Jaminan Aturan Anti-SLAPP bagi NGO, CSO, dan Komunikasi Publik di Indonesia: Sebuah Perlindungan Hak Berpartisipasi
⚖️ Jaminan Aturan Anti-SLAPP bagi NGO, CSO, dan Komunikasi Publik di Indonesia: Sebuah Perlindungan Hak Berpartisipasi
Partisipasi publik, khususnya yang dilakukan oleh Non-Governmental Organizations (NGO) dan Civil Society Organizations (CSO), merupakan pilar penting dalam mewujudkan tata kelola yang baik dan demokrasi yang sehat. Namun, upaya kritis masyarakat seringkali dihadapkan pada ancaman hukum yang dikenal sebagai SLAPP (Strategic Lawsuit Against Public Participation).
SLAPP adalah gugatan perdata atau pelaporan pidana yang diajukan untuk membungkam, menghambat, atau memberikan tekanan yang tidak semestinya kepada individu atau kelompok (termasuk NGO/CSO) yang sedang menggunakan haknya untuk berpartisipasi atau menyuarakan kepentingan publik. Ancaman ini membuat kehadiran jaminan Anti-SLAPP menjadi krusial.
Dasar Hukum Anti-SLAPP di Indonesia: Fokus pada Sektor Lingkungan
Saat ini, jaminan Anti-SLAPP yang paling eksplisit dan secara spesifik diatur dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia terletak pada sektor lingkungan hidup. Ketentuan ini berfungsi sebagai payung hukum untuk melindungi para pejuang lingkungan dari kriminalisasi atau gugatan perdata akibat aktivitas mereka.
Kutipan Aturan Utama: Undang-Undang PPLH
Jaminan Anti-SLAPP termuat dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH), yang terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 (melalui UU Cipta Kerja).
📌 Pasal 66 UU PPLH:
"Setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata."
Pasal ini merupakan jantung dari mekanisme Anti-SLAPP di Indonesia. Prinsipnya, ia memberikan hak imunitas bagi setiap individu atau kelompok (termasuk NGO/CSO yang bergerak di isu lingkungan) yang sedang berpartisipasi dalam:
1. Melakukan pengawasan dan kritik terhadap kegiatan yang berdampak pada lingkungan.
2. Menyampaikan pengaduan atau keberatan kepada instansi terkait.
3. Memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Ketentuan ini menyiratkan bahwa gugatan atau tuntutan hukum yang bertujuan untuk membalas atau mengkriminalisasi partisipasi masyarakat dalam isu lingkungan harus ditolak oleh aparat penegak hukum dan hakim.
Implementasi dan Tantangan Jaminan Anti-SLAPP
Meskipun ketentuan Anti-SLAPP sudah ada, implementasinya masih menghadapi tantangan, terutama di luar konteks lingkungan hidup.
1. Keterbatasan Lingkup
Jaminan Anti-SLAPP dalam Pasal 66 UU PPLH secara harfiah terfokus pada isu lingkungan. Hal ini menyulitkan penerapan perlindungan serupa bagi NGO/CSO yang bergerak di isu-isu Hak Asasi Manusia (HAM), tata kelola pertanahan, antikorupsi, atau komunikasi publik yang kritis terhadap kebijakan non-lingkungan.
2. Ketiadaan Mekanisme Prosedural yang Komprehensif
Ketiadaan undang-undang atau peraturan turunan yang mengatur secara rinci prosedur dan mekanisme Anti-SLAPP yang komprehensif (seperti prosedur pembebanan pembuktian terbalik, penolakan gugatan di awal persidangan, atau sanksi terhadap penggugat SLAPP) seringkali menyulitkan penegak hukum dalam menafsirkan dan menerapkan Pasal 66 UU PPLH. Hal ini dapat membuat kasus-kasus SLAPP tetap berjalan dan menghabiskan sumber daya NGO/CSO.
Namun, beberapa putusan pengadilan, khususnya di tingkat banding atau kasasi, telah menunjukkan keberanian untuk menerapkan prinsip Anti-SLAPP, menciptakan preseden hukum yang penting untuk perlindungan pembela lingkungan.
Urgensi Perluasan Aturan Anti-SLAPP
Untuk memberikan jaminan yang komprehensif bagi semua aktivitas NGO, CSO, dan komunikasi publik, diperlukan langkah-langkah perluasan:
1. Revisi dan Perluasan UU: Diperlukan kajian untuk mengintegrasikan prinsip Anti-SLAPP ke dalam undang-undang yang lebih umum, seperti revisi Undang-Undang HAM atau pembuatan Undang-Undang Partisipasi Publik yang lebih luas.
2. Peran Mahkamah Agung (MA): MA dapat mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) yang mengatur secara teknis prosedur pemeriksaan perkara Anti-SLAPP untuk semua ranah hukum, memastikan hakim memiliki panduan yang jelas.
3. Perlindungan Komunikasi Publik: Komunikasi publik yang dilakukan oleh NGO/CSO, baik melalui media sosial, demonstrasi, maupun laporan, harus dilindungi sepanjang dilakukan dengan itikad baik dan bertujuan untuk kepentingan publik, sesuai dengan hak kebebasan berekspresi yang dijamin oleh UUD 1945.
Secara fundamental, jaminan Anti-SLAPP adalah upaya nyata negara dalam menjaga kebebasan berdemokrasi dan menjamin bahwa partisipasi masyarakat kritis tidak dibungkam oleh kekuatan modal atau kekuasaan, melainkan didorong demi perbaikan bersama.
Bandung, 15 Desember 2025
Komentar
Posting Komentar