Panca Waluya” Kang Dedi Mulyadi — Kritik Konstruktif dan Solusi

“Panca Waluya” Kang Dedi Mulyadi — Kritik Konstruktif dan Solusi  

Oleh: Asep Rohmandar
                                                                           Gagasan Gapura Panca Waluya yang digagas Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, mengusung upaya memperkuat karakter peserta didik melalui lima nilai luhur—cageur, bageur, bener, pinter, singer—dan diikuti serangkaian kebijakan pendidikan baru yang luas jangkauannya. Namun implementasi awalnya menimbulkan polemik tajam: larangan studi tur berbayar dan ‘wisuda’, program pengiriman siswa bermasalah ke barak militer, dan penggunaan pendekatan disiplin militer untuk “rehabilitasi” yang memicu laporan ke lembaga HAM serta penolakan dari serikat guru dan organisasi pendidik. Opini ini membedah gagasan dan praktik Panca Waluya melalui dua kerangka analisis yang saya sebut pancacuriga (lima kecurigaan/pertimbangan kritis) dan pancaniti (lima poros investigasi/penelitian), lalu menawarkan rekomendasi kebijakan dan langkah operasional untuk memperbaiki arah dan implementasi agar tujuan luhur tidak hilang oleh masalah tata kelola, hak-hak anak, dan ekonomi lokal. Saya mengutip pernyataan dan laporan media yang relevan untuk memastikan argumen berbasis fakta dan data publik.                                                                                             1. Mengapa Perlu Kritik Konstruktif?

Visi pendidikan yang menekankan nilai karakter tidak hanya relevan, tetapi diperlukan di masa perubahan cepat. Gapura Panca Waluya — yang menempatkan lima nilai sebagai “gerbang” pendidikan Jawa Barat — berpotensi menjadi kerangka nilai lokal yang memperkaya kurikulum nasional. Namun gagasan yang baik bukan jaminan hasil baik bila rancangan, hukum, anggaran, dan prosedur implementasinya lemah. Ketika kebijakan menyentuh hak anak, praktik pendidikan, dan sektor ekonomi (pariwisata, pendidikan nonformal), kritik yang bertanggung jawab harus menyatukan etika, hukum, bukti empiris, dan solusi praktis.

Berikut analisis kritis yang terstruktur: dulu kita uraikan fakta utama, lalu masuk ke pancacuriga, pancaniti, dan akhirnya solusi operasional yang bisa langsung diterapkan oleh Pemprov Jabar dan pemangku kepentingan terkait.                                                                                                                 2. Fakta-fakta Kunci dan ringkasan berdasarkan peliputan media masa termasuk. 

  1. Konsep Gapura Panca Waluya. Gubernur Dedi Mulyadi memopulerkan Gapura Panca Waluya — sebuah konsep pendidikan karakter yang mengedepankan lima kualitas: cageur (sehat jasmani-rohani), bageur (berakhlak baik), bener (jujur/teliti), pinter (cerdas/berwawasan), dan singer (rajin/berdisiplin). Konsep ini dilaporkan sebagai landasan surat edaran provinsi mengenai arah pendidikan di Jawa Barat.

  2. Kebijakan administratif baru. Pemerintah Provinsi menerbitkan surat edaran yang berisi berbagai aturan terkait penerapan Gapura Panca Waluya, termasuk larangan kegiatan tertentu (mis. studi tur berbayar, beberapa bentuk wisuda komersial) dan dorongan pada kegiatan karakter. Berita menjelaskan perubahan aturan praktik-praktik sekolah rutin.

  3. Program pengiriman siswa “nakal” ke barak militer. Salah satu program paling kontroversial adalah upaya mengirim siswa bermasalah ke fasilitas dengan pendekatan militer/pendisiplinan. Praktik ini memicu penolakan dari beberapa orang tua dan organisasi HAM, serta laporan ke Komnas HAM. Kritik juga datang dari serikat guru dan organisasi pendidikan yang menyatakan prosedur dan dasar hukumnya perlu evaluasi.

  4. Acara pendidikan dan pelatihan besar di fasilitas militer. Ada laporan dan dokumentasi acara pendidikan Gapura Panca Waluya yang berakhir/ditutup di tempat-tempat militer (mis. kesatrian/markas), yang memperkuat kesan militarisasi sebagian program. Dokumentasi penutupan acara semacam ini ada di beberapa liputan.

  5. Respons publik dan ekonomi lokal. Larangan kunjungan studi berbayar mendapat kritik dari pelaku pariwisata dan pihak sekolah yang mengandalkan studi tur sebagai sumber penghasilan atau pengalaman edukatif. Isu ekonomi lokal ini memunculkan konflik kepentingan yang harus diselesaikan agar kebijakan tidak kontra-produktif.

                                                                          3. Kerangka Analisis: Pancacuriga (lima lensa kritis) 

Agar evaluasi tidak normatif semata, saya mengusulkan lima “kecurigaan” atau pertanyaan kritis yang wajib dijawab oleh pembuat kebijakan sebelum dan saat melaksanakan program berskala publik: 1. Legalitas dan Kepatuhan Hak Asasi. Apakah ada dasar hukum dan perlindungan hak?

Kebijakan yang mengirim anak ke “barak militer” atau memaksa bentuk disiplin militer harus memenuhi standar perlindungan anak (Convention on the Rights of the Child, prinsip kepentingan terbaik anak) serta peraturan nasional tentang pendidikan. Tidak jelas apakah mekanisme persetujuan orang tua, prosedur rehabilitasi pedagogis, atau mekanisme pengawasan independen telah dipenuhi sebelum pelaksanaan. Pelaporan ke Komnas HAM menunjukkan adanya kekhawatiran hukum dan HAM yang sah.2. Proporsionalitas dan Efektivitas (Apakah pendekatannya terbukti efektif dan proporsional?

Disiplin dan karakter bisa ditumbuhkembangkan lewat program asuh, konseling, pembelajaran sosial-emosional—bukan hanya melalui hukuman atau isolasi bergaya militer. Bukti internasional menunjukkan intervensi berbasis komunitas, keluarga, dan sekolah lebih berhasil dalam jangka panjang. Bila pendekatan militer digunakan, harus ada evaluasi efektivitas dan bukti bahwa alternatif kurang efektif.3. Akibat Ekonomi dan Sosial (Siapa yang dirugikan/dimanfa’atkan?

Larangan praktik komersial pendidikan (mis. studi tur berbayar, wisuda berbayar) mungkin ditujukan agar pendidikan tidak dikomersialisasi. Tetapi kebijakan tanpa mitigasi dapat merugikan sektor pariwisata lokal, operator perjalanan pendidikan, dan kegiatan ekstrakurikuler yang selama ini mendukung pengalaman belajar. Risiko sosial-ekonomi ini perlu diquantify dan diberi kompensasi/alternatif.                                                                                                            4. Kesetaraan dan Akses Apakah kebijakan mempertimbangkan keragaman kondisi sekolah?

Sekolah negeri/perdesaan/kota memiliki akses dan kapasitas berbeda. Kebijakan seragam berisiko memperlebar kesenjangan—mis. sekolah miskin kehilangan sumber dana atau akses pengalaman bagi siswa jika studi tur dilarang tanpa opsi subsidi pemerintah. 5. Integritas Budaya vs Eksklusivitas. Apakah pembumian nilai lokal inklusif dan kontekstual?

Mengangkat nilai lokal Sunda adalah hal positif. Namun penggunaan simbol-simbol budaya atau praktik yang tampak “memaksakan” nilai bisa menimbulkan resistensi kelompok lain (agama, etnis, atau keluarga yang berbeda interpretasi). Nilai lokal sebaiknya diformulasikan secara inklusif, berbasis konsultasi luas, agar tidak menjadi identitas eksklusif.          4. Kerangka Investigasi: Pancaniti (lima poros penelitian/penilaian)

Untuk menilai dampak dan memperbaiki implementasi, saya sarankan lima poros penelitian/monitoring yang terukur:1. Data & Monitoring Outcome

Buat indikator kinerja (KPI) berbasis outcome — mis. perubahan perilaku (skor SEL: social-emotional learning), angka putus sekolah, angka tindak kriminal remaja, dan kesejahteraan psikologis. Lakukan baseline dan evaluasi berkala (3, 6, 12 bulan). Tanpa data, klaim efektivitas tak dapat dibuktikan.2. Penilaian Hukum dan HAM

Audit kepatuhan hukum: analisis apakah prosedur untuk intervensi non-kurikuler memenuhi standar perlindungan anak, persetujuan orang tua, dan jaminan non-penahanan. Libatkan Komnas HAM, KPAI, dan akademisi hukum pendidikan.3. Dampak Ekonomi Lokal. Studi cepat (rapid assessment) tentang dampak larangan wisata pendidikan terhadap usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) pariwisata, serta terhadap anggaran sekolah. Jika merugikan, siapkan skema mitigasi misalnya tentang subsidi, program pariwisata edukatif yang diatur.4. Studi Kualitatif Stakeholder

Survei dan wawancara mendalam untuk guru, orang tua, siswa, pelaku pariwisata, pengelola sekolah, dan tokoh adat. Temuan kualitatif ini akan mengungkap persepsi, resistensi, dan elemen budaya yang harus diformulasikan ulang.5. Evaluasi Etika Pendidikan & Pelatihan Guru

Kaji kapasitas guru untuk menerapkan Panca Waluya secara pedagogis—apakah mereka dilatih untuk mengajarkan nilai, melakukan konseling, dan menilai perkembangan karakter? Jika tidak, program akan menjadi retorika tanpa implementasi.                                               5. Analisis Mendalam dan Kritik Terukur

Berikut saya uraikan titik-titik kritis berdasarkan pancacuriga dan pancaniti, dengan bukti/liputan media sebagai rujukan.1. Pengiriman ke Barak Militer: Risiko Hak Anak dan Stigma

Praktik mengirim siswa bermasalah ke fasilitas dengan pendekatan militer memicu laporan ke Komnas HAM. Media menyebut adanya laporan orang tua ke Komnas HAM dan seruan peninjauan dari organisasi HAM dan serikat guru. Intervensi semacam ini berpotensi melanggar prinsip non-penahanan, memunculkan trauma, dan menimbulkan stigma jangka panjang pada anak. Pendekatan korektif haruslah berbasis bukti dan trauma-informed.

Solusi konkret: Hentikan sementara pengiriman massal ke fasilitas militer sampai audit hukum dan evaluasi dampak psikologis dilakukan. Ganti dengan program rehabilitasi berbasis komunitas: konseling intensif, program mentoring, keterlibatan keluarga, dan pelatihan keterampilan sosial. 2. Larangan Studi Tur & Dampak Ekonomi

Larangan studi tur berbayar yang diberlakukan sebagai bagian kebijakan Gapura Panca Waluya dipandang merugikan sektor pariwisata pendidikan dan praktik sekolah yang menggunakan studi tur sebagai sarana pembelajaran lapangan. Kritik muncul dari pelaku pariwisata dan media yang melaporkan demonstrasi penolakan.

Solusi konkret: Alih-alih larangan total, regulasi studi tur: izinkan studi tur sebagai praktik pembelajaran dengan standar etika, transparansi biaya, dan keterlibatan komunitas lokal. Buat katalog penyelenggara terakreditasi yang memenuhi standar pendidikan dan keselamatan; berikan subsidi bagi sekolah kurang mampu agar akses belajar lapangan tetap adil. 3. Militarisasi Simbolik: Risiko Pengukuhan Otoritarianisme Pendidikan

Menggunakan fasilitas militer untuk “penutupan pendidikan” dan pendekatan disiplin ketat memberi kesan militarisasi pendidikan. Ini bisa memperkuat budaya kepatuhan buta alih-alih membangun nilai kritis, empati, dan moral otonom.

Solusi konkret: Posisikan kegiatan di ruang sipil (balai budaya, sekolah, kampus) dan rampungkan program penguatan nilai melalui metode partisipatif—drama, debat, kegiatan komunitas—bukan parade dan inspeksi. Jika bekerja sama dengan institusi militer untuk pelatihan kepemimpinan, batasi peran mereka sebagai fasilitator non-punitif dan pastikan pengawasan sipil.4. Legal Drafting: Kekurangan Aturan Teknis dan SOP

Surat edaran tanpa SOP teknis dan pedoman operasional memberikan ruang interpretasi berbahaya. Praktik di lapangan berbeda-beda; guru menyatakan kebingungan. Itu memunculkan ketidakpastian hukum dan variabilitas pelaksanaan.

Solusi konkret: Keluarkan pedoman teknis (technical guidelines) terstandarisasi yang menjabarkan: kriteria intervensi, persetujuan tertulis orang tua, peran psikolog sekolah, protokol rujukan, mekanisme pengaduan independen, dan audit berkala.5. Kesenjangan Kapasitas Guru dan Sekolah

Implementasi pendidikan karakter memerlukan pelatihan guru, pengembangan modul pembelajaran, dan sumber belajar. Tanpa ini, program hanya menjadi slogan.

Solusi konkret: Luncurkan program pelatihan berskala (train-the-trainer) untuk guru, sertifikasi program pengajaran karakter, dan dukungan sumber daya (modul, alat penilaian). Libatkan perguruan tinggi pendidikan untuk merancang kurikulum adaptif.                                      

Berikut paket solusi praktis yang bisa langsung dioperasionalkan oleh Pemprov Jabar dalam 100 hari pertama (fase awal) dan 6–12 bulan (fase konsolidasi):1. Fase 0–100 Hari (stabilisasi dan mitigasi cepat)

  1. Moratorium Sementara: Hentikan pengiriman siswa ke fasilitas militer sampai audit HAM selesai (dilakukan oleh Komnas HAM/KPAI/TP4AJ).
  2. Penerbitan SOP Darurat: Rilis SOP sementara yang mewajibkan persetujuan orang tua, ketersediaan psikolog, dan pengaduan independen untuk semua intervensi non-kurikuler.
  3. Dialog Publik Terbuka: Adakan forum konsultasi publik (kabupaten/kota) selama 30 hari melibatkan guru, orang tua, pelaku pariwisata, dan tokoh adat untuk merevisi aturan studi tur dan kegiatan terkait.
  4. Skema Mitigasi Ekonomi: Segera bentuk bantuan darurat untuk UMKM pariwisata yang terdampak kebijakan larangan, mis. voucher program sekolah-UMKM untuk pengalaman pembelajaran lokal.
  5. Peluncuran Platform Transparansi: Buat portal online yang memuat pedoman, daftar pelaku terakreditasi, pengumuman program, dan mekanisme pengaduan.                                                                                        Rekomendasi Kebijakan Terapan (5+5 langkah implementasi). Fase 6–12 Bulan (reformasi dan evaluasi).                                        
  1. Audit Independen & Evaluasi Efektivitas: Lakukan evaluasi kuantitatif dan kualitatif terhadap program Gapura Panca Waluya: indikator SEL, angka putus sekolah, dan tingkat recidivisme perilaku bermasalah.
  2. Modul Pendidikan Karakter Terstandar: Kembangkan modul pembelajaran karakter kolaboratif yang berbasis kelas, keluarga, dan komunitas—bukan hanya program intensif sekali-kali.
  3. Program Pelatihan Guru: Jalankan program sertifikasi untuk guru pembina karakter (minimal 2.000 guru per tahun pada fase awal).
  4. Pembentukan Dewan Pengawas Sipil: Bentuk Dewan Pengawas Pendidikan Karakter yang melibatkan akademisi, guru, LSM HAM, dan perwakilan orang tua untuk memantau implementasi.
  5. Indikator dan Pelaporan Terbuka: Publikasikan hasil monitoring setiap 6 bulan dalam laporan yang dapat diakses publik.                                                                                                      7. Model Implementasi: Integrasi Nilai Lokal dan Standard Pendidikan Modern

Untuk menjaga integritas budaya Sunda sekaligus menghormati hak-hak universal, saya usulkan model integrasi sebagai berikut:

  1. Kurikulum Hybrid: Masukkan Panca Waluya sebagai learning outcomes dalam kurikulum muatan lokal, dengan rubrik penilaian jelas dan adaptasi lokal (mis. kegiatan seni Sunda, kepedulian lingkungan ala Tri Tangtu di Buana).
  2. Pedagogi Partisipatif: Gunakan metode project-based learning (PjBL) yang menghubungkan nilai lokal dengan proyek nyata—mis. revitalisasi sungai, program pangan lokal—hingga siswa menunjukkan cageur dan singer lewat aksi nyata.
  3. Komunitas sebagai Mitra: Libatkan tokoh adat, pesantren, organisasi pemuda, dan industri pariwisata sebagai mitra pembelajaran agar program memberikan manfaat ekonomi dan sosial bagi komunitas.
  4. Pengukuran Berbasis Bukti: Terapkan instrument penilaian SEL (validated scales) untuk mengukur perkembangan karakter, bukan sekadar observasi subyektif.                                                                              8. Menjawab Keprihatinan Publik: Transparansi dan Akuntabilitas

Keterbukaan informasi adalah obat terbaik untuk meredakan konflik. Pemprov perlu segera melakukan hal-hal berikut:

  • Menerbitkan naskah lengkap surat edaran, peraturan pelaksana, dan dokumen terkait Gapura Panca Waluya secara publik.
  • Menyediakan data anggaran yang dialokasikan untuk program ini — agar masyarakat tahu berapa dana publik yang dipakai, untuk apa, dan siapa penerimanya.
  • Membuka kanal pengaduan yang direspons dalam jangka waktu tertentu (mis. 14 hari kerja) oleh unit independen.

Dengan langkah-langkah ini, klaim efektivitas dan kejujuran tujuan akan memperoleh kredibilitas.                              9. Risiko Politik dan Strategi Komunikasi

Setiap kebijakan besar bersinggungan dengan politik lokal. Strategi komunikasi yang buruk memperburuk resistensi. Rekomendasi komunikasi:

  1. Narasi yang Jujur: Terima kekurangan, akui kontroversi, dan jelaskan rencana mitigasi. Publik lebih menghargai pemerintahan yang transparan.
  2. Hadirkan Bukti Awal: Tampilkan pilot program yang sukses dengan data, bukan hanya retorika.
  3. Gunakan Bahasa Inklusif: Hindari bahasa yang memosisikan program sebagai “koreksi moral” yang menghakimi; gunakan bahasa “pengembangan potensi”.
  4. Libatkan Influencer Lokal: Tokoh pendidikan, ulama, budayawan, dan kepala desa sebagai duta program agar pesan tersampaikan ke basis masyarakat.                                                                                                         10. Penutup — Dari Retorika ke Praktik Berbukti

Gapura Panca Waluya berisi gagasan yang berharga: pembentukan karakter, penghormatan pada nilai lokal, dan penguatan identitas budaya. Namun transformasi gagasan menjadi kebijakan publik yang efektif memerlukan disiplin tata kelola: dasar hukum jelas, bukti efektivitas, perlindungan hak-hak anak, mitigasi dampak ekonomi, dan pelibatan pemangku kepentingan.

Panggilan saya kepada Gubernur Dedi Mulyadi dan timnya: jangan biarkan simbol-simbol budaya dan semangat besar kehilangan kredibilitas karena masalah teknis dan tata kelola. Lakukan audit, buka dialog, lindungi anak, dan investasikan pada kapasitas guru serta mekanisme evaluasi. Jika dilaksanakan dengan benar—menggabungkan kearifan lokal, bukti ilmiah, dan prinsip HAM—Panca Waluya bisa menjadi model pendidikan karakter yang dikagumi, bukan sekadar menu kontroversial yang memecah publik.

Semoga analisis ini membantu menyuburkan diskursus publik yang sehat dan solutif. wilujeng digawean, pak KDM gubernur Jawa Barat. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Profil Asep Rohmandar : Presiden Masyarakat Peneliti Mandiri Sunda Nusantara

Visi dan Misi Asep Rohmandar sebagai penulis dan peneliti

Prolog Buku Komunikasi Pendidikan Yang Efektif? By Asep Rohmandar