SUNDALAND: SAJAK DARATAN YANG TENGGELAM
SUNDALAND: SAJAK DARATAN YANG TENGGELAM
I. Prasasti Bawah Laut
Dua puluh ribu tahun silam,
ketika es mengurung air di kutub utara,
Sundaland membentang seluas 1,8 juta kilometer persegi—
dari Semenanjung Malaya hingga Papua,
dari Sumatera hingga Kalimantan,
satu daratan raksasa yang kini terbenam
di kedalaman Laut Jawa, Selat Malaka, dan Laut Cina Selatan.
Ini bukan dongeng, bukan mitos semata.
Peta batimetri membuktikannya:
dasar laut yang dangkal, hanya 40 meter,
menunjukkan bekas dataran yang pernah ditinggali.
II. Migrasi yang Terukir dalam Gen
Homo sapiens tiba di Sundaland
65.000 tahun yang lalu,
jejak DNA mitokondria mencatatnya
dalam haplotipe M dan N,
yang kini tersebar di seluruh Nusantara.
Mereka bukan pengembara tanpa tujuan—
mereka pemburu, peramu, pemukim awal
yang meninggalkan alat-alat batu Paleolitik
di Gua Niah, Sarawak (40.000 tahun lalu),
di Liang Bua, Flores (bersama Homo floresiensis),
di Song Keplek, Gunung Sewu (10.000 tahun lalu).
III. Ketika Air Mulai Naik
Antara 18.000 hingga 6.000 tahun sebelum masehi,
suhu global naik 4-7 derajat Celsius,
es mencair, laut merangkak naik,
120 meter dalam 12.000 tahun—
satu sentimeter per dekade, mungkin tampak lambat,
tetapi cukup untuk menelan benua.
Sungai-sungai purba yang mengalir di Sundaland—
Sungai Molengraaff yang kini menjadi Selat Karimata,
Sungai North Sunda yang bermuara di Laut Cina Selatan—
semuanya lenyap, tersembunyi 50 meter di bawah gelombang.
IV. Bahasa sebagai Peta Fosil
Ketika daratan tenggelam, manusia tidak punah—
mereka beradaptasi, menjadi pelaut,
dan membawa bahasa Proto-Austronesia
dari Taiwan ke Sundaland sekitar 4.000 SM.
Kini, 1.200 bahasa Austronesia tersebar
dari Madagaskar hingga Pulau Paskah,
dari Taiwan hingga Selandia Baru—
386 juta penutur membawa kosakata yang sama:
lima (lima) dalam bahasa Indonesia,
lima dalam Tagalog,
lima dalam bahasa Māori—
angka yang sama di pulau-pulau terpisah ribuan kilometer.
perahu yang menjadi bangka, vaka, wangka—
teknologi maritim yang lahir dari adaptasi Sundaland.
V. Arkeologi Membuka Kuburan Air
Tahun 2004, tsunami Aceh menyingkap
situs arkeologi di dasar laut Selat Malaka.
Tahun 2015, survei sonar di Selat Sunda menemukan
formasi batu yang tidak alami,
kemungkinan sisa struktur buatan manusia.
Di lepas pantai Karimunjawa, 2018,
arkeolog maritim menemukan alat-alat batu berusia 7.000 tahun,
bukti bahwa Sundaland dihuni hingga akhir.
Penemuan tengkorak Homo sapiens di Gua Harimau, Sumatera,
yang dikarbon-dating berusia 13.000 tahun,
menunjukkan populasi yang padat di dataran yang kini tenggelam.
VI. Peta Kuno Menceritakan Kesalahpahaman
Pada abad ke-16, ketika Portugis dan Belanda tiba,
mereka membuat peta dengan nama-nama asing:
"Terra Australis Incognita" untuk tanah yang belum dikenal,
"Malacca" untuk Melaka,
"Borneo" untuk Kalimantan—nama yang diserap dari Arab *barunai*.
Peta Abraham Ortelius (1570) menggambar Nusantara
dengan bentuk yang keliru, pulau-pulau yang salah tempat,
karena mereka tidak tahu: ini bukan pulau-pulau acak,
ini adalah puncak-puncak gunung Sundaland
yang masih muncul di atas air.
Peta bukan objektif—ia adalah politik.
Setiap garis adalah klaim kekuasaan,
setiap nama adalah penghapusan nama lokal.
VII. Mitos sebagai Memori Tersembunyi
Di Jawa, ada cerita Aji Saka yang datang dari barat,
membawa tulisan dan peradaban tahun 78 Masehi.
Di Sumatera, legenda Putri Hijau berbicara tentang kerajaan yang tenggelam.
Di Filipina, mitologi Bathala menceritakan banjir besar yang mengubah dunia.
Antropolog Stephen Oppenheimer, dalam Eden in the East (1998),
berargumen bahwa cerita Taman Eden, Atlantis, dan banjir Nuh
mungkin terinspirasi oleh tenggelamnya Sundaland—
memori kolektif yang menyebar melalui migrasi Austronesia.
VIII. Genetika Menulis Ulang Sejarah
Studi DNA tahun 2009 oleh tim Universitas Leeds
menganalisis 2,000 sampel dari Asia Tenggara,
menemukan bahwa populasi Indonesia, Malaysia, dan Filipina
memiliki leluhur bersama yang hidup di Sundaland
15.000-10.000 tahun lalu.
Haplotipe O1a dan O2a pada kromosom Y
mendominasi populasi Austronesia,
menunjukkan ekspansi demografis besar-besaran
ketika Sundaland mulai tenggelam—
bukan kepunahan, tetapi diaspora.
IX. Perubahan Iklim: Sejarah Berulang
Sundaland tenggelam karena kenaikan permukaan laut 1 sentimeter per dekade.
Kini, Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC, 2021)
memproyeksikan kenaikan 3-10 milimeter per tahun hingga 2100—
sepuluh kali lebih cepat dari era Sundaland.
Jakarta tenggelam 25 sentimeter per tahun,
Bangkok, Manila, dan Singapura terancam banjir rob,
Maladewa dan Tuvalu akan lenyap dalam abad ini—
Sundaland baru sedang tercipta di depan mata kita.
X. Identitas yang Dibangun di Atas Puing
Tahun 1967, ASEAN dibentuk oleh lima negara:
Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand—
negara-negara yang dulunya adalah satu daratan.
Bahasa Melayu/Indonesia yang dimengerti 300 juta orang,
adalah warisan Sundaland, lingua franca
yang lahir dari perdagangan maritim pasca-tenggelam.
Rumah panggung dari Aceh hingga Papua,
perahu bercadik dari Sulawesi hingga Polinesia,
teknologi padi sawah yang menyebar dari Austronesia—
semua adalah adaptasi terhadap dunia pasca-Sundaland,
dunia di mana laut bukan penghalang, tetapi jembatan.
XI. Hermeneutika: Membaca yang Tak Tertulis
Hans-Georg Gadamer menulis dalam Truth and Method (1960):
"Pemahaman adalah peleburan horizon masa lalu dan masa kini."
Untuk memahami Sundaland, kita tidak bisa hanya menggali fosil—
kita harus membaca mitos sebagai memori,
bahasa sebagai arkeologi,
peta sebagai politik,
dan diri kita sendiri sebagai pewaris yang hidup.
Sejarah bukan fakta mati di museum,
ia adalah narasi yang terus kita tulis ulang,
dengan setiap penemuan baru, dengan setiap interpretasi baru.
XII. Epilog: Daratan yang Tak Pernah Mati
Sundaland tidak lenyap—
ia hanya berubah bentuk.
Dari satu daratan, lahir 25.000 pulau di Indonesia,
7.000 pulau di Filipina,
ratusan pulau di Malaysia dan Thailand.
Dari satu bangsa, lahir ratusan suku:
Jawa, Sunda, Melayu, Bugis, Dayak,
Tagalog, Ilocano, Visayan,
Khmer, Cham, dan banyak lagi—
tapi semuanya membawa DNA yang sama,
bahasa dengan akar yang sama,
dan ingatan kolektif tentang daratan yang hilang.
Ketika kita berlayar di Laut Jawa,
kita melintasi kuburan nenek moyang,
kota-kota yang kini menjadi terumbu karang,
sungai-sungai yang menjadi palung laut.
Ketika kita berbicara dalam bahasa Melayu, Indonesia, Tagalog,
kita menghidupkan kembali suara Sundaland.
Ketika kita membangun rumah panggung menghadapi banjir,
kita mengulang strategi bertahan hidup yang berusia 10.000 tahun.
Sundaland tidak mati—
ia hidup dalam kita,
dalam cara kita berlayar, berbahasa, dan bertahan.
Catatan Fakta:
- Luas Sundaland: 1,8 juta km² saat permukaan laut terendah (18.000 tahun lalu)
- Kedalaman tenggelam: 40-120 meter
- Periode tenggelam: 18.000-6.000 tahun sebelum masehi
- Populasi Austronesia saat ini: 386 juta jiwa, 1.200 bahasa
- Situs arkeologi tertua: Gua Niah (40.000 tahun), Liang Bua (60.000 tahun)
- Proyeksi IPCC: Kenaikan permukaan laut 0,3-1 meter hingga 2100
Komentar
Posting Komentar