PARADOKS PENA DAN PROFIT : Kumpulan Puisi tentang Dilema Publikasi Ilmiah Modern
PARADOKS PENA DAN PROFIT :
Kumpulan Puisi tentang Dilema Publikasi Ilmiah Modern
Oleh Asep Rohmandar, rasep7029@gmail.com
I. PENGETAHUAN YANG TERKUNCI
Di menara gading yang megah berdiri,
Tersimpan harta tak ternilai,
Pengetahuan—buah pikir peneliti,
Namun pintunya terkunci, kuncinya dibeli.
Kami menulis tanpa bayaran,
Mereview tanpa upah sepeser pun,
Lalu mereka jual dengan harga selangit,
Kepada kami yang menciptakannya sendiri.
Ironi yang pahit:
Pencipta tak bisa mengakses ciptaannya,
Kecuali ia membayar kembali,
Pada mereka yang tak menulis sepatah kata pun.
Miliaran dollar mengalir deras,
Dari hasil jerih payah pikiran kami,
Sementara kami hanya dapat sertifikat,
Dan angka di daftar publikasi.
Paradoks pertama:
Dana publik membiayai penelitian,
Namun publik tak bisa membacanya,
Kecuali mereka membayar lagi—
Dua kali untuk satu pengetahuan.
II. SANG PENJAGA GERBANG
Mereka bukan pencipta,
Bukan penulis, bukan peneliti,
Namun mereka yang menggenggam kekuasaan—
Penjaga gerbang pengetahuan dunia.
Journal Impact Factor jadi tahta,
Q1, Q2—label yang menentukan nasib,
"Publish or perish," bisik ancaman,
Memaksa kami tunduk pada sistem yang timpang.
Kami berlomba mengejar angka,
Melupakan esensi: berbagi pengetahuan,
Terjebak dalam permainan prestige,
Yang diciptakan oleh mereka yang menjual akses.
Peer review—kerja cuma-cuma,
Editorial board—tanpa honorarium,
Namun margin keuntungan 40%,
Melebihi raksasa teknologi Silicon Valley.
Paradoks kedua:
Semakin bergengsi jurnalnya,
Semakin tinggi temboknya,
Semakin eksklusif pengetahuannya,
Semakin jauh dari misi sains: universalitas.
III. PENULIS TANPA HAK
Aku menulis dengan darah dan keringat,
Bertahun-tahun meneliti, menganalisis,
Lalu mereka minta: "Tanda tangani di sini,"
Copyright Transfer Agreement —perjanjian penyerahan diri.
Dengan sekali coret pena,
Aku kehilangan kepemilikan atas karyaku,
Tidak bisa membagi dengan mahasiswaku,
Tidak bisa taruh di website-ku,
Tidak bisa gunakan dalam bukuku sendiri.
Mereka yang tidak menulis sepatah kata,
Kini pemilik mutlak pemikiranku,
Dan jika aku ingin baca kembali,
Aku harus bayar USD 40 untuk 24 jam akses.
Absurd!
Sang pencipta diminta membeli ciptaannya,
Sang penulis dilarang membagi tulisannya,
Sang peneliti tak boleh menyebarkan temuannya.
Paradoks ketiga:
Mereka bilang ini untuk 'diseminasi pengetahuan',
Namun yang mereka lakukan adalah monopoli,
Mereka bicara tentang 'kemajuan sains',
Namun yang mereka kejar adalah profit maksimal.
IV. OPEN ACCESS: PARADOKS BARU
Lalu datanglah sang penyelamat—
Open Access, dijanjikan kebebasan,
"Pengetahuan untuk semua!" teriak mereka,
Namun tunggu... ada harga yang harus dibayar.
Article Processing Charge—nama barunya,
USD 3,000, USD 5,000, bahkan USD 11,000,
"Untuk kebebasan akses," kata mereka,
Namun siapa yang bisa bayar?
Universitas kaya di negara maju—bisa,
Lembaga penelitian dengan dana besar—bisa,
Namun peneliti muda dari Indonesia?
Mahasiswa doktoral dari Afrika?
Post-doc dari Amerika Latin?
Kami tersingkir lagi,
Kali ini bukan dari akses membaca,
Tapi dari hak untuk dipublikasikan.
Paradoks keempat:
Open Access seharusnya demokratisasi,
Namun menciptakan aristokrasi baru—
Aristokrasi mereka yang mampu membayar,
Sementara suara Global South terbungkam.
V. SISTEM EVALUASI YANG MENJERAT
"Berapa publikasi Anda di Scopus Q1?"
"Berapa impact factor jurnal Anda?"
"Berapa h-index Anda tahun ini?"
Angka, angka, dan angka lagi,
Melupakan kualitas, melupakan dampak riil,
Melupakan apakah penelitian ini mengubah kehidupan,
Yang penting: ada di jurnal bergengsi.
Dosen muda dipaksa kejar setoran,
Bukan untuk berbagi pengetahuan,
Tapi untuk bertahan hidup di akademia,
Publish or perish—pilihan yang bukan pilihan.
Etika penelitian dilanggar,
Data difabrikasi, plagiarisme merebak,
Bukan karena kami tidak bermoral,
Tapi karena sistem memaksa kami mengejar kuantitas,
Dalam waktu yang tak manusiawi.
Dan siapa yang diuntungkan?
Publisher yang sama—
Yang menciptakan metrik,
Yang menjual database,
Yang mengontrol reputasi.
Paradoks kelima:
Sistem evaluasi yang seharusnya mendorong kualitas,
Justru mendorong ke arah permainan angka,
Metrik yang seharusnya alat ukur,
Menjadi tujuan itu sendiri.
VI. ILMU YANG TERFRAGMENTASI
Pengetahuan tercerai-berai,
Di balik paywall yang berbeda-beda,
Untuk baca sebuah kajian literatur,
Butuh akses ke 50 jurnal berbeda,
Butuh USD 2,000 hanya untuk membaca.
Peneliti di Indonesia baca setengah,
Karena universitasnya hanya subscribe sebagian,
Peneliti di Ghana lebih sedikit lagi,
Sementara di Harvard—mereka punya semuanya.
Bagaimana sains bisa maju,
Jika pondasinya tidak sama?
Bagaimana kolaborasi global bisa terjalin,
Jika akses ke pengetahuan tidak setara?
Kami menulis dalam bahasa Inggris,
Melupakan bahasa ibu kami,
Agar "internasional," kata mereka,
Namun yang kami korbankan adalah identitas,
Dan akses masyarakat lokal pada penelitian kami.
Paradoks keenam:
Sains yang seharusnya universal dan terbuka,
Terpecah oleh batas ekonomi dan bahasa,
Kolaborasi yang diagung-agungkan,
Terhambat oleh ketidaksetaraan akses.
VII. PREDATOR DI TENGAH KRISIS
Lalu muncullah mereka—
Predatory publishers, serigala berbulu domba,
"Kami open access! Kami murah! Kami cepat!"
Tanpa peer review, tanpa kualitas,
Namun dengan sertifikat publikasi.
Peneliti desperate, tertekan deadline,
Jatuh ke perangkap mereka,
Reputasi hancur, karir berakhir,
Sementara sang predator lari dengan uang.
Dan siapa yang menciptakan iklim ini?
Sistem yang menuntut publikasi tanpa henti,
Sistem yang lebih menghargai kuantitas,
Sistem yang membuat peneliti desperate.
Paradoks ketujuh:
Upaya mendemokratisasi publikasi,
Menciptakan ruang bagi eksploitasi baru,
Open access sebagai solusi,
Menjadi masalah baru di tangan yang salah.
VIII. SUARA YANG TERBUNGKAM
Riset tentang penyakit tropis—diabaikan,
Karena tidak "sexy" untuk jurnal Nature,
Penelitian tentang pendidikan lokal—ditolak,
Karena "tidak cukup internasional,"
Pengetahuan indigenous—dianggap bukan sains,
Karena tidak fit dengan metodologi Barat.
Suara-suara dari Global South,
Terpinggirkan dalam diskursus global,
Bukan karena tidak berkualitas,
Tapi karena tidak fit dengan selera pasar— Pasar yang dikontrol oleh publisher Barat.
Kolonialisme baru ini lebih halus,
Tidak dengan senjata, tapi dengan standar,
Tidak dengan paksa, tapi dengan prestige,
Tidak dengan eksplisit, tapi dengan impact factor.
Paradoks kedelapan:
Sains yang mengklaim objektif dan universal,
Terjebak dalam bias geografis dan kultural,
Keberagaman yang dipuji di misi statement,
Terpasung dalam praktik publikasi yang homogen.
IX. REVOLUSI YANG TERTUNDA
Kini kami tahu ada cara lain,
Preprint servers, institutional repositories,
Diamond open access, community-owned journals,
Alternatif yang lebih adil, lebih terbuka.
Namun inertia sistem begitu kuat,
"Ini tidak di Scopus," kata komite promosi,
"Ini tidak punya impact factor," kata dekan,
"Ini tidak prestisius," kata rekan sejawat.
Kami terperangkap antara idealisme dan realitas,
Antara apa yang benar dan apa yang survive,
Antara misi sains dan permintaan institusi,
Antara revolusi dan resignation.
Berapa lama lagi?
Berapa generasi peneliti harus dikorbankan?
Berapa miliar dollar harus mengalir?
Sebelum kita berani berkata: CUKUP!
Paradoks kesembilan:
Kita tahu solusinya, kita punya alternatifnya,
Namun sistem yang ada begitu entrenched,
Perubahan yang diperlukan begitu radikal,
Sementara kita semua terjebak dalam survival mode.
X. HARAPAN DI TENGAH PARADOKS
Namun di tengah kegelapan ini,
Ada secercah cahaya—
Peneliti yang berani menolak transfer copyright,
Universitas yang membangun repository sendiri,
Konsorsium yang bersatu menolak harga eksploitatif.
Plan S di Eropa berteriak: Cukup!
Diamond OA di Amerika Latin membuktikan: Bisa!
Preprint revolution* menunjukkan: Ada cara lain!
Author rights movement mengingatkan: Ini karya kita!
Perlahan tapi pasti,
Paradigma mulai bergeser,
Dari publikasi sebagai komoditas,
Kembali ke esensinya: berbagi pengetahuan.
Suara-suara kritis semakin lantang,
Institusi mulai bertanya: Why are we paying this much?
Peneliti mulai sadar: We have the power.
Karena tanpa kita, tanpa karya kita,
Mereka tidak punya apa-apa untuk dijual.
Paradoks kesepuluh—dan harapan kita:
Sistem yang begitu kuat dan mengakar,
Sebenarnya bergantung sepenuhnya pada kita,
Kita yang menulis, kita yang review,
Kita yang punya kekuatan mengubahnya.
EPILOG: MANIFESTO UNTUK PERUBAHAN
Sudah waktunya kita berdiri,
Bukan sebagai penulis individual,
Tapi sebagai komunitas global peneliti,
Yang bersatu menuntut keadilan.
Kami menuntut:
Hak atas karya kami,
Kompensasi yang adil,
Akses terbuka untuk semua,
Sistem evaluasi yang manusiawi,
Penghargaan untuk kontribusi riil,
Kesetaraan dalam publikasi global.
Kami menolak:
Profit ekstraktif di atas pengetahuan,
Monopoli yang mencekik inovasi,
Metrik yang mereduksi kita jadi angka,
Sistem yang mengistimewakan yang kaya,
Kolonialisme intelektual yang halus.
Kami membangun:
Infrastruktur alternatif yang terbuka,
Komunitas yang saling mendukung,
Standar yang adil dan transparan,
Ekosistem yang sustainable,
Masa depan di mana pengetahuan adalah public good.
Karena pada akhirnya,
Paradoks ini bukan takdir,
Tapi pilihan yang kita buat,
Atau gagal membuat.
Pengetahuan adalah cahaya,
Dan cahaya seharusnya tidak dijual,
Tidak dimonopoli,
Tidak dibatasi.
Mari kita bersama,
Merobohkan tembok paradoks ini,
Dan membangun sistem publikasi,
Yang benar-benar melayani sains,
Yang benar-benar melayani kemanusiaan.
Untuk setiap peneliti yang pernah frustasi dengan sistem,
Untuk setiap penulis yang kehilangan hak atas karyanya,
Untuk setiap mahasiswa yang terhalang paywall,
Untuk setiap negara berkembang yang terpinggirkan,
Untuk masa depan sains yang lebih adil—
Puisi ini adalah seruan.
Paradoks ini adalah panggilan untuk bertindak.
Perubahan dimulai dari kesadaran.
Dan kesadaran dimulai dari kita.
"In the temple of knowledge,
We are not the servants of publishers,
But the creators, the custodians,
And the rightful beneficiaries.
It's time to reclaim what is ours."
© Hak Cipta: Milik Bersama Komunitas Akademik Global
Lisensi: Creative Commons BY 4.0
Silakan dibagikan, diterjemahkan, didistribusikan tanpa batas—
Karena pengetahuan, termasuk puisi tentang paradoks pengetahuan,
Harus bebas dan terbuka untuk semua. Sundaland, 18 Oktober 2025
═══════════════════════════
Komentar
Posting Komentar