Jati Diri Sunda: Ti Sundaland Nepi ka Masa Depan

Jati Diri Sunda: Ti Sundaland Nepi ka Masa Depan

Pengantar: Melacak Jejak dari Dasar Laut

Identitas bukanlah suatu entitas yang statis, melainkan sebuah sungai yang mengalir dari hulu ke hilir, membawa serta sedimentasi sejarah, budaya, dan nilai-nilai yang dibentuk oleh ruang dan waktu. Bagi masyarakat Sunda, sungai peradaban ini bermula dari sebuah tempat yang hampir mistis dan ilmiah sekaligus: Sundaland. Benua yang kini tenggelam di dasar Laut Jawa dan Selat Malaka ini bukan hanya sekadar temuan geologis, tetapi merupakan memory palace kolektif yang menjadi hulu dari narasi "Jati Diri Sunda". Antologi "Jati Diri Sunda: Ti Sundaland Nepi ka Masa Depan" hadir sebagai upaya komprehensif untuk merangkai benang merah yang panjang itu, dari masa prasejarah yang gelap hingga tantangan cahaya masa depan.

Bagian I: Sundaland sebagai Fondasi Kosmologis dan Genetik

Esai-esai pembuka dalam antologi ini kemungkinan besar akan mengeksplorasi Sundaland dari dua perspektif: sains dan mitos. Secara geologis, Sundaland adalah paparan benua yang menghubungkan Pulau Jawa, Sumatra, Kalimantan, dan semenanjung Asia pada zaman es, sebelum pencairan es menenggelamkannya sekitar 10.000 tahun yang lalu. Temuan arkeologis dan genetika membuktikan bahwa wilayah ini adalah rumah bagi peradaban awal nenek moyang Austronesia.

Dalam konteks budaya Sunda, tenggelamnya Sundaland ini bisa dibaca sebagai trauma budaya purba yang terekam dalam memori kolektif. Bisa jadi, bencana besar inilah yang membentuk karakter resilien (ketangguhan) orang Sunda. Mereka yang selamat dan bermigrasi ke dataran tinggi Priangan membawa serta sebuah pemahaman tentang ketidakpastian dunia dan pentingnya beradaptasi. Dari sini, fondasi "jati diri" mulai terbentuk: sebuah komunitas yang akrab dengan perubahan drastis, namun berpegang teguh pada kelangsungan hidup. Sundaland, dengan demikian, adalah simbol dari asal-usul dan daya hidup.

Bagian II: Pilar-Pilar Jati Diri Sunda di Tatar Priangan

Setelah eksodus dari Sundaland, masyarakat Sunda membangun peradabannya di Tatar Priangan. Bagian ini akan menguraikan pilar-pilar utama yang menjadi penopang jati diri Sunda.

1. Bahasa dan Sastra (Sastra Lisan dan Tulisan): Bahasa Sunda, dengan tingkatan halus (lemes), sedang (loma), dan kasar (kasar), merefleksikan masyarakat yang sangat menghargai tata krama dan hierarki sosial. Karya sastra klasik seperti "Sanghyang Siksa Kandang Karesian" dan "Amanat dari Galunggung" bukan hanya sekadar tulisan, tetapi merupakan kitab etika dan tata negara yang mengajarkan nilai-nilai kearifan (wisdom), keberanian (kawani), dan kebenaran.
2. Filosofi Hidup: Filsafat hidup orang Sunda terdalam tercermin dalam konsep "Cageur, Bageur, Bener, Pinter, tur Singer" (Sehat, Baik, Benar, Pintar, dan Cekatan). Ini adalah rumusan jati diri yang holistik, menyatukan kesehatan fisik, moralitas, intelektual, dan keterampilan praktis. Selain itu, hubungan harmonis dengan alam diwujudkan dalam konsep "Mulasara Buana" (memelihara dunia). Bagi orang Sunda, manusia bukanlah tuan atas alam, melainkan bagian darinya yang harus menjaganya.
3. Kesenian dan Kebudayaan Material: Seni yang lahir dari bumi Sunda, seperti Tari Jaipong, musik Degung, atau pupuh (tembang tradisional), memiliki dinamika yang khas—kadang lembut gemulai, kadang energik dan ritmis. Ini merepresentasikan karakter orang Sunda yang dalam kesantaiannya tersimpan vitalitas yang kuat. Demikian pula dengan arsitektur tradisional Imah Badak Heuay dan pola pertanian huma (ladang), yang menunjukkan kearifan ekologis.

Bagian III: Tantangan dan Erosi di Era Globalisasi

Antologi ini tidak akan lengkap tanpa analisis kritis tentang gempuran modernitas terhadap jati diri Sunda. Globalisasi, urbanisasi, dan revolusi digital telah menciptakan disorientasi.

1. Pergeseran Bahasa: Bahasa Sunda, khususnya tingkatan lemes (bahasa halus), semakin jarang digunakan oleh generasi muda, baik di perkotaan maupun pedesaan. Hal ini mengindikasikan pengikisan nilai-nilai kesopanan dan penghormatan.
2. Alienasi dari Alam: Lahan pertanian yang berubah menjadi perumahan dan industri memutus hubungan spiritual masyarakat dengan ibu pertiwi. Nilai-nilai "Mulasara Buana" terancam oleh tekanan ekonomi dan konsumerisme.
3. Dilema Identitas di Ruang Digital: Generasi muda Sunda hari ini hidup di dua dunia: dunia nyata yang ter-Sunda dan dunia digital yang global. Tantangannya adalah bagaimana merumuskan ulang jati diri Sunda yang autentik tanpa terkesan kuno dan tertinggal, tetapi juga tidak larut begitu saja dalam arus global.

Bagian IV: Nepi ka Masa Depan: Reinvensi dan Regenerasi

Masa depan jati diri Sunda bukanlah tentang melestarikan artefak yang beku, melainkan tentang reinvensi yang kontekstual. Antologi ini harus menawarkan jalan ke depan:

1. Pendidikan Berbasis Kearifan Lokal: Mengintegrasikan nilai-nilai "Silih Asah, Silih Asih, Silih Asuh" (saling mempertajam, saling mengasihi, saling memelihara) dan filosofi "Cageur, Bageur, Bener, Pinter" ke dalam kurikulum pendidikan formal dan informal.
2. Teknologi sebagai Media Kebudayaan Baru: Alih-alih ditakuti, ruang digital harus dimanfaatkan. Membuat aplikasi belajar bahasa Sunda, konten kreatif di media sosial yang mengangkat cerita rakyat Sunda dengan gaya kekinian, atau virtual museum Sundaland.
3. Ekonomi Kreatif Berbasis Budaya: Mengembangkan usaha kreatif yang berakar pada budaya Sunda, seperti fesyen dengan motif batik Sunda modern, kuliner tradisional yang diinovasi, atau wisata budaya yang immersif (membenamkan), bukan sekadar melihat-lihat.
4. Merebut Narasi: Generasi muda Sunda harus menjadi subjek, bukan objek, dalam pewarisan budaya. Mereka perlu didorong untuk menafsir ulang nilai-nilai Sunda dengan bahasa dan medium mereka sendiri, sehingga jati diri itu tetap relevan dan hidup.

Penutup: Sebuah Telusur yang Tak Berakhir

"Jati Diri Sunda: Ti Sundaland Nepi ka Masa Depan" pada akhirnya adalah sebuah perjalanan panjang. Dari kedalaman Sundaland yang hilang, melalui dataran tinggi Priangan yang hijau, hingga menuju masa depan yang penuh tantangan dan harapan. Jati diri Sunda adalah sebuah proses, bukan produk akhir. Ia seperti sungai Citarum yang mengalir dari hulu Gunung Wayang; airnya mungkin berubah, bertemu dengan sampah dan limbah modernitas, tetapi sumber mata airnya dari kaki gunung tetap jernih. Tugas kita sekarang adalah membersihkan sungai itu, menjaga agar mata air kearifan Sunda dari masa lalu yang dalam (Sundaland) tetap dapat mengaliri dan menghidupi generasi-generasi mendatang, sehingga identitas itu tidak tenggelam untuk kedua kalinya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Profil Asep Rohmandar : Presiden Masyarakat Peneliti Mandiri Sunda Nusantara

Visi dan Misi Asep Rohmandar sebagai penulis dan peneliti

Prolog Buku Komunikasi Pendidikan Yang Efektif? By Asep Rohmandar