check Arguments against:
1. Cost : mana dapat uang untuk bayar semua orang?
2. Inflation : demand increase tanpa supply increase
3. Work disincentive : orang akan berhenti kerja?
4. Free riders : yang mampu kerja tapi tidak mau
5. Migration : akan attract migrants untuk dapat UBI
6. Inadequacy : amount tidak cukup untuk hidup layak
7. Distraction : divert dari strengthening welfare state

Evidence from pilots:
1. Kenya (GiveDirectly) : no work reduction, malah entrepreneurship increase
2. Finland : wellbeing improve, no employment decrease
3. Namibia: poverty turun, crime turun, sekolah attendance naik
4. Alaska Permanent Fund : sudah 40+ tahun, popular lintas partisan                          
Rapid Design matters:
a. Amount : adequate untuk basic needs, tapi tidak disincentive work
b. Funding : progressive tax, carbon dividends, wealth tax
c. Complementarity : with atau replace existing welfare?
d.Universality : truly universal atau with phase-out untuk high earners?

UBI vs Job Guarantee:
Bukan either/or, bisa both:
a. UBI: income floor
b. JG: job option untuk yang mau kerja

Bandung Garut, September Oktober 2025

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Profil Asep Rohmandar : Presiden Masyarakat Peneliti Mandiri Sunda Nusantara

Visi dan Misi Asep Rohmandar sebagai penulis dan peneliti

Prolog Buku Komunikasi Pendidikan Yang Efektif? By Asep Rohmandar