Catatan Refleksi Riset 2025 : Objektivitas Referensi AI Di Antara "Hantu" dan Realitas Memori Digital

Catatan Refleksi Riset 2025 : Objektivitas Referensi AI Di Antara "Hantu" dan Realitas Memori Digital
                                                                    Oleh : Asep Rohmandar                                    
I. Pendahuluan

Kasus pengunduran diri Prof. Paul Yip Siu-fai dari University of Hong Kong karena "referensi palsu" hasil AI telah memicu perdebatan akademik yang lebih dalam. Namun, sebagai kreator teks yang aktif menggunakan AI, saya menemukan bahwa narasi "referensi palsu" mungkin terlalu sederhana untuk menggambarkan kompleksitas sebenarnya dari fenomena ini.

II. Pengalaman Pribadi: Ketika AI "Mengingat" Tulisan Saya

Dalam praktik sehari-hari menggunakan AI untuk menulis, saya mengalami fenomena yang mengejutkan: makalah yang pernah saya upload ke AI untuk keperluan editing atau brainstorming, kemudian muncul kembali sebagai referensi dalam tulisan saya berikutnya—tanpa saya minta, dan tanpa pernah saya hapus secara eksplisit.

Ini bukan kebetulan. Ini adalah karakteristik sistemik dari cara AI memproses dan "mengingat" informasi dalam konteks percakapan yang berkelanjutan.

Apa yang Sebenarnya Terjadi?

Ketika kita mengupload dokumen ke AI:
1. AI memproses dan "menyimpan" informasi tersebut dalam konteks sesi
2. Informasi ini dapat bertahan melewati berbagai percakapan
3. Ketika AI diminta menghasilkan referensi, ia dapat mengutip dokumen yang pernah kita upload
4. Referensi ini muncul dengan format akademik yang sempurna—lengkap dengan judul, penulis, dan tahun

Pertanyaan krusial: Apakah ini "referensi palsu" atau "referensi yang belum terpublikasi"?

III. Mempertanyakan Label "Referensi Palsu"

1. Definisi "Palsu" yang Problematis

Dalam kasus Prof. Yip, 20 dari 61 referensi dianggap "palsu" karena tidak dapat diverifikasi dalam database akademik. Namun, apakah ketidakmampuan memverifikasi sama dengan kepalsuan?

Tiga kemungkinan yang lebih objektif:

- Referensi adalah dokumen kerja (working paper) yang pernah diupload ke AI
- Referensi adalah draft yang belum dipublikasikan namun nyata adanya
- Referensi adalah publikasi dengan akses terbatas  yang tidak terindeks dalam database umum

2. Bias Verifikasi dalam Era Digital

Sistem verifikasi akademik tradisional mengandalkan:
- Database seperti Scopus, Web of Science, Google Scholar
- ISBN/ISSN untuk buku dan jurnal
- DOI untuk artikel digital

Namun, tidak semua karya ilmiah terdaftar dalam sistem ini. Apakah karya yang tidak terindeks otomatis menjadi "tidak ada"?

IV. Perspektif Alternatif: AI sebagai Arsip Personal

A. Fenomena "Memori Persisten"

AI modern, terutama yang memiliki fitur konteks panjang atau memori, berfungsi seperti arsip personal digital. Dokumen yang kita upload tidak sepenuhnya "hilang" setelah sesi berakhir.

Dari sudut pandang kreator:
- AI menyimpan jejak digital  dari setiap dokumen yang pernah diproses
- Tidak ada protokol "penghapusan total" yang benar-benar menghilangkan dokumen dari memori AI
- AI tidak membedakan antara sumber yang dipublikasikan dan yang tidak

B. Implikasi untuk Integritas Akademik

Ini menciptakan  dilema etis baru :

1. Jika saya mengupload draft makalah saya ke AI , lalu AI mengutipnya dalam tulisan saya selanjutnya, apakah itu plagiarisme diri (self-plagiarism)?

2. Jika AI mengutip dokumen kolaborator saya  yang pernah diupload dalam sesi bersama, apakah itu referensi yang sah?

3. Jika AI mengutip publikasi yang memang ada tetapi sulit diverifikasi karena akses terbatas, apakah peneliti harus menerimanya atau menolaknya?

V. Kritik terhadap Respons Institusional

A. Kasus Prof. Yip: Korban Sistem atau Pelanggar Etika?

Respons University of Hong Kong dan Springer Nature menunjukkan pendekatan yang reaktif ketimbang reflektif :

- Penarikan artikel tanpa investigasi mendalam tentang apakah referensi benar-benar "palsu"
- Pengunduran diri paksa  yang mengasumsikan kesalahan tanpa membedakan antara kelalaian dan keterbatasan sistem
- Pelatihan wajib tentang AI  yang mungkin tidak mengatasi akar masalah: ketidakjelasan tentang apa yang dianggap "referensi valid" di era AI

B. Pertanyaan yang Belum Terjawab

1. Apakah investigasi dilakukan untuk menelusuri apakah 20 referensi tersebut benar-benar tidak ada, atau hanya tidak ditemukan dalam database standar?

2. Apakah mahasiswa doktoral yang terlibat pernah mengupload dokumen-dokumen tersebut ke AI  dalam proses penelitian mereka?

3. Apakah ada standar baru yang diperlukan  untuk membedakan antara "AI hallucination" dan "AI citation from uploaded documents"?

VI. Menuju Objektivitas yang Lebih Baik

A. Prinsip-Prinsip yang Harus Diadopsi

1. Transparansi Penggunaan AI
- Peneliti harus mendeklarasikan penggunaan AI dalam proses penulisan
- Platform AI harus menyediakan log yang jelas tentang dokumen apa saja yang pernah diupload dan diproses

2. Protokol Verifikasi yang Diperbarui
- Tidak cukup hanya mengandalkan database akademik tradisional
- Perlu sistem verifikasi yang mengakui berbagai bentuk publikasi, termasuk working papers, preprints, dan grey literature

3. Kategori Referensi Baru
- "Referensi AI-assisted": dokumen yang dikutip berdasarkan memori AI
- "Referensi unpublished but verified": dokumen yang belum dipublikasikan tapi dapat dikonfirmasi keberadaannya
- "AI hallucination" : referensi yang benar-benar tidak pernah ada

4. Hak untuk Klarifikasi
- Peneliti yang dituduh menggunakan "referensi palsu" harus diberi kesempatan untuk membuktikan keberadaan dokumen asli
- Institusi harus melakukan investigasi forensik digital  sebelum menjatuhkan sanksi

VII. Refleksi Personal: Tanggung Jawab Kreator Teks AI

Sebagai pengguna aktif AI untuk produksi teks, saya menyadari bahwa:

1. AI adalah alat, bukan pengganti verifikasi manusia 
   - Setiap referensi yang dihasilkan AI harus saya cross-check secara manual
   - Saya tidak boleh menganggap output AI sebagai kebenaran absolut

2. Memori AI adalah "kotak hitam" yang belum sepenuhnya transparan
   - Saya tidak selalu tahu dokumen apa saja yang "diingat" oleh AI
   - Saya harus proaktif menanyakan kepada AI: "Dari mana referensi ini berasal?"

3. Etika penggunaan AI adalah tanggung jawab bersama
   - Pengembang AI harus membuat sistem yang lebih transparan
   - Pengguna AI harus lebih kritis dan verifikatif
   - Institusi akademik harus mengembangkan pedoman yang realistis, bukan reaktif

VIII. Kesimpulan: Melampaui Dikotomi "Benar-Salah"

Kasus Prof. Yip seharusnya bukan hanya tentang "profesor yang menggunakan referensi palsu", tetapi tentang ketidaksiapan sistem akademik dalam menghadapi kompleksitas AI.

Objektivitas menuntut kita untuk:
- Tidak terburu-buru melabeli  referensi sebagai "palsu" tanpa investigasi menyeluruh
- Mengakui bahwa AI memiliki memori yang dapat mengutip dokumen yang pernah diupload
- Mengembangkan standar baru yang mengakui realitas bahwa AI telah mengubah cara kita menulis, mereferensi, dan memverifikasi informasi

Pertanyaan terakhir yang harus kita renungkan:
Jika AI dapat "mengingat" setiap dokumen yang pernah diupload dan mengutipnya sebagai referensi, apakah kita perlu mendefinisikan ulang apa yang dimaksud dengan "referensi yang valid" dalam era digital?


Catatan  Argumen Penulis:
Artikel ini ditulis berdasarkan pengalaman pribadi sebagai kreator teks yang menggunakan AI secara intensif. Fenomena yang saya alami—di mana makalah yang pernah saya upload muncul kembali sebagai referensi—adalah bukti empiris bahwa isu "referensi AI" jauh lebih kompleks daripada sekadar "palsu" atau "benar". 

"Objektivitas sejati mengharuskan kita untuk memahami bagaimana AI bekerja, bukan hanya bagaimana AI seharusnya bekerja menurut standar akademik lama".                                                                  Bandung Jawa Barat, 25 Desember 2025

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Profil Asep Rohmandar : Presiden Masyarakat Peneliti Mandiri Sunda Nusantara

Visi dan Misi Asep Rohmandar sebagai penulis dan peneliti

Prolog Buku Komunikasi Pendidikan Yang Efektif? By Asep Rohmandar