Sundaland: Menafsir Ulang Sejarah Nusantara Melalui Kacamata Hermeneutika

Sundaland: Menafsir Ulang Sejarah Nusantara Melalui Kacamata Hermeneutika

Mencari Identitas di Balik Gelombang Sejarah

Ketika kita berbicara tentang sejarah Nusantara, seringkali narasi yang muncul adalah cerita yang dimulai dari kerajaan-kerajaan besar seperti Sriwijaya, Majapahit, atau Mataram. Namun, sebuah pertanyaan fundamental jarang diajukan: bagaimana dengan sejarah sebelum itu? Bagaimana dengan daratan yang kini tenggelam di bawah Laut Jawa, Selat Malaka, dan Laut Cina Selatan? Di sinilah konsep Sundaland menjadi relevan, dan pendekatan hermeneutika menawarkan cara baru untuk memahaminya.

Sundaland: Lebih dari Sekadar Geografi

Sundaland bukan sekadar konsep geologis tentang daratan yang tenggelam akibat naiknya permukaan laut setelah Zaman Es terakhir sekitar 10.000-20.000 tahun yang lalu. Ia adalah kunci untuk memahami asal-usul peradaban maritim Nusantara yang begitu kompleks dan beragam. Sebagaimana dikatakan oleh ahli arkeologi Oppenheimer, "Sundaland was not just a land bridge, but a cradle of civilization that shaped the maritime culture of Southeast Asia."

Ketika air laut masih rendah, wilayah yang kini menjadi Indonesia, Malaysia, Singapura, Brunei, dan sebagian Thailand dan Filipina adalah satu daratan kontinental yang luas. Di sana, manusia purba hidup, bermigrasi, dan mengembangkan budaya yang kemudian tersebar ke berbagai penjuru. Ketika air laut naik, mereka tidak punah—mereka beradaptasi, menjadi pelaut, dan membawa warisan Sundaland ke pulau-pulau yang terbentuk.

Hermeneutika: Seni Menafsir Sejarah yang Tersembunyi

Di sinilah hermeneutika—ilmu tentang interpretasi dan pemahaman—menjadi penting. Sejarah Sundaland tidak dapat dipahami hanya melalui artefak fisik atau fosil semata. Kita memerlukan pendekatan yang lebih dalam, yang mampu membaca "teks" sejarah dalam berbagai bentuknya: mitos, legenda, pola migrasi, bahasa, dan bahkan peta-peta kuno yang seringkali diabaikan.

Filosof Jerman Hans-Georg Gadamer, bapak hermeneutika modern, menekankan bahwa "understanding is not a matter of forgetting our own horizon of meanings, but of merging it with the horizon of the text." Dalam konteks Sundaland, ini berarti kita tidak bisa hanya mengandalkan perspektif modern atau kolonial dalam membaca sejarah. Kita harus memahami bagaimana masyarakat pribumi sendiri memahami masa lalu mereka melalui cerita turun-temurun, toponimi (nama-nama tempat), dan praktik budaya yang bertahan hingga kini.

Peta Kuno sebagai Teks Hermeneutis

Peta-peta kuno, seperti yang mungkin ditampilkan dalam buku Asep Rohamdanar dengan nama "Malaqua" dan "Burro", adalah contoh sempurna dari teks yang memerlukan interpretasi hermeneutis. Peta bukan sekadar representasi geografis yang akurat—ia adalah proyeksi kekuasaan, pemahaman kosmologis, dan cara pandang suatu zaman terhadap dunia.

Sejarawan J.B. Harley pernah menulis, "Maps are never value-free images; they reify a particular vision of the world." Ketika kita melihat peta kuno Nusantara yang dibuat oleh kartografer Eropa, kita melihat lebih dari sekadar garis pantai. Kita melihat bagaimana Eropa memahami (atau salah memahami) wilayah ini, bagaimana mereka memberi nama tempat-tempat yang sudah memiliki nama lokal, dan bagaimana mereka mencoba mengklaim pengetahuan atas wilayah yang sudah lama dihuni.

Mitos dan Legenda sebagai Memori Kolektif

Salah satu aspek paling menarik dari pendekatan hermeneutis terhadap Sundaland adalah bagaimana kita membaca mitos dan legenda. Di berbagai kebudayaan Nusantara, terdapat cerita tentang banjir besar, daratan yang tenggelam, dan migrasi nenek moyang dari "tanah asal" yang kini hilang.

Misalnya, dalam tradisi Melayu terdapat cerita tentang "Tanah Melayu Purba" yang jauh lebih luas dari yang ada sekarang. Dalam mitologi Jawa, ada kisah tentang Gunung Jamurdipa yang tenggelam. Apakah ini sekadar mitos? Atau ini adalah memori kolektif yang diwariskan secara oral tentang peristiwa nyata—tenggelamnya Sundaland?

Antropolog Claude Lévi-Strauss mengingatkan kita bahwa "myths are not just stories, but ways of thinking about fundamental problems of human existence." Dalam konteks ini, mitos tentang tanah yang tenggelam mungkin adalah cara masyarakat purba memahami dan mengingat perubahan dramatis dalam lingkungan mereka.

Bahasa sebagai Peta Migrasi

Pendekatan hermeneutis juga memungkinkan kita melihat bahasa sebagai "artefak" sejarah. Rumpun bahasa Austronesia, yang mencakup bahasa Indonesia, Melayu, Tagalog, Malagasi, dan bahkan bahasa Polinesia, semuanya berakar dari wilayah Sundaland.

Linguist Robert Blust dalam penelitiannya menyatakan, "The Austronesian language family represents one of the most spectacular examples of human migration and cultural diffusion in prehistory." Dengan menelusuri pola-pola linguistik, kita dapat merekonstruksi jalur migrasi manusia dari Sundaland ke seluruh Pasifik, bahkan hingga Madagaskar di lepas pantai Afrika.

Setiap kata yang bertahan dalam berbagai bahasa Austronesia adalah jejak dari masa lalu Sundaland. Kata-kata untuk "perahu", "laut", "padi", dan "rumah panggung" yang serupa di berbagai bahasa menunjukkan teknologi dan pengetahuan yang dibawa nenek moyang kita ketika mereka menyebar dari daratan yang tenggelam tersebut.

Kritik terhadap Historiografi Kolonial

Salah satu kontribusi terpenting dari pendekatan hermeneutis adalah kemampuannya untuk mengkritisi narasi sejarah yang dominan—terutama historiografi kolonial yang cenderung eurosentris. Sejarah Nusantara yang ditulis oleh penjajah Eropa sering dimulai dari "penemuan" mereka atas wilayah ini, seolah-olah sebelum kedatangan mereka, tidak ada sejarah yang berarti.

Edward Said dalam karyanya "Orientalism" menjelaskan bagaimana "the Orient was almost a European invention, a place of romance, exotic beings, haunting memories and landscapes." Sundaland dan sejarah prakolonial Nusantara sering dipinggirkan atau diromanticisasi dalam narasi Barat, bukan dipahami sebagai peradaban yang kompleks dan maju dengan caranya sendiri.

Hermeneutika membebaskan kita dari belenggu narasi ini dengan menekankan pluralitas interpretasi. Tidak ada satu versi sejarah yang "benar" dan final. Sejarah adalah dialog berkelanjutan antara masa lalu dan masa kini, antara berbagai perspektif dan suara.

Arkeologi Bawah Air: Membuka Jendela ke Masa Lalu

Dalam dekade terakhir, arkeologi bawah air telah memberikan bukti fisik yang mendukung hipotesis Sundaland. Penemuan alat-alat batu, sisa-sisa pemukiman, dan bahkan struktur megalitik di dasar laut Selat Sunda dan Laut Jawa menunjukkan bahwa teori ini bukan sekadar spekulasi.

Arkeolog maritim Nic Flemming menyatakan, "Submerged landscapes are the last frontier of prehistoric archaeology." Setiap penemuan baru dari dasar laut adalah puzzle yang membantu kita merekonstruksi kehidupan di Sundaland. Namun, artefak fisik ini tetap memerlukan interpretasi—dan di sinilah hermeneutika berperan.

Sebuah kapak batu yang ditemukan di dasar laut bukan hanya menunjukkan teknologi yang digunakan, tetapi juga mengisyaratkan cara hidup, pola pemukiman, dan mungkin bahkan sistem kepercayaan. Interpretasi ini memerlukan pemahaman kontekstual yang mendalam, bukan sekadar katalogisasi objek.

Implikasi Politik dan Identitas Kontemporer

Pemahaman tentang Sundaland memiliki implikasi politik dan identitas yang signifikan di era modern. Di tengah diskusi tentang ASEAN, identitas regional, dan hubungan antar-negara Asia Tenggara, konsep Sundaland mengingatkan kita bahwa jauh sebelum batas-batas nasional modern, penduduk wilayah ini memiliki akar sejarah yang sama.

Benedict Anderson dalam "Imagined Communities" menjelaskan bahwa "nations are imagined political communities." Jika demikian, maka Sundaland adalah "imagined ancestral community" yang dapat menjadi dasar solidaritas regional yang lebih autentik daripada konstruksi politik modern.

Namun, kita harus berhati-hati untuk tidak jatuh ke dalam nasionalisme romantis atau klaim teritorial berbasis sejarah kuno. Sebagaimana diingatkan oleh sejarawan Eric Hobsbawm tentang "invented traditions", kita harus kritis terhadap bagaimana masa lalu digunakan untuk kepentingan politik masa kini.

Metodologi Hermeneutis: Lingkaran Pemahaman

Gadamer memperkenalkan konsep "hermeneutic circle"—bahwa pemahaman adalah proses sirkuler di mana kita terus-menerus bergerak antara bagian dan keseluruhan, antara prasangka awal kita dan bukti baru yang kita temukan. Dalam penelitian Sundaland, ini berarti kita harus terbuka untuk merevisi pemahaman kita seiring dengan penemuan baru, sambil tetap kritis terhadap interpretasi yang kita buat.

Ini bukan kelemahan, melainkan kekuatan pendekatan hermeneutis. Sebagaimana Paul Ricoeur menulis, "The symbol gives rise to thought." Setiap artefak, setiap mitos, setiap pola linguistik adalah "simbol" yang mengundang kita untuk berpikir lebih dalam tentang masa lalu.

Sundaland dalam Konteks Perubahan Iklim Global

Tenggelamnya Sundaland adalah peringatan dramatis tentang dampak perubahan iklim. Kenaikan permukaan laut yang relatif cepat (dalam skala geologis) mengubah total lanskap dan memaksa manusia untuk beradaptasi atau punah. Dalam konteks pemanasan global saat ini, di mana permukaan laut diperkirakan akan naik signifikan dalam abad mendatang, Sundaland menjadi pelajaran sejarah yang relevan.

Ilmuwan iklim James Hansen memperingatkan, "We are now in a period of rapid climate change, and we need to learn from the past." Studi tentang bagaimana masyarakat Sundaland beradaptasi dengan perubahan dramatis—menjadi masyarakat maritim, mengembangkan teknologi pelayaran, dan menyebar ke berbagai pulau—dapat memberikan wawasan tentang resiliensi manusia dalam menghadapi krisis lingkungan.

Menuju Historiografi yang Inklusif

Essay atau penelitian tentang Sundaland dengan perspektif hermeneutika, seperti yang mungkin dihadirkan oleh Asep Rohamdanar, adalah langkah penting menuju historiografi yang lebih inklusif. Ini adalah upaya untuk memberikan suara kepada mereka yang tidak meninggalkan catatan tertulis, yang sejarahnya harus dibaca dari sumber-sumber non-konvensional.

Sejarawan Natalie Zemon Davis pernah menulis tentang pentingnya "history from below"—sejarah yang ditulis bukan dari perspektif penguasa atau elit, tetapi dari rakyat biasa. Dalam kasus Sundaland, ini berarti mendengarkan cerita yang diwariskan secara oral, memahami praktik budaya yang bertahan, dan menghargai pengetahuan lokal yang seringkali diabaikan oleh sejarah resmi.

Kesimpulan: Sejarah sebagai Dialog Berkelanjutan

Memahami Sundaland melalui perspektif hermeneutika bukan tentang menemukan "kebenaran final" tentang masa lalu. Ini tentang membuka dialog—antara masa lalu dan masa kini, antara berbagai disiplin ilmu (geologi, arkeologi, linguistik, antropologi), dan antara berbagai perspektif budaya.

Sebagaimana Gadamer menekankan, "The anticipation of meaning that governs our understanding of a text is not an act of subjectivity, but proceeds from the commonality that binds us to tradition." Kita semua, baik di Indonesia, Malaysia, Filipina, atau di mana pun, adalah pewaris tradisi Sundaland. Memahami warisan ini bukan hanya proyek akademis, tetapi juga perjalanan untuk memahami siapa kita sebagai bangsa-bangsa maritim Asia Tenggara.

Dalam era globalisasi di mana identitas lokal sering terancam, menggali akar sejarah kita di Sundaland memberikan landasan untuk identitas yang autentik namun tidak eksklusif. Ia mengingatkan kita bahwa koneksi, migrasi, dan pertukaran budaya bukanlah fenomena baru, tetapi bagian integral dari siapa kita sejak ribuan tahun lalu.

Sundaland mungkin telah tenggelam di bawah gelombang, tetapi warisannya hidup dalam bahasa kita, budaya kita, dan cara kita memahami hubungan kita dengan laut. Tugas kita adalah terus menafsirkan warisan ini dengan cara yang bermakna untuk masa kini dan masa depan.

"History is not the past, it is the present. We carry our history with us. We are our history." - James Baldwin

Kutipan ini merangkum esensi dari pendekatan hermeneutis terhadap Sundaland: sejarah bukan sesuatu yang mati dan terkubur, tetapi sesuatu yang hidup dalam diri kita, membentuk cara kita memahami dunia dan tempat kita di dalamnya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Profil Asep Rohmandar : Presiden Masyarakat Peneliti Mandiri Sunda Nusantara

Visi dan Misi Asep Rohmandar sebagai penulis dan peneliti

Prolog Buku Komunikasi Pendidikan Yang Efektif? By Asep Rohmandar