Konsepsi perubahan UUD 1945 menjadi “UUD Baru Persemakmuran Nusantara”

Konsepsi perubahan UUD 1945 menjadi “UUD Baru Persemakmuran Nusantara”                                                                           Dari sudut logika hukum konstitusi (hukum tata negara Indonesia) dan hukum internasional, lengkap dengan rujukan utama. Tulisan ini menekankan aspek yuridis, institusional, dan implikasi internasional — bukan penilaian politik atau rekomendasi kebijakan semata.


1. Pendahuluan singkat

Usulan mengganti UUD 1945 dengan suatu “UUD Baru Persemakmuran Nusantara” menyentuh tiga ranah hukum dan politik utama: (1) prosedur perubahan konstitusi menurut hukum tata negara Indonesia; (2) identitas konstitusional dan substansi perubahan (apakah sifat negara berubah: unitary → persemakmuran/komonwelistik?); dan (3) implikasi hukum internasional terkait status negara, kontinuitas hukum internasional, dan pengakuan (recognition). Sebelum membahas langkah-langkah praktis, perlu dicatat bahwa istilah “Persemakmuran Nusantara” tidak muncul sebagai istilah resmi konstitusional di dokumen kenegaraan — sering muncul sebagai wacana budaya/puitik atau gagasan intelektual, bukan konsep hukum konstitusi yang baku. Sekalian dalam praktek  formal dan non formal Asosiasi kenegaraan sudah banyak digunakan secara kontitusi seperti Persemakmuran Inggris yang formal konstitusional, Perancis dan Amerika secara non formal 


2. Rangka hukum domestik: bagaimana UUD 1945 dapat diubah (aturan formal)

  1. Pasal konstitusional: Prosedur dan syarat amandemen UUD 1945 diatur oleh pasal-pasal UUD 1945 sendiri (Pasal 37) dan peraturan internal MPR serta praktik amandemen sebelumnya. Usulan amandemen harus diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 anggota MPR; pengambilan keputusan memerlukan sidang MPR dengan tata cara tertentu.
  2. Peraturan MPR: Selain persyaratan kuantitatif, tata tertib MPR (mis. Peraturan MPR Nomor 1 Tahun 2019) dan ketentuan prosedural (pemberitahuan, pembahasan, dan voting/keputusan) mengatur agenda perubahan. Dalam praktik, amandemen besar memerlukan legitimasi politik luas (dukungan partai, DPR, DPD, dan masyarakat).
  3. Batasan yuridis vs politis: Secara yuridis formal, UUD dapat diamandemen asalkan prosedurnya dipenuhi; tetapi perubahan yang mengubah identitas konstitusional dasar (mis. mengubah bentuk negara, kedaulatan rakyat, wilayah negara) akan memunculkan masalah legitimasi politik dan kemungkinan tantangan konstitusional/bersifat fundamental yang melampaui sekadar teks pasal. Studi akademik menyatakan bahwasanya mekanisme perubahan UUD 1945 harus dipandang sesuai prinsip demokrasi konstitusional dan tidak boleh mengabaikan asas negara hukum.

Implikasi praktis langsung (pernyataan yang sangat penting): perubahan dari bentuk negara Kesatuan Republik Indonesia (Unitary State) menjadi model Persemakmuran/Komonwel (dengan hubungan simbolik/konstitusional ke suatu kepala negara eksternal atau keanggotaan komunitas persemakmuran) tidak semata-mata soal mengganti pasal — itu melibatkan perubahan identitas negara yang berdampak pada seluruh tatanan hukum, perjanjian internasional, status kewarganegaraan, dan kedaulatan wilayah. Oleh karenanya prosedur domestik saja mungkin tidak cukup; realitas politik, legitimasi demokratis, dan penerimaan internasional menjadi krusial.


3. Masalah subtantif: apakah “Persemakmuran Nusantara” kompatibel dengan hukum tata negara Indonesia?

  1. Perubahan bentuk negara: Jika rancangan UUD baru menegaskan bentuk lain (mis. hubungan simbolik ke monarki konstitusional eksternal, atau status Komonwel), itu dapat berarti negara secara resmi mengganti konsep kesatuan dan kedaulatan yang tercantum dalam UUD 1945. Hal ini memerlukan legitimasi konstitusional dan politik yang jauh lebih besar dibandingkan amandemen teknis (mis. perubahan pasal kelembagaan).
  2. Hak-hak dasar dan rangka kelembagaan: Setiap perubahan harus menjamin pemeliharaan hak asasi, mekanisme checks and balances, dan kesinambungan fungsi kelembagaan (konsekuensi terhadap DPR, MPR, MK, MA, polisi, TNI, dsb.). Perubahan radikal dapat menuntut pengaturan transisi yang detail: status hukum pegawai negeri, perjanjian internasional, aset negara, dan undang-undang yang ada harus disesuaikan.
  3. Legitimasi demokratis: Secara yuridis formal, amandemen lewat MPR bisa cukup; tetapi legitimasi luas (referendum/popular mandate) sering dipandang sebagai kriteria politik penting ketika menyangkut perubahan identitas negara. Banyak negara memilih konstituante atau referendum untuk perubahan semacam ini untuk menghindari krisis legitimasi. (analogi komparatif).

4. Hukum internasional — aspek kunci dan risikonya

  1. Pengakuan dan kontinuitas negara: Menurut doktrin internasional (Montevideo Convention & literatur pengakuan negara), perubahan konstitusi atau bentuk pemerintahan tidak otomatis mengubah status negara di mata hukum internasional selama entitas negara tetap memenuhi kriteria statehood: (a) penduduk permanen, (b) wilayah tertentu, (c) pemerintahan, dan (d) kemampuan menjalin hubungan internasional. Jika perubahan konstitusi tidak memecah wilayah atau populasi, negara tetap dianggap sama (kontinuitas). Namun jika perubahan menyebabkan pemisahan wilayah atau mengubah penguasa nyata atas sebagian wilayah, hal itu bisa menimbulkan isu secession/succession.
  2. Secession vs transformasi konstitusional: Ada perbedaan antara secession (pemisahan wilayah/populasi menjadi negara baru) dan transformasi konstitusional (negara mempertahankan kesatuan namun mengganti bentuk konstitusi). Hukum internasional lebih bermasalah (dan kurang jelas) ketika tindakan dianggap secession — karena hal itu mempengaruhi integritas teritorial dan dapat memerlukan pengakuan oleh negara lain. Literatur tentang secession menegaskan bahwa hukum internasional tidak memberikan hak otomatis untuk memisahkan diri kecuali dalam keadaan kolonial atau penindasan berat (remedial secession sangat terbatas).
  3. Impak terhadap perjanjian internasional: Jika Indonesia mengganti UUD tetapi tetap sebagai subjek hukum internasional yang sama (state continuity), perjanjian internasional yang telah diratifikasi tetap berlaku kecuali ada pernyataan penggantian/keluar menurut ketentuan perjanjian. Jika terjadi negara baru (mis. pemisahan), maka masalah state succession (pengganti perjanjian) muncul, yang menuntut negosiasi ulang atau penerapan prinsip-prinsip suksesi.

5. Risiko hukum-institusional dan praktis yang perlu diantisipasi

  • Krisis legitimasi domestik: perubahan bentuk negara tanpa mandat rakyat (referendum/konstituante) berisiko memicu protes, judicial challenge, atau kebuntuan politik.
  • Tantangan territorial/etnis: jika rancangan memicu klaim otonomi yang lebih luas atau memberikan jalan bagi gerakan pemisahan, masalah secession bisa berkembang. Hal ini berkaitan langsung dengan hukum internasional dan prinsip integritas teritorial.
  • Hubungan internasional: negara lain dapat memilih untuk tetap mengakui kontinuitas negara atau menuntut klarifikasi; lembaga internasional (PBB, bank dunia, organisasi regional) memerlukan kepastian hukum untuk relasi diplomatik, perjanjian, dan perbankan internasional.

6. Pilihan hukum-prosedural praktis (roadmap legal yang mungkin)

Di bawah ini langkah-langkah yang secara normatif/logis harus dipertimbangkan — bukan rekomendasi politik spesifik, melainkan peta hukum:

  1. Kajian Naskah Akademik & Legal Drafting — penyusunan naskah akademik amandemen/rancangan UUD baru yang rinci (konsekuensi hukum untuk semua cabang pemerintahan, peraturan peralihan, status perjanjian internasional, kewarganegaraan, dsb.). (MPR dan akademia biasanya menyusun naskah semacam ini).

  2. Prosedur Formal MPR — ajukan usul perubahan melalui mekanisme Pasal 37 (minimal 1/3 anggota MPR), ikuti pembahasan, putusan. Untuk perubahan identitas negara, meskipun aturan formal memungkinkan, disarankan adanya legitimasi rakyat (referendum atau konstituante) untuk mengurangi risiko konstitusional/legitimasi.

  3. Transisi Hukum & Administratif — rancangan pasal peralihan yang jelas: nasib perjanjian internasional, status kewarganegaraan, aset negara, personel lembaga negara, hukum pidana/perdata yang sedang berlaku, serta jaminan HAM.

  4. Konsultasi Internasional — meskipun perubahan konstitusi adalah urusan domestik, mengkomunikasikan rencana kepada mitra internasional dan organisasi multilateral penting untuk memastikan kontinuitas hubungan dan mencegah kebingungan pengakuan. Prinsip Montevideo dan praktik pengakuan menggarisbawahi bahwa perubahan pemerintahan tidak otomatis memerlukan pengakuan baru jika kontinuitas negara tetap terjaga — tetapi komunikasi jelas diperlukan.

  5. Pengelolaan Risiko Sekuritas & Keamanan — antisipasi kemungkinan konflik internal yang muncul karena perubahan struktur negara (mis. penolakan oleh daerah, tindakan separatis, atau gangguan keamanan).


7. Model alternatif teknik konstitusional yang dapat dipertimbangkan

  • Amandemen bertahap: ubah aspek-aspek tata kelola tanpa mengubah identitas negara secara formal (mengurangi risiko internasional).
  • Konstituante/Referendum: bila tujuan adalah perubahan identitas negara, gunakan Majelis Konstituante atau referendum nasional untuk memberikan legitimasi rakyat. Banyak konstitusi di negara lain menggunakan mekanisme ini untuk perubahan fundamental.
  • Model federatif/asosiasi: jika tujuannya memberi otonomi kuat kepada wilayah, pertimbangkan bentuk federal atau asosiasi (dalam bingkai kesatuan) sebagai alternatif yang lebih aman ketimbang mengubah status menjadi “Persemakmuran” yang implisitnya mengubah relasi kedaulatan.

8. Kesimpulan (logika hukum ringkas)

  • Secara prosedural UUD 1945 dapat diubah melalui mekanisme yang diatur (Pasal 37 dan tata tertib MPR), tetapi perubahan yang menyangkut identitas negara (mis. menjadi Persemakmuran) bukan sekadar persoalan teknis; ia menuntut legitimasi politik luas, pengaturan transisi yang hati-hati, dan langkah mitigasi risiko baik domestik maupun internasional.
  • Secara hukum internasional, perubahan konstitusi yang tidak memecah wilayah/pemerintahan umumnya tidak menghapus kontinuitas status negara; namun apabila perubahan membuka jalan bagi pemisahan wilayah/otonomi yang signifikan, masalah secession dan state succession akan muncul, dan hal ini berimplikasi pada pengakuan oleh negara lain dan efektivitas perjanjian internasional.
  • Rekomendasi yuridis-praktis: lakukan kajian naskah akademik dan legal drafting mendalam; gunakan mekanisme yang memberi legitimasi rakyat (konstituante/referendum) bila perubahan fundamental diusulkan; susun pasal peralihan yang rinci; dan lakukan koordinasi diplomatik untuk menjaga kontinuitas hubungan internasional.

9. Referensi utama (sumber yang digunakan — bacaan lanjutan)

Saya sertakan sumber-sumber utama yang dijadikan dasar argumen di atas (urut tidak menunjukkan bobot objektif, tetapi relevansi):

  1. Situs resmi MPR RI — pernyataan dan naskah serta kajian mengenai prosedur perubahan UUD 1945.
  2. Artikel Hukumonline dan pemberitaan terkait mekanisme amandemen UUD 1945 (Penjelasan Pasal 37, persyaratan usul minimal 1/3 anggota MPR).
  3. Studi akademik / jurnal tentang metode perubahan UUD 1945 (mis. artikel Jurnal UII tentang metode perubahan konstitusi di Indonesia).
  4. Montevideo Convention on the Rights and Duties of States (doktrin kriteria statehood).
  5. Literatur klasik dan modern tentang recognition dan kontinuitas negara (mis. tulisan H. Lauterpacht, dan makalah tentang recognition of states).
  6. Buku/analisis tentang secession dan state succession dalam hukum internasional (mis. publikasi terkait secession).
  7. Wacana dan tulisan populer mengenai istilah “Persemakmuran Nusantara” (Emha Ainun Nadjib dan ulasan blog) untuk konteks kultural/ideational.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Profil Asep Rohmandar : Presiden Masyarakat Peneliti Mandiri Sunda Nusantara

Seruan untuk Keadilan dalam Publikasi Ilmiah bagi Peneliti dari Negara Berkembang dan Dunia Keempat

Prolog Buku Komunikasi Pendidikan Yang Efektif? By Asep Rohmandar