MISI DIPLOMATIK KESULTANAN BANTEN KE INGGRIS TAHUN 1682

MISI DIPLOMATIK KESULTANAN BANTEN KE INGGRIS TAHUN 1682

I. Pendahuluan

Tahun 1682 menandai salah satu peristiwa diplomatik paling monumental dalam sejarah Kesultanan Banten, ketika dua duta besar kesultanan melakukan perjalanan bersejarah ke Kerajaan Inggris. Misi diplomatik ini bukan sekadar kunjungan kenegaraan biasa, melainkan representasi dari ambisi geopolitik Sultan Ageng Tirtayasa dalam menghadapi dominasi VOC Belanda di Nusantara. Perjalanan yang memakan waktu lima bulan melewati Tanjung Harapan ini menjadi bukti nyata bahwa kesultanan Islam di Nusantara telah memiliki jaringan diplomasi internasional yang canggih pada abad ke-17.

II. Latar Belakang Kesultanan Banten di Bawah Sultan Ageng Tirtayasa

Kesultanan Banten mencapai masa keemasannya di bawah kepemimpinan Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1683). Sultan yang bernama lengkap Sulthan Maulana Syarif Abdul-Fattah al-Mafaqih ini naik takhta pada usia 20 tahun menggantikan kakeknya, Sultan Abdul Mafakhir. Pada masa pemerintahannya, Banten mengalami transformasi besar-besaran dalam berbagai bidang.

Di bidang ekonomi, Sultan Ageng berhasil mengembangkan sistem irigasi yang modern untuk meningkatkan produksi pertanian. Pelabuhan Banten dikembangkan menjadi pelabuhan internasional yang ramai, menarik pedagang dari berbagai negara seperti Inggris, Prancis, Denmark, dan Portugis. Strategi ini merupakan taktik cerdas untuk memperkecil pengaruh VOC Belanda dengan mengadu domba kekuatan-kekuatan Eropa yang saling bersaing.

Di bidang pertahanan, Sultan Ageng membangun kekuatan militer yang disegani dengan mendatangkan guru-guru agama sekaligus ahli strategi perang dari Arab, Aceh, dan Makassar. Kesultanan Banten di bawah kepemimpinannya berhasil memperluas wilayah kekuasaan hingga mencakup sisa Kerajaan Sunda yang tidak dikuasai Mataram serta wilayah Lampung.

Dalam politik luar negeri, Sultan Ageng menjalin hubungan diplomatik dengan berbagai kekuatan besar dunia Islam seperti Turki Utsmani, Aceh, Makassar, dan negara-negara Arab. Dia bahkan mengirim putranya ke Mekah dengan perintah melanjutkan ke Turki untuk menjalin hubungan dengan kekhalifahan Islam terkuat saat itu.

III. Hubungan Banten-Inggris: Konteks Sejarah

Hubungan diplomatik antara Kesultanan Banten dan Kerajaan Inggris telah terjalin sejak lama. Pada tahun 1625, Sultan Abdul Mafakhir mengirimkan surat ucapan selamat kepada Raja Charles I atas penobatannya, sekaligus memberikan izin kepada East India Company untuk membuka kantor dagang di Banten. Banten kemudian menjadi pusat kegiatan perdagangan Inggris di Nusantara hingga tahun 1682.

Kedekatan ini bukan tanpa alasan strategis. Inggris dan Belanda adalah rival berat dalam perdagangan dan politik luar negeri di Asia. Sultan Ageng Tirtayasa memanfaatkan rivalitas ini untuk mengimbangi tekanan VOC yang terus memblokade pelabuhan Banten dan berusaha memonopoli perdagangan rempah-rempah.

IV. Perjalanan Historis ke London

Menurut catatan sejarawan Mrs. Fruin Mees dalam bukunya *Geschiedenis van Java* (1923) dan *The Diary of John Evelyn* (1620-1706), misi diplomatik ini dimulai pada 10 November 1681. Rombongan berjumlah 33 orang dipimpin oleh dua duta besar utama:

1. **Kyai Ngabehi Naya Wipraya** (dalam catatan Inggris ditulis sebagai Kaia Nebbe Nia Via Praya)
2. **Kyai Ngabehi Jaya Sedana**

Kedua duta besar ini dipilih dengan cermat. Mereka adalah bangsawan tinggi yang telah menunaikan ibadah haji ke Mekah, sehingga mengenakan sorban dengan gaya Turki dan Arab. Pemilihan ini menunjukkan bahwa Sultan Ageng ingin menampilkan Banten sebagai kesultanan Islam yang kuat dan terhubung dengan pusat-pusat peradaban Islam dunia.

Rombongan menumpang kapal dagang milik East India Company bernama *New London*. Perjalanan laut sejauh ini sangat berbahaya pada masa itu, dengan risiko badai, bajak laut, dan penyakit. Namun kapal berhasil berlayar dengan selamat melewati Tanjung Harapan, Afrika Selatan, dan tiba di London pada 27 April 1682 setelah lima bulan perjalanan.

Tragedi menimpa rombongan ketika seorang anggota yang menjadi juru masak meninggal dunia dan dimakamkan di pemakaman Saint James Park, berseberangan dengan Hyde Park. Pemakaman ini menjadi bukti keberadaan orang Nusantara di London pada abad ke-17.

V. Diplomasi di Istana Windsor

Kedatangan delegasi Banten disambut dengan kehormatan penuh oleh Raja Charles II. Rombongan menjadi tamu kehormatan di Istana Windsor selama tiga setengah bulan. Dalam periode ini, mereka diterima resmi dua kali oleh raja dengan upacara kenegaraan yang megah.

John Evelyn mencatat dalam diarinya bahwa pada 31 Oktober 1682, duta besar Banten diundang ke kediaman resmi Lord George Berkeley (yang kemudian bergelar Earl). Pada saat yang sama, London juga menerima delegasi dari Rusia, Maroko, dan India, menunjukkan bahwa Banten diperlakukan setara dengan kekuatan-kekuatan besar dunia lainnya.

Rombongan membawa persembahan diplomatik yang mencerminkan kekayaan Banten:
- 200 karung lada (komoditas utama Banten)
- Perhiasan permata dan intan
- Emas berukir burung merak (menunjukkan keahlian seni Banten)

Menurut catatan, salah satu tujuan utama misi ini adalah pembelian senjata api modern untuk memperkuat pertahanan Banten melawan VOC. Sultan Haji, putra Sultan Ageng yang kemudian berkhianat, dalam suratnya tahun 1681 kepada Raja Charles II bahkan menyebutkan keinginan membeli 4.000 pucuk senapan dan 5.000 butir peluru.

Sebagai tanda penghargaan tertinggi, Raja Charles II menganugerahkan gelar kehormatan "Knight" atau "Sir" kepada kedua duta besar, lengkap dengan pedang kehormatan. Kyai Ngabehi Naya Wipraya diberi gelar Sir Abdul, sementara Kyai Ngabehi Jaya Sedana diberi gelar Sir Achmet. Penganugerahan gelar bangsawan Inggris ini merupakan prestise luar biasa yang menunjukkan Banten diakui sebagai mitra setara oleh salah satu kekuatan Eropa terkuat.

Selama tinggal di London, rombongan juga diajak berkeliling kota, mengunjungi pembesar-pembesar kerajaan dan pejabat British East India Company. Mereka menjadi sensasi di kalangan aristokrat Inggris, dan potret mereka diabadikan dan kini tersimpan di Museum Mankind, London.

VI. Kepulangan dan Tragedi

Pada 5 Juli 1682, kedua duta besar meminta izin kepada Raja Charles II untuk kembali ke Banten. Mereka naik kapal bernama *Kemphorne* dari Pelabuhan Chatham dan mulai berlayar pada 23 Agustus 1682.

Setelah perjalanan lima bulan, rombongan tiba di Banten pada 20 Januari 1683. Namun yang mereka temukan adalah kehancuran. Kesultanan yang mereka tinggalkan dalam keadaan jaya telah berubah menjadi medan perang saudara yang brutal.

VII. Konflik Ayah-Anak: Kehancuran Kejayaan Banten

Selama delegasi berada di Inggris, konflik internal Kesultanan Banten mencapai puncaknya. Perselisihan antara Sultan Ageng Tirtayasa dan putranya, Sultan Haji (Sultan Abu Nashar Abdul Qahar), yang telah muncul sejak akhir 1681, berkembang menjadi perang saudara yang mengerikan.

Sultan Haji, yang pro-Belanda, menginginkan perdamaian dengan VOC. Pada tahun 1680, ia bahkan mengirim surat kepada VOC menyatakan dirinya sebagai penguasa Banten yang sah, bukan ayahnya. VOC melihat ini sebagai peluang emas untuk menghancurkan Sultan Ageng Tirtayasa yang selama ini menjadi musuh bebuyutan mereka.

Pada 26 Februari 1682, Sultan Ageng Tirtayasa menyerang Istana Surosowan tempat Sultan Haji berkedudukan. Serangan ini awalnya berhasil, tetapi VOC di bawah pimpinan Kapten François Tack dan Mayor Isaack St. Martin segera memberikan bantuan militer kepada Sultan Haji. Dengan dukungan pasukan Belanda dan tentara pribumi yang berpihak pada Sultan Haji, Surosowan berhasil direbut kembali.

Sultan Ageng Tirtayasa kemudian mundur ke Tirtayasa, keraton yang ia bangun sendiri. Peperangan berlanjut hingga 28 Desember 1682 ketika kawasan Tirtayasa juga dikuasai oleh pasukan gabungan Sultan Haji dan VOC.

Sultan Ageng tidak menyerah. Bersama putranya yang lain, Pangeran Purbaya, dan Syekh Yusuf dari Makassar (seorang ulama besar yang menjadi penasihat spiritual kesultanan), mereka mundur ke pedalaman Sunda bagian selatan dan melakukan perlawanan gerilya.

Tragedi terakhir terjadi pada 14 Maret 1683. Melalui tipu daya, Sultan Haji dan VOC berhasil membujuk Sultan Ageng untuk kembali ke istana dengan janji perdamaian. Ketika Sultan Ageng kembali dengan itikad baik, ia disambut dengan baik pada awalnya, tetapi kemudian ditangkap dan dibawa ke Batavia sebagai tahanan VOC.

Sultan Ageng Tirtayasa menghabiskan sisa hidupnya dalam penjara Belanda di Batavia dan wafat pada tahun 1692 pada usia 61 tahun. Ia dimakamkan di Kompleks Pemakaman Raja-Raja Banten di sebelah utara Masjid Agung Banten, Banten Lama. Atas jasa-jasanya mempertahankan kemerdekaan Banten dari penjajahan Belanda, ia dianugerahi gelar Pahlawan Nasional melalui SK Presiden Republik Indonesia.

VIII. Dampak dan Makna Historis

Misi diplomatik tahun 1682 ini memiliki makna yang sangat penting dalam sejarah Indonesia:

1. Bukti Diplomasi Canggih Nusantara
Misi ini membuktikan bahwa kesultanan-kesultanan Nusantara pada abad ke-17 telah memiliki sistem diplomasi internasional yang canggih, setara dengan kerajaan-kerajaan Eropa. Mereka mampu mengirim delegasi sejauh London dengan protokol yang sempurna.

2. Strategi Geopolitik Menghadapi Kolonialisme
Pengiriman duta ke Inggris merupakan strategi cerdas Sultan Ageng Tirtayasa untuk mengimbangi dominasi VOC dengan memanfaatkan rivalitas antar-kekuatan Eropa. Ini menunjukkan pemahaman mendalam tentang politik internasional pada masanya.

3. Jejak Kehadiran Indonesia di Eropa
Pemakaman juru masak rombongan di Saint James Park dan potret kedua duta besar di Museum Mankind menjadi bukti fisik keberadaan orang Indonesia di London pada abad ke-17, jauh sebelum era kolonialisme intensif.

4. Tragedi Pengkhianatan dan Kolonialisme
Kegagalan misi ini bukan karena kesalahan diplomasi, tetapi karena pengkhianatan internal yang dimanfaatkan VOC. Ini menjadi pelajaran pahit tentang bahaya perpecahan internal dalam menghadapi ancaman eksternal.

5. Warisan Perlawanan Anti-Kolonial
Perjuangan Sultan Ageng Tirtayasa menginspirasi gerakan perlawanan anti-kolonial di seluruh Nusantara pada abad-abad berikutnya. Ia menjadi simbol perlawanan terhadap dominasi asing.

IX. Kesimpulan

Misi diplomatik Kesultanan Banten ke Inggris tahun 1682 merupakan salah satu peristiwa paling mengesankan dalam sejarah diplomasi Nusantara. Perjalanan Kyai Ngabehi Naya Wipraya dan Kyai Ngabehi Jaya Sedana menunjukkan bahwa kesultanan Islam di Indonesia telah menjadi aktor dalam politik internasional abad ke-17, mampu bernegosiasi dengan kekuatan-kekuatan besar Eropa sebagai mitra yang setara.

Meskipun misi ini berakhir tragis akibat perang saudara dan intervensi VOC, warisan Sultan Ageng Tirtayasa sebagai pemimpin yang visioner dan pejuang anti-kolonial tetap abadi. Kisah ini mengingatkan kita bahwa sejarah Indonesia tidak dimulai dengan kedatangan penjajah, tetapi jauh sebelumnya, ketika kerajaan-kerajaan Nusantara telah menjadi bagian integral dari jaringan perdagangan dan diplomasi global.

Potret kedua duta besar yang masih tersimpan di Museum Mankind, London, dan makam Sultan Ageng Tirtayasa di Banten Lama menjadi saksi bisu dari periode keemasan ini, mengingatkan generasi penerus akan kejayaan yang pernah dicapai dan tragedi yang mengakhirinya.

Sundaland, 21 Desember 2025

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Profil Asep Rohmandar : Presiden Masyarakat Peneliti Mandiri Sunda Nusantara

Visi dan Misi Asep Rohmandar sebagai penulis dan peneliti

Prolog Buku Komunikasi Pendidikan Yang Efektif? By Asep Rohmandar