Analisis Pelanggaran HAM dan KHAM Pemerintahan Prabowo–Gibrran Dalam Kerangka Hukum Nasional dan Internasional (Objektif, Subjektif, Omnijektif)
Analisis Pelanggaran HAM dan KHAM Pemerintahan Prabowo–Gibrran
Dalam Kerangka Hukum Nasional dan Internasional (Objektif, Subjektif, Omnijektif)
1. Kerangka Hukum
1.1 Hukum Nasional
- UUD 1945 menjamin hak atas kebebasan berkumpul (Pasal 28E) dan hak atas keadilan (Pasal 28D).
- UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia mengatur perlindungan kebebasan berekspresi, berpendapat, dan proses penegakan hukum yang adil.
- KUHP dan UU tentang Pengamanan Unjuk Rasa (RUU Kamtibmas) mengatur batasan penggunaan kekerasan oleh aparat.
1.2 Hukum Internasional
- Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (UDHR) Pasal 20 menegaskan hak berkumpul damai.
- ICCPR Pasal 21–22 mengatur kebebasan berunjuk rasa dan berpendapat.
- Convention against Torture melarang perlakuan atau hukuman kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat.
2. Perspektif Objektif
Dokumentasi pelanggaran berikut berdasar laporan PBB, Amnesty International, dan media nasional.
1. Penggunaan Kekerasan Berlebihan
- Kasus penembakan gas air mata di Universitas Islam Bandung tanpa peringatan memadai, menimbulkan korban jiwa dan luka berat.
- Laporan Amnesty mencatat sedikitnya enam pengunjuk rasa tewas, puluhan ditangkap, dan sejumlah jurnalis mengalami kekerasan saat meliput aksi Agustus 2025.
2. Kriminalisasi Dissent dan Aktivis
- Penahanan massal aktivis lokal yang menolak RUU Kamtibmas tanpa prosedur hukum yang jelas, menyalahi prinsip due process nasional dan internasional.
- Pembentukan tim pemantau khusus direspons lamban, saksi dan bukti kerap diabaikan oleh aparat.
3. Pembatasan Kebebasan Pers
- Jurnalis dipaksa menghapus rekaman kekerasan aparat, intimidasi terhadap media independen di berbagai kota.
- Kemlu menyatakan media “diberi ruang” tetapi di lapangan banyak laporan penghalangan liputan dan tekanan administratif terhadap redaksi.
4. Penyangkalan Pelanggaran Berat Masa Lalu
- Menteri HAM menyatakan tidak pernah terjadi pelanggaran HAM berat di Indonesia, mengabaikan rekomendasi Komnas HAM dan kasus Munir, Semanggi, Trisakti.
5. Diskriminasi dan Perampasan Hak Ekonomi
- Komunitas adat dan nelayan kehilangan akses lahan akibat kebijakan ekonomi baru, tanpa konsultasi publik yang memadai, melanggar Prinsip FPIC (Free, Prior, Informed Consent).
3. Perspektif Subjektif
Melihat niat, kebijakan, dan narasi resmi pemerintah.
- Pemerintah menegaskan penggunaan kekerasan bersifat “proporsional” demi ketertiban umum, namun tidak transparan dalam investigasi internal.
- Penundaan kunjungan kenegaraan untuk “mengawasi situasi” memberi kesan prioritas stabilitas politik di atas perlindungan HAM.
- Desakan pagi PBB dan Amnesty direspons dengan janji penyelidikan “sejalan dengan instruksi presiden,” namun tanpa kerangka waktu dan akses publik yang jelas.
4. Perspektif Omnijektif
Evaluasi normatif dan spiritual kolektif dalam konteks Persemakmuran Nusantara.
- Pelanggaran ini merusak kepercayaan rakyat kepada negara dan mengingkari semangat Piagam Persemakmuran: adil, makmur, beradab, dan berwawasan lingkungan.
- Secara moral, kekerasan berlebihan dan penyangkalan sejarah mencederai nilai kebenaran, rekonsiliasi, dan tanggung jawab, yang menjadi pilar etika pemerintahan transisi.
- Secara kolektif, pelanggaran HAM yang terstruktur dan tidak diakui menuntut mekanisme transitional justice—bagian tak terpisahkan dari konstruksi tatanan baru.
5. Dampak bagi Keputusan Presidium Persemakmuran Nusantara
1. Penguatan Instrumen HAM Konstitusional
- Mendesain Mahkamah Persemakmuran khusus untuk menyidang pelanggaran HAM berat masa lalu dan sekarang.
2. Transitional Justice dan Rekonsiliasi
- Membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang inklusif, menghimpun testimoni korban, dan menuntut pertanggungjawaban.
3. Reformasi Aparat Keamanan
- Menetapkan sumpah baru TNI/Polri berdasarkan Piagam Persemakmuran, menjaga netralitas dan hak dasar.
4. Legitimasi Demokrasi Reflektif
- Menyematkan pasal “kebebasan berunjuk rasa” dan “keterbukaan investigasi HAM” dalam Piagam dan undang-undang federasi.
5. Dokumentasi dan Memori Kolektif
- Sistem dokumentasi digital wajib mencatat setiap insiden HAM sebagai artefak sejarah, tersedia publik untuk jaminan transparansi.
Dengan memahami pelanggaran HAM dan KHAM dari berbagai sudut, Presidium dapat mengintegrasikan keadilan, tanggung jawab, dan rekonsiliasi ke dalam tatanan baru Persemakmuran Nusantara—sebagai fondasi legitimasi dan kedaulatan rakyat. Bandung (5/9/2025)
Komentar
Posting Komentar