Politik Militerisme Di Indonesia Merusak Demokrasi dan Kewajiban Hak Azasi Manusia (KHAM ).
Militer dan politik di Indonesia memiliki sejarah panjang dan kompleks, diwarnai dengan intervensi yang seringkali merusak nilai-nilai demokrasi dan hak asasi manusia (HAM). Untuk membongkar kekeliruan ini secara tajam dan detail, kita perlu meninjau beberapa aspek kunci:
1. Dwi Fungsi ABRI dan Warisannya:
* Asal-usul dan Justifikasi: Konsep Dwi Fungsi ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) yang diperkenalkan Orde Baru mengklaim bahwa militer memiliki fungsi ganda, yaitu sebagai kekuatan pertahanan dan sebagai kekuatan sosial-politik. Justifikasinya adalah stabilitas nasional dan pembangunan.
* Implikasi Negatif:
* Militerisasi Politik: Dwi Fungsi membuka pintu bagi militer untuk menduduki posisi-posisi sipil di pemerintahan, legislatif, dan birokrasi, mengikis profesionalisme militer dan mendistorsi sistem politik.
* Penghambatan Demokrasi: Dengan kekuatan politik yang besar, militer seringkali menjadi penentu kebijakan dan mengintervensi proses politik, menghambat perkembangan partai politik, dan membatasi partisipasi sipil.
* Pelanggaran HAM: Keberadaan militer di ranah sipil seringkali berkorelasi dengan pelanggaran HAM. Dengan kekebalan hukum yang seringkali dinikmati, militer dapat bertindak di luar koridor hukum sipil, terutama dalam penanganan unjuk rasa, gerakan separatis, atau konflik sosial. Contohnya adalah kasus-kasus seperti pembantaian 1965, peristiwa Tanjung Priok, Aceh, dan Papua.
* Pasca-Reformasi: Meskipun Dwi Fungsi secara resmi dihapuskan pada Reformasi 1998, warisannya masih terasa. Terowongan militer ke ranah sipil, meskipun tidak seintens Orde Baru, masih ada melalui penempatan purnawirawan di posisi politik dan bisnis, serta keterlibatan aktif dalam urusan keamanan sipil.
2. Impunitas dan Akuntabilitas yang Buruk:
* Kekebalan Hukum: Salah satu masalah terbesar adalah minimnya akuntabilitas militer terhadap pelanggaran HAM. Proses peradilan militer yang seringkali tertutup dan kurang transparan, serta UU peradilan militer yang memungkinkan militer mengadili anggotanya sendiri, seringkali menghasilkan impunitas.
* Dampak pada HAM: Impunitas ini menciptakan lingkaran setan di mana pelanggaran HAM terus berulang tanpa ada efek jera. Korban dan keluarga mereka kesulitan mendapatkan keadilan dan kompensasi. Ini melemahkan supremasi hukum dan prinsip kesetaraan di depan hukum.
* Peran Politik dalam Impunitas: Politik seringkali menjadi penentu dalam proses hukum yang melibatkan militer. Adanya kepentingan politik, baik dari dalam militer maupun dari elit politik, dapat menghambat penegakan hukum yang adil.
3. Intervensi dalam Keamanan Sipil:
* Tumpang Tindih Peran: Setelah Reformasi, ada upaya untuk memisahkan peran TNI dan Polri. Namun, dalam praktiknya, masih terjadi tumpang tindih, terutama dalam penanganan keamanan internal. TNI seringkali terlibat dalam operasi keamanan sipil yang seharusnya menjadi ranah kepolisian.
* Dampak Negatif:
* Militerisasi Keamanan: Keterlibatan TNI dalam keamanan sipil dapat mengarah pada pendekatan militeristik terhadap masalah sosial, yang seringkali tidak efektif dan justru memperburuk situasi.
* Pelanggaran Hak Sipil: Dalam konteks keamanan sipil, militer seringkali menggunakan pendekatan yang lebih represif, yang dapat melanggar hak-hak sipil seperti hak berserikat, berkumpul, dan berekspresi.
* Ancaman Terhadap Profesionalisme Polri: Keterlibatan TNI dalam keamanan sipil dapat menghambat profesionalisme Polri dalam menjalankan tugasnya sebagai penegak hukum sipil.
4. Keterlibatan dalam Ekonomi dan Bisnis:
* Bisnis Militer: Selama Orde Baru, militer memiliki jaringan bisnis yang luas, seringkali tidak transparan dan memanfaatkan fasilitas negara. Meskipun Reformasi berupaya membatasinya, jejak-jejaknya masih ada.
* Dampak Negatif:
* Distorsi Ekonomi: Keterlibatan militer dalam bisnis menciptakan persaingan tidak sehat, menghambat pertumbuhan sektor swasta, dan menciptakan peluang korupsi.
* Kurangnya Transparansi dan Akuntabilitas: Bisnis militer seringkali tidak transparan, menyulitkan pengawasan publik dan akuntabilitas.
* Konflik Kepentingan: Keterlibatan militer dalam bisnis dapat menimbulkan konflik kepentingan, terutama ketika militer terlibat dalam pengamanan proyek-proyek bisnis yang mereka miliki atau lindungi.
5. Polarisasi Politik dan Militer:
* Pemanfaatan Militer dalam Politik Praktis: Dalam beberapa tahun terakhir, muncul kekhawatiran tentang penggunaan simbol-simbol militer atau keterlibatan purnawirawan dalam politik praktis yang dapat mempolarisasi masyarakat.
* Bahaya Terhadap Netralitas: Keterlibatan militer dalam politik praktis, bahkan jika dilakukan oleh purnawirawan, dapat mengancam netralitas institusi militer dan menimbulkan persepsi bahwa militer berpihak pada kelompok politik tertentu. Ini sangat berbahaya bagi demokrasi.
Solusi dan Rekomendasi:
Untuk membongkar kekeliruan politik militer di Indonesia secara permanen dan membangun demokrasi yang kuat serta menghormati HAM, diperlukan langkah-langkah konkret:
* Reformasi Sektor Keamanan yang Komprehensif:
* Penegasan Supremasi Sipil: Memastikan bahwa institusi militer sepenuhnya berada di bawah kendali sipil yang demokratis.
* Pemisahan Peran TNI-Polri: Menegaskan dan memperjelas pembagian tugas antara TNI (pertahanan) dan Polri (keamanan internal), dengan memastikan TNI kembali ke barak.
* Profesionalisasi Militer: Mendorong profesionalisme militer yang berfokus pada pertahanan negara, bukan pada urusan politik atau bisnis.
* Penegakan Hukum dan Akuntabilitas:
* Reformasi Peradilan Militer: Merevisi Undang-Undang Peradilan Militer agar anggota militer yang melakukan pelanggaran HAM diadili di peradilan umum.
* Penuntasan Kasus HAM Masa Lalu: Membentuk mekanisme yang independen dan kredibel untuk menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu, termasuk yang melibatkan militer, dan memastikan keadilan bagi korban.
* Mencabut Impunitas: Menghilangkan segala bentuk kekebalan hukum bagi anggota militer yang melakukan pelanggaran HAM.
* Pengawasan Publik dan Transparansi:
* Transparansi Anggaran Militer: Memastikan anggaran militer transparan dan akuntabel, serta dapat diawasi oleh parlemen dan publik.
* Mengakhiri Bisnis Militer: Memastikan militer tidak lagi terlibat dalam kegiatan bisnis dan mengembalikan aset-aset bisnis yang terafiliasi dengan militer ke negara.
* Partisipasi Masyarakat Sipil: Mendorong partisipasi aktif masyarakat sipil dalam pengawasan sektor keamanan.
* Pendidikan Demokrasi dan HAM:
* Kurikulum di Lingkungan Militer: Memasukkan pendidikan demokrasi, HAM, dan supremasi sipil secara intensif dalam kurikulum pendidikan militer.
* Sosialisasi kepada Masyarakat: Meningkatkan pemahaman masyarakat tentang peran militer yang profesional dalam demokrasi.
Membongkar kekeliruan politik militer adalah pekerjaan besar yang membutuhkan komitmen politik yang kuat, keberanian dari semua pihak, dan dukungan masyarakat. Hanya dengan demikian, Indonesia dapat sepenuhnya melepaskan diri dari bayang-bayang militeristik dan membangun demokrasi yang kokoh serta menghormati setiap hak warganya.
Komentar
Posting Komentar